Pada masanya, umat Islam pernah terlibat dalam konflik besar yang memecah belah persatuan mereka. Salah satu perpecahan hebat dalam sejarah Islam disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam penyerahan kepemimpinan
Namun, setelah melalui berbagai perjuangan, akhirnya mereka berhasil mencapai titik perdamaian, dan bersatu di bawah satu kepemimpinan yang tepat. Perdamaian ini kemudian dikenal dengan sebutan Amul Jamaah. Apa itu amul jamaah? Berikut penjelasan lengkapnya.
Apa Itu Amul Jamaah?
Mengutip buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X yang disusun oleh H. Abu Achmadi, Sungarso, amul jamaah (tahun bersatunya umat Islam) merupakan tahun penyerahan kekuasaan dan pelimpahan wewenang dalam sejarah Islam. Peristiwa ini terjadi ketika Muawiyah bin Abu Sufyan memperoleh kekuasaan dari Hasan bin Ali, yang menandai berdirinya Dinasti Umayyah. Peristiwa ini terjadi di Maskin, Kufah pada tahun 41 H/661 M.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah umat Islam, karena umat Islam akhirnya berada dalam satu kepemimpinan tunggal, yaitu kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan. Peristiwa tersebut ditandai dengan proses penyerahan kekuasaan (khilafah) dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan.
Dalam peristiwa tersebut, Hasan bin Ali melakukan sumpah setia dan mengakui Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai pemimpin umat Islam. Pengakuan itu kemudian diikuti oleh para pendukung Hasan bin Ali di kota Kufah, Irak.
Meskipun kekuasaan Hasan bin Ali sangat singkat, namun saat itu merupakan masa peralihan dari pemerintahan khalifah yang bersifat musyawarah menjadi pemerintahan yang bersifat monarchi heredities (secara turun temurun). Sistem pemerintahan seperti ini kemudian dipakai oleh pemerintahan Islam pada masa-masa sesudahnya, seperti Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Fathimiyah.
Awal Mula Terbentuknya Amul Jama'ah
Dalam buku Siapakah Sesungguhnya Golongan Ahlussunnah wal Jamaah yang disusun oleh Idik Saeful Bahri, peristiwa amul jamaah ini dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan pada tahun 35 H. Sejak saat itu, umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok memiliki pemimpinnya sendiri dan tidak mengakui pemimpin dari kelompok lain.
Terbunuhnya Utsman sebenarnya dipicu oleh masalah politik. Kelompok pemberontak yang tidak senang dengan para gubernur yang diangkat oleh Utsman dan kebijakannya menuntut agar khalifah ketiga itu melepaskan jabatannya.
Namun, Utsman enggan memenuhi tuntutan tersebut. Keengganan Utsman untuk melepaskan jabatan membuat kelompok pemberontak marah, dan akhirnya Utsman terbunuh di rumahnya saat sedang membaca Al-Qur'an.
Kematian Utsman bin Affan menjadi titik tolak perpecahan umat Islam, yang akhirnya memicu perang saudara Islam. Perang pertama yang meletus setelah itu adalah Perang Unta (Perang Jamal) pada tahun 36 H.
Perang Unta (Perang Jamal) melibatkan dua kelompok besar. Kelompok pertama dipimpin oleh Aisyah RA, istri Nabi SAW, yang menuntut bela atas kematian Utsman. Kelompok kedua dipimpin oleh Ali bin Abi Talib, yang diangkat menjadi khalifah setelah terbunuhnya Utsman.
Setelah pembunuhan Utsman, sebagian kelompok pemberontak bergabung dengan Ali. Oleh karena itu, kelompok Aisyah dan Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap para pemberontak yang terlibat dalam kematian Utsman.
Akan tetapi, Ali tidak dapat melaksanakan tuntutan tersebut, yang menyebabkan krisis politik berkepanjangan.
Masalah ini dikenal sebagai al-Fitnah al-Kubra (bencana besar) di kalangan umat Islam, yang menyebabkan perpecahan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok Ali, kedua adalah kelompok Muawiyah, dan ketiga adalah kelompok moderat/netral yang tidak memihak kepada salah satu pihak.
Dua kelompok pertama memiliki pengikut yang banyak, sementara kelompok moderat, yang tidak terlibat dalam masalah politik, jumlahnya tidak diketahui, namun mereka merupakan mayoritas umat. Di antara para sahabat yang bergabung dalam kelompok moderat ini adalah Abdullah bin Umar, Saad bin Malik, Saad bin Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan lainnya.
Pertentangan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin memanas yang akhirnya membawa kepada Perang Siffin. Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka mengusulkan untuk bertahkim (arbitrase) guna menyelesaikan konflik tersebut. Perundingan tahkim pun dilaksanakan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H.
Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash, sementara kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari. Keduanya bertindak sebagai hakim untuk kelompok masing-masing.
Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan jujur. Amru bin Ash menipu Abu Musa Al-Asy'ari dengan mengatakan bahwa konflik yang terjadi disebabkan oleh dua orang, yaitu Ali dan Muawiyah. Untuk menciptakan perdamaian, keduanya harus dipecat, dan selanjutnya umat Islam dapat memilih khalifah baru.
Tipuan ini berhasil. Amru memberi kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar, dan Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Setelah itu, Amru naik mimbar dan menerima pemecatan Ali.
Karena Ali telah dipecat, maka khalifah yang tersisa hanya Muawiyah, yang kemudian ditetapkan sebagai khalifah umat Islam seluruhnya. Tentu saja, kelompok Ali tidak puas dengan hasil ini.
Perundingan tersebut tidak hanya gagal menyelesaikan konflik, tetapi malah melahirkan kelompok baru. Kelompok Ali terpecah menjadi dua. Pertama, kelompok yang tetap setia kepadanya, yang kelak dikenal dengan nama Syiah. Kedua, kelompok yang memberontak dan keluar dari kelompok Ali karena tidak puas dengan keputusan Ali untuk mengikuti perundingan tersebut. Kelompok ini kemudian menjadi musuh Ali dan disebut Khawarij.
Pada awalnya, kelompok Khawarij mendesak Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah Ali menerima tahkim, mereka menolaknya. Kelompok ini mengusung semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata).
Dengan demikian, terdapat tiga kelompok yang bertikai dalam masalah politik, yaitu kelompok Muawiyah, kelompok Ali, dan kelompok Khawarij. Kelompok Khawarij mengkafirkan kedua kelompok lainnya dan menghalalkan darah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka.
Kelompok Khawarij memerangi kedua kelompok lainnya. Mereka mengirim utusan rahasia untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru bin Ash. Muawiyah dan Amru selamat dari percobaan pembunuhan, sementara Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam pada tahun 40 H.
Kematian Ali menyebabkan kesedihan di kalangan pengikutnya. Hasan, putra pertama Ali, diangkat sebagai khalifah untuk menggantikan ayahnya. Namun, Hasan menyadari bahwa pertentangan politik ini hanya akan merugikan umat Islam secara keseluruhan.
Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengadakan perdamaian dengan Muawiyah demi menghindari pertumpahan darah kaum muslimin lebih banyak. Pada tahun 41 H, Hasan akhirnya meletakkan jabatan dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah.
Hasan meminta agar Muawiyah menyerahkan urusan khilafah kepada kaum muslimin apabila ia meninggal nanti. Selain itu, Hasan juga meminta agar kelompok Muawiyah berhenti menghina Ali dalam khutbah-khutbah mereka. Gerakan perdamaian ini disambut baik oleh masyarakat Islam, sehingga tahun tersebut dikenal sebagai Tahun Persatuan (Amul Jamaah).
Muawiyah bin Abu Sufyan berhasil memengaruhi massa hingga akhirnya Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan di Maskin pada tahun 41 H/661 M. Dengan peralihan kekuasaan itu, akhirnya Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah.
Sebuah kedudukan politis yang sudah lama dinanti-nantikan keluarga Bani Umayyah, yaitu Dinasti Umayyah. Faktor penyebab berdirinya Dinasti Umayyah adalah adanya keinginan dari keluarga Bani Umayyah untuk menjadi penguasa Islam dan mengungguli suku-suku lain di Jazirah Arabia.
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Rekening Buat Bangun Masjid Kena Blokir, Das'ad Latif: Kebijakan Ini Tak Elegan
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa