Niat Puasa Syawal dan Ganti Puasa Ramadan, Bolehkah Digabung?

Niat Puasa Syawal dan Ganti Puasa Ramadan, Bolehkah Digabung?

Indah Fitrah - detikHikmah
Rabu, 09 Apr 2025 09:30 WIB
Ilustrasi puasa
Ilustrasi puasa. Foto: Getty Images/ferlistockphoto
Jakarta -

Setelah Ramadan berakhir, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Namun, bagaimana jika seseorang masih memiliki tanggungan puasa Ramadan yang harus diganti?

Apakah puasa Syawal dan puasa qadha bisa dikerjakan secara bersamaan dengan menggabungkan niat kedua puasa tersebut? Simak penjelasannya berikut ini, beserta bacaan niat untuk puasa Syawal dan qadha Ramadan.

Bacaan Niat Puasa Syawal

Bagi yang ingin melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal secara khusus, berikut adalah bacaan niatnya yang dikutip dari laman resmi MUI:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ سِتَّةٍ مِنْ ؎َوَّالٍ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitu shauma ghadin 'an sittatin min Syawwaalin sunnatan lillaahi ta'aalaa

ADVERTISEMENT

Artinya: "Aku berniat puasa besok dari enam hari di bulan Syawal, sunnah karena Allah Ta'ala."

Bacaan Niat Puasa Qadha Ramadan

Mengutip sumber sebelumnya, untuk melaksanakan puasa qadha Ramadan, bacaan niat yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ ؎َهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitu shauma ghadin 'an qadhā'i fardhi syahri Ramadhāna lillaahi ta'aalaa.

Artinya: "Aku berniat untuk mengqadha puasa bulan Ramadan esok hari karena Allah SWT."

Bolehkah Menggabungkan Niat Puasa Syawal dan Qadha Ramadan?

Dinukil dari buku Ensiklopedia Islam (Akidah, Ibadah, Muamalah, Tematik) susunan Dr. Makmur Dongoran, Lc, M.S.I, sebagian ulama menyebut penggabungan puasa wajib (seperti qadha, nazar, atau kafarah) dan puasa sunnah (seperti puasa Syawal, ayyamul bidh, atau Senin-Kamis) dengan istilah at-tasyrik.

Perlu diketahui bahwa qadha puasa Ramadan tidak wajib dilakukan di bulan Syawal, melainkan boleh dikerjakan hingga bulan Sya'ban. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah radhiyallahu 'anha yang berkata,

"Saya memiliki hutang puasa Ramadan dan saya tidak menunaikannya kecuali di bulan Sya'ban." (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bolehnya menunda qadha hingga Sya'ban, sehingga masih memungkinkan untuk melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal secara tersendiri.

Oleh karena tidak adanya dalil yang secara jelas membahas mengenai hal ini, para ulama berbeda pendapat berdasarkan ijtihad masing-masing.

Berikut perbedaan pendapat ulama mengenai penggabungan niat puasa Syawal dan Qadha Ramadan yang dikutip dari sumber sebelumnya.

1. Ulama yang Membolehkan

Sebagian ulama dari kalangan Syafi'iyah memperbolehkan menggabungkan puasa wajib dan sunnah. Pandangan ini juga ditegaskan oleh lembaga fatwa resmi Mesir.

Imam As-Suyuthi dalam karya Al-Asybah wa An-Nazha'ir menyampaikan:

"Apabila seseorang berpuasa karena qadha, nazar, atau kafarah, lalu bertepatan dengan hari puasa Arafah dan ia meniatkan keduanya, maka puasanya sah dan ia mendapatkan dua ganjaran, yakni untuk puasa wajib dan sunnah."

Imam Ar-Ramli dari mazhab Syafi'i juga menulis dalam Nihayatul Muhtaj:

"Seseorang yang mengqadha puasa bertepatan di bulan Syawal atau di hari Asyura', maka ia turut memperoleh pahala dari puasa sunnah tersebut."

Meski demikian, mereka tetap menekankan bahwa yang lebih afdhal adalah memisahkan niat antara puasa wajib dan sunnah.

2. Ulama yang Melarang Penggabungan

Ulama seperti Syaikh Bin Baz, Dr. Abdurrahman Ali Al-Askar, dan Dr. Muhammad bin Hassan berpendapat bahwa niat untuk puasa qadha Ramadan tidak bisa digabung dengan niat puasa sunnah.

Menurut mereka, apabila dua niat tersebut digabung, maka yang sah hanyalah puasa wajibnya. Mereka mendasarkan pandangan ini pada kaidah fikih:

"Jika dua ibadah digabungkan niatnya, maka ibadah yang bersifat wajib akan mengalahkan yang sunnah."

Pendapat ini dianggap lebih kuat oleh Syaikh Prof. Dr. Sulaiman Ar-Ruhaili (salah satu imam besar Masjid Nabawi, Madinah). Pandangan ini juga menjadi pilihan yang kami nilai lebih tepat, terlebih seseorang masih memiliki cukup waktu untuk mengerjakan puasa wajib dan sunnah secara terpisah.

Namun, karena persoalan ini termasuk ranah ijtihad yang longgar dan terbuka untuk perbedaan, maka tidak sepantasnya saling mencela atau merendahkan mereka yang memilih pandangan berbeda.

Wallahu a'lam.




(inf/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads