Dalam akad nikah, wali memiliki peran penting sebagai pihak yang menikahkan mempelai wanita. Biasanya, peran ini dipegang oleh wali nasab, yaitu ayah, kakek, atau urutan kerabat laki-laki lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam buku Fiqh Keluarga Terlengkap karya Rizem Aizid.
Namun, jika wali nasab berhalangan (tidak ada atau tidak memenuhi syarat), perwalian akan beralih kepada wali hakim. Kewenangan ini didasarkan pada sebuah hadits yang berbunyi:
فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya: "Sungguh penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali," (HR. Ahmad).
Mengutip laman Kemenag, para ulama sepakat bahwa penguasa (atau yang mewakilinya) berhak menikahkan wanita yang tidak punya wali nasab. Baik karena wali nasabnya meninggal, hilang, non-muslim, atau menolak (enggan/aḍhal) tanpa alasan syar'i yang dibenarkan.
Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa kewenangan ini berasal dari kewenangan umum yang dimiliki penguasa dalam mengatur kemaslahatan umat, termasuk urusan pernikahan, mirip dengan kewenangan seorang ayah atau wali dalam urusan harta dan perlindungan.
Wali Hakim di Indonesia
Di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Menteri Agama (PMA) terbaru mengatur secara spesifik mengenai wali hakim.
Menurut KHI Pasal 1 huruf (b), wali hakim didefinisikan sebagai:
"Wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah."
Secara teknis, Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024 Pasal 13 menentukan bahwa pihak yang bertindak sebagai Wali Hakim adalah:
- Penghulu yang merangkap tugas tambahan sebagai Kepala KUA.
- Jika Kepala KUA bukan penghulu, maka yang berperan sebagai wali hakim adalah penghulu lain yang ditunjuk secara resmi.
6 Kondisi Diizinkannya Wali Hakim Bertindak
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah jika terjadi salah satu dari enam kondisi yang tercantum dalam PMA Nomor 30 Tahun 2024 Pasal 13 ayat (5), yang didukung oleh KHI Pasal 23.
Wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertindak sebagai wali dalam hal:
a. wali nasab tidak ada;
b. walinya adhal;
c. walinya tidak diketahui keberadaannya;
d. walinya tidak dapat dihadirkan/ditemui karena
dipenjara;
e. wali nasab tidak ada yang beragama Islam; dan
f. wali yang akan menikahkan menjadi pengantin itu
sendiri.
Wali Nasab Tidak Ada
Jika wali nasab tidak ada karena meninggal dunia dan sebagainya, maka bisa wakilkan oleh wali hakim.
Walinya Adhal
Jika wali nasab enggan menikahkan (aḍhal), kondisi ini harus dibuktikan melalui putusan dari Pengadilan Agama.
Walinya Tidak Diketahui Keberadaannya
Menurut pasal 13 ayat 7, wali tidak diketahui keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c didasarkan atas surat pernyataan bermaterai dari Catin dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
Walinya Tidak Dapat Dihadirkan/Ditemui
Menurut pasal 13 ayat 8, wali tidak dapat dihadirkan/ditemui sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d karena yang bersangkutan sedang berada dalam tahanan dengan surat pernyataan pertanggungjawaban mutlak dari salah seorang anggota keluarga.
Wali Nasab Tidak Ada yang Beragama Islam
Kondisi ini terjadi pada perempuan yang baru memeluk Islam (mualaf). Seluruh anggota keluarganya adalah orang kafir.
Wali yang Akan Menikahkan Menjadi Pengantin itu Sendiri
Jika kondisinya seperti ini, maka bisa diwakilkan oleh wali hakim.
Dengan demikian, wali hakim adalah pihak yang mewakili pemerintah (penguasa) untuk menjalankan perwalian nikah bagi wanita yang tidak memiliki wali nasab yang memenuhi syarat. Di Indonesia, tugas krusial ini dilaksanakan oleh penghulu yang menjabat sebagai Kepala KUA (atau penghulu yang ditunjuk resmi), yang kewenangannya diatur dalam KHI dan PMA 30/2024.
(hnh/inf)












































Komentar Terbanyak
7 Adab terhadap Guru Menurut Ajaran Rasulullah dan Cara Menghormatinya
Hukum Memelihara Anjing di Rumah Menurut Hadits dan Pendapat 4 Mazhab
Hukum Memakan Balut bagi Muslim, Halal atau Haram?