'Hamba Sahaya Melahirkan Tuannya', Salah Satu Tanda Datangnya Kiamat

'Hamba Sahaya Melahirkan Tuannya', Salah Satu Tanda Datangnya Kiamat

Anindyadevi Aurellia - detikHikmah
Rabu, 19 Mar 2025 14:20 WIB
Digitally generated post apocalyptic scene depicting a desolate urban landscape with buildings in ruins at night during a strong rain storm. 

The scene was created in Autodesk® 3ds Max 2020 with V-Ray 5 and rendered with photorealistic shaders and lighting in Chaos® Vantage with some post-production added.
Foto: Getty Images/Bulgac
Jakarta -

Salah satu tanda yang disebutkan dalam hadits sebagai pertanda datangnya hari kiamat adalah 'hamba sahaya melahirkan tuannya'. Maknanya mendalam dan penuh simbolisme.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menyebutkan bahwa di antara tanda-tanda kiamat adalah ketika seorang budak perempuan melahirkan tuannya sendiri. Lantas, apa sebenarnya maksud dari pernyataan ini?

Dalam sejarah Islam, perbudakan memang pernah menjadi bagian dari kehidupan sosial, namun Islam juga mendorong pembebasan budak sebagai bentuk amal kebajikan. Oleh karena itu, beberapa ulama menafsirkan hadits ini sebagai isyarat tentang maraknya praktik perbudakan kembali di akhir zaman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, ada pula yang memahami ungkapan ini sebagai gambaran perubahan sosial yang drastis. Seorang anak yang seharusnya berbakti kepada ibunya justru memperlakukan ibunya dengan buruk, seolah-olah ia adalah tuannya.

Penjelasan Hadits Imam Muslim

Disadur dari buku Ensiklopedia Kiamat oleh Dr Umar Sulaiman al Asygar, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, Umar bin Khattab RA menceritakan tentang kedatangan Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW.

ADVERTISEMENT

قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ

Artinya: Lelaki itu kemudian mendekatkan dirinya pada Rasulullah SAW dan bertanya, "Kapan hari kiamat?" Rasulullah SAW menjawab, "Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada orang yang bertanya." Ia bertanya lagi, "Kalau begitu, terangkan tanda-tanda kiamat?" Rasulullah SAW menjawab, "Jika hamba sahaya telah melahirkan majikannya dan orang-orang fakis miskin yang tidak bersepatu, tidak berpakaian telah berlomba-lomba membangun gedung besar." (HR Muslim)

Diceritakan, Jibril hadir dalam rupa seorang pria berpenampilan bersih, berpakaian putih, dan berambut hitam lebat. Dalam kesempatan itu, Jibril bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Islam, iman, dan ihsan, yang kemudian dijawab oleh beliau.

Setelah itu, Jibril menanyakan tentang hari kiamat. Rasulullah saw. menjawab "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya." Lalu Jibril meminta beliau menjelaskan tanda-tanda datangnya kiamat, dan Rasulullah SAW bersabda:

"Hamba sahaya melahirkan tuannya, serta kau akan melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, berpakaian compang-camping, dan penggembala kambing berlomba-lomba membangun gedung-gedung tinggi."

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, yang bertanya lebih lanjut kepada Rasulullah SAW tentang siapa yang dimaksud dengan penggembala kambing serta orang-orang miskin yang tak beralas kaki itu. Rasulullah SAW menjawab "Orang Arab."

Ibn Rajab kemudian menafsirkan hadis ini dengan menyatakan bahwa tanda-tanda kiamat yang disebutkan di dalamnya, berhubungan dengan penyerahan kepemimpinan kepada orang-orang yang tidak memiliki keahlian. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW:

"Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."

Dr Umar Sulaiman al Asygar menuliskan, salah satu tanda kiamat kecil (sugra) yakni individu yang sebelumnya tidak memiliki kekuasaan atau keahlian tiba-tiba menjadi pemimpin. Ia kemudian mulai bermegah-megahan dengan harta serta membangun gedung-gedung tinggi, maka tatanan kehidupan baik dalam aspek agama maupun dunia akan mengalami kerusakan.

Makna 'Hamba Sahaya Melahirkan Tuannya'

Makna dari ungkapan 'hamba sahaya melahirkan tuannya' ditafsirkan beberapa ulama, merujuk pada meningkatnya jumlah hamba sahaya dan keturunannya. Terdapat beberapa tafsiran mengenai maksud dari hadits ini. Berikut beberapa pendapat dari para ulama:

1. Anak Menjadi Tuan atas Ibunya Sendiri

Masih dikutip dari buku karya Dr Umar Sulaiman al-Asygar, dijelaskan bahwa frasa 'hamba sahaya melahirkan tuannya' menandakan banyaknya jumlah hamba sahaya serta keturunannya. Dalam konteks ini, anak dari seorang hamba sahaya memiliki kedudukan yang sederajat dengan majikannya, sebab harta seseorang akan diwariskan kepada anaknya.

Pendapat lain menyebutkan bahwa para hamba sahaya akan melahirkan anak-anak yang kelak menjadi raja atau pemimpin. Akibatnya, ibu mereka yang sebelumnya seorang hamba sahaya berperan sebagai pengasuh, sementara anaknya menjadi seorang tuan yang berkuasa.

Fenomena ini telah terjadi di masa lalu, di mana banyak budak yang akhirnya memperoleh kebebasan dan memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat.

2. Pertanda Maraknya Perbudakan

Dikutip dari buku 6 Pilar Keimanan karya Syaikh Nawawi, hadits ini dikaitkan dengan kondisi dunia di akhir zaman yang ditandai dengan semakin maraknya praktik perbudakan. Salah satu bentuknya adalah penjualan ibu secara masif, hingga akhirnya seorang anak bisa saja tanpa sadar membeli ibunya sendiri sebagai budak.

Pendapat lain dari Syarah An-Nawawi 'ala Muslim menjelaskan bahwa kata al-amah dalam hadits ini secara bahasa berarti budak perempuan yang ditawan dalam perang. Maka, tanda kiamat yang disebutkan dalam hadits ini mengisyaratkan bahwa perbudakan akan kembali merebak di masa depan, banyak budak perempuan yang memiliki anak dari tuannya.

Fenomena ini juga diperkuat oleh pendapat dalam Tafsir al-Azhar Jilid 3 karya Hamka, yang menyatakan bahwa hadits ini bisa dimaknai sebagai kondisi seseorang yang asal-usulnya tidak jelas, namun kemudian diadopsi oleh seorang budak. Seiring waktu, orang tersebut menjadi sombong setelah mendapatkan kedudukan dan kekuasaan.

3. Budak sebagai Kiasan

Beberapa ulama menafsirkan hadits ini bukan secara harfiah, melainkan sebagai bentuk kiasan. Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani menentang pandangan bahwa hadits ini hanya berkaitan dengan praktik perbudakan fisik, sebab perbudakan telah lama terjadi, bahkan di masa Rasulullah SAW.

Syeikh Mustofa Dib al-Bugha dan Syeikh Muhyiddin Mistu dalam Kitab al-Wafi fi Syarh al-Arba'in al-Nawawiyyah berpendapat bahwa hadits ini menggambarkan semakin banyaknya anak-anak yang durhaka kepada orang tua mereka.

Akibat kedurhakaan yang merajalela, seorang anak memperlakukan ibunya seperti seorang tuan memperlakukan hambanya. Mereka berani memarahi, menghina, bahkan membuat orang tua mereka takut, sebagaimana seorang hamba sahaya merasa takut kepada tuannya. Hal ini sejalan dengan tanda kiamat lainnya, di mana orang tua kehilangan wibawa di hadapan anak-anaknya.

Perbuatan durhaka sebagai tanda hari kiamat tersebut digambarkan hingga seorang ibu atau ayah menjadi takut pada anaknya sendiri seperti hamba sahaya yang takut pada tuannya. Hal itu diyakini terjadi pada fase peluruhan waktu (fasad al-zaman) dan pembalikan tatanan kehidupan (inqilab al-ahwal).




(aau/fds)

Hide Ads