Apakah Sekufu Wajib dalam Pernikahan? Ini Penjelasannya

Apakah Sekufu Wajib dalam Pernikahan? Ini Penjelasannya

Hanif Hawari - detikHikmah
Selasa, 09 Des 2025 07:15 WIB
Apakah Sekufu Wajib dalam Pernikahan? Ini Penjelasannya
Ilustrasi pernikahan (Foto: Getty Images/iStockphoto/Galang Muhamad)
Jakarta -

Dalam konteks pernikahan seorang muslim, sering kali muncul istilah sekufu atau kafa'ah. Istilah ini merujuk pada konsep kesetaraan atau kesamaan antara laki-laki dan perempuan.

Meskipun sering dianjurkan, muncul pertanyaan mendasar: apakah sekufu wajib ada dalam sebuah ikatan pernikahan?

Untuk menjawabnya, mari kita telaah lebih dalam konsep sekufu, landasan anjurannya, hingga pandangan para ulama mengenai status hukumnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa Itu Sekufu dalam Pernikahan?

Secara bahasa, sekufu atau kafa'ah bermakna kesetaraan dan kesamaan. Dalam konteks pernikahan, tujuannya adalah agar sifat-sifat pasangan setara, khususnya pada aspek-aspek yang dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga dan status sosial di masyarakat.

Menurut Agus Mustofa dalam buku Sang Pengantin dan Generasi Cinta, sekufu didefinisikan sebagai kesetaraan yang berarti tidak adanya perbedaan yang terlalu signifikan antara calon suami dan istri. Perbedaan yang dimaksud bisa mencakup latar belakang pendidikan, suku bangsa, agama, dan aspek lainnya.

ADVERTISEMENT

Semakin besar dan banyak jurang perbedaan tersebut, potensi masalah dalam rumah tangga diyakini akan semakin besar.

Namun, sebagaimana dikutip dari buku Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq karya Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, kesetaraan yang dimaksud umumnya meliputi kedudukan, status sosial, akhlak, dan kepemilikan harta.

Anjuran Menikah dengan yang Sekufu

Ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk memilih pasangan yang sekufu. Anjuran ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan dari 'Aisyah RA:

"Pilihlah baik-baik (tempat) untuk sperma kalian, menikahlah kalian dengan yang sekufu, dan nikahkanlah (anak-anak perempuan kalian kepada mereka (yang sekufu)." (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Anjuran ini ditujukan untuk menjaga keharmonisan dan keberlangsungan keturunan yang baik. Walaupun demikian, anjuran ini bukan berarti adanya larangan mutlak bagi pernikahan yang berbeda suku, budaya, atau status sosial.

Sekufu Bukan Syarat Wajib Pernikahan

Lalu, bagaimana status hukum sekufu dalam pernikahan? Apakah ia termasuk rukun atau syarat sah pernikahan?

Pandangan ulama terbagi dalam masalah ini:

1. Pendapat Mayoritas Ulama: Dianggap Penting (Mu'tabar)

Mayoritas ulama berpandangan bahwa prinsip sekufu adalah perkara mu'tabar (banyak diamalkan umat Islam) dan penting dalam pernikahan. Namun, perkara yang paling menentukan adalah sikap istiqamah (konsisten) dan akhlak mulia, bukan nasab (keturunan), profesi, atau kekayaan.

Dengan demikian, seorang laki-laki yang saleh, meskipun tidak bernasab baik, boleh menikah dengan wanita yang memiliki nasab baik. Begitu pula laki-laki dari kedudukan rendah boleh menikahi wanita dari keluarga terhormat.

Menurut Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, jika seorang laki-laki tidak memenuhi syarat istiqamah (berakhlak fasik), ia tidak sekufu dengan wanita salihah. Dalam kondisi seperti ini, wanita yang dipaksa menikah dengan laki-laki fasik oleh ayahnya berhak mengajukan fasakh akad (pembatalan akad).

2. Pendapat Ibnu Hazm: Sekufu Tidak Diperlukan

Sejumlah ulama, termasuk Ibnu Hazm, berpendapat bahwa tidak perlu adanya syarat sekufu dalam pernikahan. Ia mengatakan, "Setiap muslim yang tidak berzina baginya hak untuk menikah dengan muslimah manapun yang tidak berzina."

3. Pandangan Asy-Syaukani: Sekufu Terkait Agama

Asy-Syaukani merangkum pandangan ulama seperti Umar, Ibnu Mas'ud, Muhammad bin Sirin, Umar bin Abdul Aziz, dan yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim, bahwa yang diputuskan dalam hukum Rasulullah SAW adalah sekufu dalam hal agama.

Artinya, seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki kafir, dan wanita terhormat (salihah) dilarang menikah dengan laki-laki fajir (pendosa). Selain itu, tidak ada prinsip sekufu yang terkait dengan nasab, pekerjaan, kekayaan, atau status merdeka/budak.

Dengan landasan ini, pernikahan antara budak yang menjaga kehormatannya dengan wanita merdeka yang kaya adalah boleh (sah), asalkan budak tersebut seorang muslim. Begitu juga pernikahan antara laki-laki miskin dengan wanita yang mapan secara ekonomi, atau non-Quraisy dengan wanita Quraisy, hukumnya tetap sah.

Intinya, sekufu bukanlah termasuk syarat sah nikah. Akad nikah yang telah dilangsungkan akan tetap sah meskipun ada ketidaksetaraan (sekufu) di antara pasangan.

Status sekufu hanya berlaku pada saat akad nikah. Jika status sekufu (misalnya dalam hal kemampuan memberi nafkah atau kesalihan) hilang atau berkurang setelah akad, hal itu tidak akan merusak atau mengubah keabsahan akad nikah.

Contohnya, jika saat akad suami berprofesi terhormat dan saleh, tetapi kemudian ia berubah menjadi orang yang hina, tidak mampu menafkahi, atau menjadi fasik, status akad nikah mereka tetap sah dan keduanya tetap suami istri yang sah.

Syarat Sah Nikah

Berdasarkan buku Fiqih Munakahat: Hukum Pernikahan Dalam Islam yang ditulis oleh Sakban Lubis dkk, keabsahan sebuah pernikahan dalam Islam sangat bergantung pada terpenuhinya syarat-syarat kedua mempelai. Adapun rincian persyaratannya adalah sebagai berikut:

Syarat bagi Calon Suami

  • Beragama Islam dan jelas identitas gendernya sebagai laki-laki.
  • Memiliki status hukum yang halal untuk menikahi calon istri (bukan mahram).
  • Pernikahan dilakukan atas dasar kerelaan (tanpa paksaan) serta mengenal calon istrinya dengan baik.
  • Tidak sedang memiliki empat orang istri dan tidak sedang dalam hubungan pernikahan yang melarang poligami (seperti mengumpulkan dua saudara kandung).
  • Tidak sedang melaksanakan ibadah ihram (haji atau umrah), sesuai larangan Nabi SAW.

Syarat bagi Calon Istri

  • Beragama Islam dan jelas identitas gendernya sebagai perempuan (bukan khuntsa).
  • Berstatus bebas (tidak memiliki suami dan tidak sedang dalam masa iddah).
  • Bukan mahram dari calon suami dan belum pernah terkena sumpah li'an(menuduh berzina) oleh calon suami tersebut.
  • Memberikan izin atau restu kepada walinya untuk menikahkan dirinya.
  • Pernikahan didasari kerelaan dan tidak sedang dalam kondisi ihram.

Wallahu a'lam.




(hnh/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads