Dalam kehidupan sehari-hari ada saja seseorang yang berutang. Dalam Islam, seseorang boleh berutang untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak dan wajib membayarnya.
Islam juga memandang utang piutang sebagai amal kebaikan antara kalangan yang berkecukupan dengan orang yang kekurangan, di antaranya terjalin hubungan saling membantu satu sama lainnya.
Landasan dalil mengenai dibolehkannya berutang ada dalam hadits Nabi SAW, beliau bersabda,
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَب يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya: "Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya." (HR Muslim)
Melunasi utang tidak boleh ditunda. Jika seseorang sengaja untuk menunda membayar utang padahal sudah mampu, Allah SWT akan membuat orang tersebut mengalami kesulitan hidup.
Menurut penjelasan dalam buku Ekonomi Syariah oleh S. Purnamasari, dkk, Islam telah mengatur perkara utang piutang secara rinci, baik melalui Al-Qur'an maupun hadits. Dasar hukum utang piutang dalam Islam dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُۥ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَٱسْتَشْهِدُوا۟ شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَٱمْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَىٰهُمَا ٱلْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُوا۟ ۚ وَلَا تَسْـَٔمُوٓا۟ أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدْنَىٰٓ أَلَّا تَرْتَابُوٓا۟ ۖ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوٓا۟ إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا۟ فَإِنَّهُۥ فُسُوقٌۢ بِكُمْ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakannya (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Hukum Membayar Utang Orang yang Telah Meninggal dalam Islam
Utang adalah tanggung jawab besar yang tidak boleh disepelekan. Setiap orang yang meminjam memiliki kewajiban untuk melunasi apa yang ia ambil. Dalam Islam, utang bukan hanya persoalan finansial, tetapi juga menyangkut etika, amanah, dan tanggung jawab seorang hamba.
Namun, bagaimana jika seseorang meninggal dunia sementara masih meninggalkan utang? Apakah tanggung jawab tersebut akan gugur begitu saja?
Dalam buku Ilmu Faroidh karya Mokhamad Rohma Rozikin disebutkan bahwa utang memiliki konsekuensi yang sangat serius, bahkan bisa menjadi penghalang seseorang yang mati syahid untuk masuk surga.
Hal ini sebagaimana hadits dari Muhammad bin Abdillah bin Jahsy, dari ayahnya, ia berkata:
"Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, 'Wahai Rasulullah, jika aku berjihad di jalan Allah lalu mati, di manakah tempatku?' Rasulullah menjawab, 'Surga.' Namun ketika lelaki itu beranjak pergi, Rasulullah memanggilnya kembali dan berkata, 'Kecuali jika engkau masih memiliki utang. Utang dapat menghalangimu masuk surga. Jibril baru saja membisikkan hal itu kepadaku'." (HR Ahmad)
Hadits tersebut menunjukkan betapa beratnya tanggungan utang dalam pandangan Islam.
Kewajiban melunasi utang tidak serta-merta hilang setelah seseorang meninggal dunia. Menurut Fiqhul Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili, pembayaran utang adalah bagian dari hak-hak jenazah yang wajib dipenuhi. Bahkan, kedudukannya lebih utama dibandingkan pelaksanaan wasiat.
Hal ini ditegaskan dalam hadits dari Ali RA, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW mendahulukan pembayaran utang mayit daripada wasiat." (HR Tirmidzi)
Dengan demikian, utang harus segera dilunasi dari harta peninggalan si mayit sebelum dibagikan kepada ahli waris.
Pembayaran utang merupakan kewajiban yang melekat pada diri setiap orang yang berutang. Ketika seseorang wafat, kewajiban ini tetap berlaku dan harus ditunaikan oleh ahli waris melalui harta peninggalannya. Utang dianggap sebagai hak yang harus dipenuhi, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia.
Artinya, utang-utang jenazah harus dibayarkan dari ra'sul mal (harta peninggalan) sebelum harta tersebut dibagi. Ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa utang bukanlah perkara ringan, dan Islam menempatkan pelunasannya sebagai prioritas utama.
(lus/kri)
Komentar Terbanyak
13 Asosiasi Haji-Umrah Serahkan DIM ke PKS, Tolak Legalisasi Umrah Mandiri
Respons Menag Nasaruddin Usai Kantor Kemenag Digeledah KPK
Bisakah Tes DNA untuk Menentukan Nasab? Ini Kata Buya Yahya