Pisah ranjang kerap menjadi pilihan sebagian pasangan suami istri ketika konflik rumah tangga tidak kunjung menemukan jalan keluar. Kondisi ini biasanya terjadi akibat masalah rumah tangga, bisa karena pertengkaran, komunikasi, ekonomi, atau masalah lainnya.
Pisah ranjang dalam rumah tangga tidak selalu dimaknai sebatas tidak tidur di satu kamar atau di atas ranjang yang sama. Dalam praktiknya, istilah pisah ranjang justru lebih sering merujuk pada kondisi suami dan istri yang tidak lagi tinggal bersama dalam satu atap akibat konflik berkepanjangan dan keretakan hubungan rumah tangga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari buku Fiqh Keluarga Terlengkap karya Rizem Aizid, dalam Islam, pembahasan tentang pisah ranjang umumnya ditemukan dalam bab nusyuz, dengan istilah hajr. Hajr dipahami sebagai bentuk tindakan awal yang dilakukan suami terhadap istri ketika istri tidak menjalankan kewajiban rumah tangganya, khususnya terkait hak biologis suami. Tindakan ini dimaksudkan sebagai peringatan dan sarana perbaikan, bukan sebagai bentuk kekerasan atau penghinaan.
Al-Qur'an mencatat praktik pisah ranjang sebagai salah satu tahapan penanganan nusyuz. Dalam surat An-Nisa ayat 34, Allah SWT berfirman,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat ini menunjukkan bahwa pisah ranjang merupakan langkah bertahap, yang dilakukan setelah nasihat dan sebelum tindakan lain, dengan tujuan mendidik dan menyadarkan, bukan mencederai hubungan.
Menjauhi Istri Diperbolehkan, Tetapi Ada Batasan Syariat
Sebagian suami kerap keliru dalam memahami firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 34 yang memerintahkan agar suami menjauhi istri di tempat tidur. Ketika emosi memuncak, tidak sedikit suami yang memilih meninggalkan rumah atau bahkan mengusir istrinya. Padahal, cara tersebut tidak sejalan dengan tuntunan Rasulullah SAW dan bertentangan dengan hak-hak istri dalam Islam.
Islam membolehkan suami melakukan hajr atau menjauhi istri, namun harus dilakukan sesuai aturan syariat, bukan berdasarkan luapan amarah semata.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Mu'awiyah bin Haidah, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan tidaklah seseorang melakukan hajr (menjauhi istrinya) kecuali di dalam rumah." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadits ini menegaskan bahwa menjauhi istri tidak boleh dilakukan dengan meninggalkan rumah atau mengeluarkan istri dari tempat tinggalnya.
Penjelasan Ulama tentang Pisah Ranjang dalam Rumah Tangga
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa hajr yang dibenarkan syariat adalah hajr yang tetap dilakukan di dalam rumah, bukan dengan berpisah tempat tinggal. Beliau menegaskan bahwa seorang suami tidak dibenarkan keluar dari rumah atau mengusir istrinya dengan alasan hajr.
Jika suami ingin melakukan hajr, maka hajr tersebut tetap berada dalam batas rumah tangga dan dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan.
Bentuk-Bentuk Hajr yang Dibenarkan dalam Islam
Hajr dengan Membatasi Komunikasi
Salah satu bentuk hajr adalah mengurangi atau memutus pembicaraan. Namun, bentuk hajr ini tidak boleh berlangsung lebih dari tiga hari, sebagaimana larangan Rasulullah SAW terhadap sikap saling mendiamkan dalam waktu lama.
Apabila masa tiga hari telah berlalu, maka suami wajib memulai kembali komunikasi minimal dengan mengucapkan salam. Jika dirasa hajr masih perlu dilanjutkan, maka salam tetap harus diucapkan setiap tiga hari sekali.
Hajr dalam Urusan Kebiasaan Makan
Hajr juga bisa dilakukan dengan mengubah kebiasaan, misalnya tidak makan bersama istri seperti biasanya. Dalam hal ini, suami tetap menunaikan kewajibannya, namun memberikan jarak sebagai bentuk peringatan tanpa menyakiti secara fisik maupun verbal.
Hajr dengan Tidak Tidur Bersama
Bentuk hajr yang paling sering dipahami adalah menjauhi istri dalam urusan tempat tidur. Hajr dalam bentuk ini memiliki beberapa cara, antara lain:
- Tidak melakukan hubungan suami istri
- Membelakangi istri ketika tidur
- Tidur di tempat yang terpisah, namun masih dalam satu rumah
Semua bentuk ini bertujuan memberikan ruang introspeksi, bukan sebagai hukuman yang merendahkan martabat istri.
(dvs/erd)












































Komentar Terbanyak
Sosok Pria Muslim Hentikan Penembakan Massal Yahudi di Pantai Bondi
Ditjen PHU Pamit dari Kemenag setelah 75 Tahun Tangani Haji Indonesia
Bolehkah Rujuk Tanpa Menikah Ulang Setelah Talak 1?