Pengakuan masif terhadap negara Palestina (147 negara, termasuk negara Barat sekutu utama AS dan Israel) menjelang Sidang Umum PBB 22-23 September 2025 membuat isu Palestina kembali ke "arus utama" diplomasi global. Abraham Accord (2020) dan proyek normalisasi Israel-Arab yang semula dibangun di atas asumsi bahwa isu Palestina bisa "diparkir", kini asumsi itu runtuh. Badai al-Aqsa 2023 membangunkan hati nurani warga dunia dan mengekspose normalisasi tanpa solusi adil Palestina semakin kehilangan legitimasi moral.
Negara-negara yang sudah menormalisasi (UEA, Bahrain, Maroko, Sudan) kini menghadapi tekanan opini publik domestik. Rakyat bertanya, apa gunanya berdamai dengan Israel jika Gaza dibantai dan dunia kini mengakui Palestina? Abraham Accords akhirnya ditelanjangi sebagai simbol politik transaksional (akses senjata, investasi, teknologi), bukan "perdamaian sejati". Dampaknya: citra perjanjian ambisius ini menurun drastis, apalagi bila dibandingkan dengan momentum pengakuan Palestina yang punya bobot moral lebih besar.
Genosida Gaza memperlihatkan Israel bukan aktor pencipta stabilitas, melainkan pemicu instabilitas. Negara-negara yang tadinya mengincar kerja sama ekonomi-teknologi lewat normalisasi kini harus menimbang ongkos politik & reputasi di mata rakyatnya sendiri. Apalagi setelah gelombang pengakuan Palestina di arena UNGA-80, Israel makin tampak sebagai rezim pariah (outcast).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abraham Accord: Dari Euforia ke Erosi Legitimasi
Ketika pertama kali ditandatangani pada 2020, Abraham Accord dipasarkan sebagai "jalan baru" menuju stabilitas Timur Tengah. Normalisasi Israel dengan UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko dipuji AS sebagai model perdamaian berbasis ekonomi, teknologi, dan keamanan regional.
Namun, sejak perang Gaza 2023-2025 meletus, citra itu runtuh. Israel tidak lagi dilihat sebagai mitra perdamaian dengan etalase modernisasi, melainkan sebagai aktor penjajah dan pelaku genosida primitif. Narasi normalisasi kini dianggap bertentangan dengan aspirasi rakyat Arab-Muslim yang mayoritas mendukung narasi perlawanan Palestina.
Faktor Pengakuan Palestina oleh Negara-Negara Barat
Pengakuan 147 negara anggota PBB, termasuk beberapa sekutu utama AS-Israel (misalnya Spanyol, Irlandia, Norwegia, Prancis, Inggris, Belgia, Luxemburg, Kanada dan Australia), menjadi pukulan telak bagi legitimasi Abraham Accord.
Jika negara-negara Barat yang dulu menjadi sponsor normalisasi kini beralih mendukung Palestina, maka itu artinya payung politik Abraham Accord melemah. Normalisasi tampak seperti proyek elite yang terlepas dari realitas global dan regional. Negara-negara Arab yang dulu mempertimbangkan normalisasi (seperti Arab Saudi dan Indonesia) kini menahan diri.
Reaksi Negara-Negara Arab-Islam
Mari kita merekonstruksi wajah baru peta normalisasi Abraham Accord. Diperkirakan UEA dan Bahrain tetap menjaga hubungan formal dengan Israel, tetapi menghadapi tekanan opini publik dalam negeri. Sementara Maroko mulai menimbang ulang level kerja sama strategis dengan Israel akibat gelombang tekanan rakyat, terutama setelah serangan Gaza yang brutal. Sudan yang menjadi satelit UEA sejak kudeta pemerintah yang sah dan kini basis dukungan domestiknya mulai goyah, sepertinya akan berubah juga mengikuti arah mata angin di kawasan MENA.
Arab Saudi yang semula kandidat utama normalisasi, kini justru menguatkan peran diplomasi Palestina dan bahkan terlibat isu pakta pertahanan dengan Pakistan. Dan Indonesia saat Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan lalu terpilih sebagai Presiden RI semakin intensif membangun industri militernya bekerjasama dengan Turki.
Dengan kata lain, perang Gaza 2023-2025 telah membalik arus normalisasi, dari gelombang pasang menuju gelombang surut.
Dampak Geopolitik
Tentu saja perkembangan di atas menjadi 'kiamat kecil' bagi Israel. Entitas pendudukan itu kehilangan narasi "diterima dunia Arab". Yang ada justru meningkatnya isolasi regional dan global. Bagi AS, proyek diplomasi kebanggaan Trump dan Biden ini kehilangan kredibilitas, sementara Global South semakin menekan isu Palestina. Dan bagi dunia Islam, normalisasi tak lagi menjadi agenda utama, disebabkan solidaritas Palestina kembali menjadi kompas diplomasi. Sementara itu, bagi Blok Multipolar (BRICS+, SCO, dst.): mereka mendapatkan momentum untuk tampil sebagai sponsor alternatif perdamaian yang lebih sejalan dengan aspirasi Palestina.
Hemat saya, Abraham Accord mungkin bisa bertahan hanya sebatas hubungan bilateral pragmatis (ekonomi, teknologi). Namun, sebagai proyek politik besar untuk mengintegrasikan Israel ke dunia Arab, masa depannya suram. Jika tren pengakuan Palestina terus meluas, normalisasi akan dicatat sejarah sebagai episode singkat yang gagal mengabaikan realitas kolonialisme Israel.
Walhasil, gelombang pengakuan Palestina oleh mayoritas anggota PBB telah menggeser pusat gravitasi diplomasi. Jika 2020 adalah tahun kejayaan Abraham Accord, maka 2025 menjadi tahun surutnya. Kini, dunia Arab-Islam menemukan kembali sumbu persatuan di isu Palestina, dan Israel semakin terisolasi di panggung internasional.
Fahmi Salim
Penulis adalah Direktur Baitul Maqdis Institute - Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungg jawab penulis. Terima kasih
(erd/erd)












































Komentar Terbanyak
Gus Irfan soal Umrah Mandiri: Pemerintah Saudi Izinkan, Masa Kita Larang?
MUI Surakarta Jelaskan Hukum Jenazah Raja Dimakamkan dengan Busana Kebesaran
Dari Wakaf hingga Charity Gereja, LPDU Akan Kelola Semua Dana Keagamaan