Kerajaan Mataram Islam merupakan satu dari kerjaan yang berperan penting dalam perkembangan Islam di Indonesia. Bahkan, kerajaan ini berkembang menjadi kerajaan besar Islam di Pulau Jawa.
Menurut buku Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa susunan Alik Al Adhim, raja pertama Kerajaan Mataram Islam adalah Sutawijaya yang lebih dikenal dengan nama Panembahan Senopati. Dia memiliki misi ekspansi ke berbagai daerah dan menjadikan Mataram Islam sebagai pusat kebudayaan serta agama Islam di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masa pemerintahan Sutawijaya berlangsung selama 26 tahun. Setelah kepemimpinannya, Panembahan Sedo Karapyak menggantikan Sutawijaya dan mulai memerintah pada 1601-1613 M.
Dia terus melakukan ekspansi dan menaklukkan daerah-daerah pantai di sekitarnya. Sayangnya, ia gugur dalam usahanya menyatukan Kerajaan Mataram yang kemudian dimakamkan di daerah Krapyak, Yogyakarta.
Dilansir dari buku Tentang Manusia Indonesia oleh Toeti Noerhadi dan N Roosseno, Kesultanan Mataram Islam mengalami kemunduran akibat konflik. Hal itu menyebabkan perpecahan hingga Kerajaan Mataram Islam terbagi dua.
Alasan Kerajaan Mataram Islam Terpecah Jadi Dua
Diterangkan dalam buku Resepsi Al Qur'an dan Bentuk Spiritualitas Jawa Modern oleh Samsul Ariyadi, Kerajaan Mataram Islam dipecah menjadi dua berdasarkan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Dari perjanjian itu, Kesultanan Mataram Islam dipecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Dari segi historis, pembangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimulai pada era Kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono I atau biasa dikenal Pangeran Mangkubumi. Sejak saat itu, Keraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I dan pengikutnya.
Usai pembangunan keraton selama satu tahun, pada 7 Oktober 1756 Sri Sultan berkenan memasuki Keraton dan untuk sementara waktu menempati Gedung Sedahan. Penempatan ini ditandai oleh lukisan patung dua ekor naga yang ekornya saling melilit dan disebut dengan istilah Jawa "Candrasengkala memet", artinya angka-angka dari tahun Jawa yang dilukiskan dengan kata-kata "Dwi Naga Rasa Tunggal".
Perjanjian Giyanti menjadi penanda pecahnya mataram menjadi dua. Tak hanya menyangkut pembagian wilayah kekuasaan dan rakyat, tetapi juga pembagian tanda-tanda kebesaran seperti lambang-lambang kekuasaan dan lebih penting juga pusaka raja.
Kesepakatan dalam Perjanjian Giyanti diawali dengan konflik internal dalam Kesultanan Mataram Islam dengan melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said. Konflik terjadi akibat pengangkatan Pangeran Prabusuyasa yang bergelar Pakubuwana II menjadi raja baru.
Tetapi, Raden Mas Said yang merupakan anak dari Arya Mangkunegara (putra sulung Amangkurat IV) meminta haknya sebagai pewaris tahta Kesultanan Mataram Islam. Selain itu, konflik tersebut juga dipicu adanya keputusan Pakubuwana II yang ingin memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 1745 M.
Konflik kian memanas saat Raden Mas Said bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut kekuasaan. Pakubuwana II kemudian wafat dan Pangeran Mangkubumi langsung memanfaatkan kekosongan pemerintahan dengan mengangkat diri sebagai raja baru Mataram Islam.
VOC yang kala itu ikut campur dalam pemerintahan Mataram Islam enggan mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai raja dan mengangkat Raden Mas Soejardi (anak Pakubuwana II) sebagai raja baru bergelar Pakubuwana III. Hal ini menyebabkan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi tidak setuju dan melakukan serangan terhadap VOC serta Pakubuwana III.
VOC lantas melakukan taktik adu domba dengan menghasut Raden Mas Said untuk hati-hati dengan Pangeran Mangkubumi. Taktik itu berhasil dan menyebabkan terjadinya perselisihan antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi pada 1752 M.
Kemudian, VOC memanfaatkan situasi untuk berunding bersama Pangeran Mangkubumi dengan berjanji akan memberinya setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwana III.
Pada 22-23 September 1754, VOC mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk berunding bersama membahas mengenai pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang digunakan dan kerja sama VOC dengan kesultanan di Dukuh Kerten, Desa Jantiharo, Karanganyar, Jawa Tengah.
Perundingan itu mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Kerajaan Mataram Islam lalu dibagi menjadi dua wilayah dengan dua raja yang memiliki gelar berbeda.
(aeb/lus)












































Komentar Terbanyak
Ma'ruf Amin Dukung Renovasi Ponpes Pakai APBN: Banyak Anak Bangsa di Sana
Gus Irfan soal Umrah Mandiri: Pemerintah Saudi Izinkan, Masa Kita Larang?
Kisah Jemaah Umrah Mandiri Tanpa Agen Travel: Lebih Fleksibel, Hemat