Lupa Berniat Saat Wudhu karena Panik, Apakah Wudhu Tetap Sah?

Lupa Berniat Saat Wudhu karena Panik, Apakah Wudhu Tetap Sah?

Salsa Dila Fitria Oktavianti - detikHikmah
Kamis, 18 Des 2025 16:15 WIB
Lupa Berniat Saat Wudhu karena Panik, Apakah Wudhu Tetap Sah?
Wudhu. Foto: iStock
Jakarta -

Lupa berniat saat wudhu karena panik kerap dialami oleh siapa pun dalam kondisi tertentu, seperti terburu-buru mengejar waktu salat atau berada dalam situasi darurat. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah wudhu yang dilakukan tetap sah menurut hukum Islam?

Hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut berdasarkan ketentuan fikih agar seorang muslim tidak terjebak dalam keraguan yang berlebihan dalam beribadah, sekaligus memahami prinsip kemudahan yang diajarkan oleh Islam.

Kedudukan Niat dalam Wudhu Menurut Kaidah Fikih

Kaidah fikih menyebutkan,

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

يغتفر فى الوسائل مالا يغتفر في المقاصد

Artinya: "Dapat dimaafkan ketika menjadi sarana atau medium namun tidak dimaafkan ketika menjadi tujuan."

ADVERTISEMENT

Kaidah ini digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan perbedaan hukum antara wasilah (perantara) dan maqṣad (tujuan) dalam syariat Islam.

Dikutip dari buku Fatwa & Yurisprudensi PA karya Urwatul Wusqo, dijelaskan bahwa niat dalam wudhu tidak diposisikan sebagai tujuan utama ibadah. Meskipun keberadaan niat tetap disyaratkan, kelalaian atau kekurangan dalam niat wudhu dapat ditoleransi karena wudhu berfungsi sebagai sarana atau syarat sah untuk melaksanakan salat.

Berbeda halnya dengan niat dalam salat. Salat merupakan tujuan syariat, sehingga niat di dalamnya bersifat wajib dan harus dipenuhi secara sempurna. Tanpa adanya niat, salat tidak dianggap sah. Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara kedudukan niat dalam wudhu sebagai sarana ibadah dan kedudukan niat dalam salat sebagai tujuan ibadah.

Pandangan Madzhab Fikih Tentang Niat dalam Wudhu

Dikutip dari buku Seri Fiqih Kehidupan 3: Salat karya Ahmad Sarwat, mazhab Asy-Syafi'iyah menempatkan niat sebagai rukun dalam ibadah-ibadah formal, seperti wudhu, tayammum, mandi janabah, salat, haji, dan ibadah sejenisnya. Penempatan niat sebagai rukun ini didasarkan pada definisi niat menurut mazhab Asy-Syafi'iyah, yakni tekad untuk melakukan suatu ibadah yang beriringan langsung dengan pelaksanaannya.

Menurut pandangan ini, niat tidak dilakukan sebelum ibadah dimulai, melainkan hadir bersamaan dengan perbuatan ibadah itu sendiri. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menyatu dan berlangsung bersamaan dengan perbuatan ibadah dikategorikan sebagai rukun, bukan syarat. Inilah sebabnya niat selalu disebut sebagai rukun pertama dalam hampir seluruh ibadah menurut mazhab Asy-Syafi'iyah.

Pandangan ini juga menjadi yang paling umum dianut oleh umat Islam di Indonesia. Sejak kecil, mayoritas masyarakat Indonesia yang secara fikih mengikuti mazhab Asy-Syafi'iyah diajarkan bahwa niat merupakan rukun ibadah dan menempati urutan awal dalam pembahasan rukun-rukun ibadah.

Berbeda dengan mazhab Asy-Syafi'iyah, mazhab-mazhab lain seperti Hanafiyah, Malikiyah (dalam pendapat zhahir), dan Hanabilah berpendapat bahwa niat bukanlah rukun, melainkan syarat sah ibadah. Hal ini didasarkan pada pandangan mereka bahwa niat harus sudah ada di dalam hati sebelum ibadah dimulai. Sesuatu yang keberadaannya mendahului pelaksanaan ibadah, menurut mereka, dikategorikan sebagai syarat, bukan rukun.

Sementara itu, sebagian ulama dari mazhab Malikiyah memiliki pandangan yang berbeda. Mazhab ini menempatkan niat bukan sebagai rukun dan bukan pula sebagai syarat, melainkan sebagai fardhu dalam ibadah.

Lupa Berniat Saat Wudhu karena Panik, Apakah Wudhunya Sah?

Dikutip dari buku Fikih Empat Madzhab Jilid 1 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, dijelaskan adanya perbedaan pandangan di kalangan mazhab fikih mengenai syarat sah wudhu, khususnya yang berkaitan dengan niat.

Menurut mazhab Asy-Syafi'i, terdapat beberapa ketentuan tambahan dalam sahnya wudhu. Di antaranya, seseorang dianjurkan mengetahui tata cara wudhu serta mampu membedakan mana bagian yang fardhu dan mana yang bukan. Namun, ketentuan ini diberi kelonggaran bagi orang awam. Selama ia tidak meyakini perkara yang fardhu sebagai sunnah, dan bahkan jika ia menganggap seluruh rangkaian wudhu sebagai fardhu, wudhunya tetap dinilai sah.

Mazhab Asy-Syafi'i juga menegaskan bahwa niat harus dihadirkan sejak awal wudhu dan terus menyertai hingga wudhu selesai. Apabila seseorang hanya berniat wudhu saat membasuh wajah, lalu ketika membasuh anggota lainnya niatnya berubah semata-mata untuk membersihkan atau menyegarkan diri, maka wudhunya tidak sah. Namun, apabila niat wudhu tetap ada meskipun disertai niat membersihkan, wudhunya tidak dianggap batal.

Sementara itu, mazhab Hanbali menetapkan niat sebagai syarat sah wudhu, bukan rukun. Menurut mereka, wudhu merupakan syarat sah salat, sehingga keberadaan niat menjadi penentu keabsahan wudhu.

Selain niat, mazhab Hanbali juga mensyaratkan penggunaan air yang halal dan mendahulukan istinja atau istijmar sebelum wudhu.

Adapun mazhab Hanafi berpendapat bahwa niat dalam wudhu hukumnya sunnah, bukan rukun dan bukan pula syarat. Sedangkan mazhab Maliki dan Asy-Syafi'i sepakat menempatkan niat sebagai bagian dari rukun wudhu.

Perbedaan pandangan antarmazhab ini menunjukkan bahwa kedudukan niat dalam wudhu tidak dipahami secara seragam. Oleh karena itu, yang terpenting adalah menghadirkan maksud berwudhu di dalam hati sejak awal, meskipun tanpa pelafalan khusus.

Apabila lupa berniat karena panik, tetapi pada hakikatnya memang bermaksud untuk berwudhu, maka wudhu tersebut tidak serta-merta menjadi tidak sah, sesuai dengan prinsip kemudahan dalam syariat Islam.




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads