Arti Status Quo Masjid Al Aqsa dan Sejarah Penetapannya

Arti Status Quo Masjid Al Aqsa dan Sejarah Penetapannya

Kristina - detikHikmah
Jumat, 19 Apr 2024 14:45 WIB
Arched South gateway with Siliver dome of Al-Aqsa Mosque at the square of Golden Dome of the Rock, in an Islamic shrine located on the Temple Mount in the Old City Jerusalem, Israel
Masjid Al Aqsa di Yerusalem. Foto: Getty Images/iStockphoto/ZZ3701
Jakarta -

Status hukum kompleks Masjid Al Aqsa di Yerusalem yang dikenal dengan status quo menjadi konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Penetapan hukum di tempat suci ketiga umat Islam ini telah ada sejak abad ke-19.

Status quo ini menetapkan umat Islam memiliki kendali penuh atas Masjid Al Aqsa, hanya umat Islam yang diizinkan beribadah di masjid ini. Sementara itu, Yahudi tidak memiliki kendali apa pun, termasuk tidak boleh beribadah di sana.

Dalam sejarahnya, penetapan status quo Masjid Al Aqsa terjadi di era Kesultanan Utsmaniyah (Kekaisaran Ottoman). Dalam dokumen yang diterbitkan pada situs Economic Cooperation Foundation (ECF) tertulis Kesultanan Utsmaniyah mengeluarkan serangkaian dekrit yang mengatur administrasi tempat-tempat suci Kristen setelah banyaknya perselisihan antar negara-negara Eropa pada abad ke-19 atas penguasaan tempat-tempat suci di Yerusalem.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dekrit terpenting pada waktu itu adalah Titah Sultan Ottoman Abdulmejid I (Abdul Majid I) yang dikeluarkan pada 1852. Dekrit ini mempertahankan kepemilikan dan pembagian situs-situs suci Kristen di Yerusalem dan Betlehem. Aturan hukum ini kemudian dikenal sebagai status quo.

Status quo mendapat pengakuan secara internasional melalui Perjanjian Berlin pada 1878 yang ditandatangani negara-negara Eropa dan Kesultanan Utsmaniyah usai berakhirnya Perang Rusia-Turki pada 1877-1878.

ADVERTISEMENT

Pelanggaran Status Quo Pertama Kali

Pelanggaran atas status quo pertama kali terjadi pada 1929 ketika kelompok Yahudi melakukan salat Yom Kippur (doa Yom Kippur) di depan Tembok al-Buraq--bagian dari kompleks Masjid Al Aqsa. Hal ini memicu konflik mematikan. Sebanyak 249 warga Yahudi dan Palestina dilaporkan tewas.

Pada 1967, terjadi Perang Enam Hari (Six-Day War) antara Israel dan negara-negara Arab seperti Mesir, Suriah, dan Yordania, seperti disebutkan dalam Encyclopedia Britannica. Israel berhasil merebut Semenanjung Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat Sungai Yordan, Kota Tua Yerusalem, dan Dataran Tinggi Golan.

Israel secara sepihak mendeklarasikan kedaulatan atas Yerusalem Timur yang di dalamnya mencakup Kota Tua dan Masjid Al Aqsa. Status wilayah pendudukan ini kemudian menjadi akar konflik antara kedua belah pihak.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau UNESCO mengeluarkan resolusi penting terkait Masjid Al Aqsa pada 2016 lalu. Dokumen EX/Decisions yang dikenal dengan Resolusi Pendudukan Palestina ini mengecam keras agresi Israel dan tindakan ilegal di Masjid Al Aqsa.

"Mengecam keras meningkatnya agresi Israel dan tindakan ilegal terhadap Departemen Wakaf dan personelnya, dan menentang kebebasan beribadah umat Islam untuk mengakses situs suci mereka Masjid Al-Aqṣa/Al-Ḥaram Al-Sharif, dan meminta Israel, pendudukan kekuasaan, untuk menghormati status quo bersejarah dan segera menghentikannya tindakan ini," bunyi salah satu poin resolusi tersebut.

Konflik status quo Masjid Al Aqsa di halaman berikutnya >>>

Konflik Status Quo Masjid Al Aqsa

Pemahaman mengenai status quo antara Palestina-Badan Wakaf Islam (otoritas yang bertanggung jawab atas Masjid Al Aqsa yang ditunjuk Yordania) dan Israel berbeda. Dalam laporan Al Jazeera pada 11 April 2023, jurnalis Haaretz yang meliput wilayah Yerusalem Nir. Hasson mengatakan, bagi Israel status quo Masjid Al Aqsa adalah apa yang lahir dari perjanjian tahun 1967 yang dirumuskan mantan Menteri Pertahanan Israel, Moshe Dayan.

Menurut status quo Israel tahun 1967, pemerintah Israel mengizinkan Badan Wakaf Islam mengendalikan wilayah tersebut dalam aktivitas sehari-harinya dan hanya umat Islam yang diizinkan salat di sana. Namun, polisi Israel memiliki kendali untuk mengontrol akses situs tersebut dan bertanggung jawab atas keamanan, serta non-muslim diperbolehkan mengunjungi situs tersebut sebagai wisatawan.

Hukum tradisional Yahudi sendiri dengan tegas melarang orang Yahudi memasuki situs yang mereka sebut Temple Mount itu karena kesucian tempatnya. Mereka khawatir akan menginjak tanah suci di kompleks tersebut.

Menurut tradisi Yahudi, ada tiga kuil yang berada di Temple Mount. Kuil pertama dan kedua dibangun di sana dan mereka meyakini kuil ketiga akan dibangun kembali saat kedatangan Mesias--sosok yang diyakini Yahudi akan datang di masa depan sebagai "wakil Tuhan" yang membawa keselamatan bagi umat Yahudi.

Koordinator Advokasi Internasional Pusat Aksi Komunitas Al-Quds University Mounir Marjieh mengatakan sejumlah organisasi keagamaan Zionis yang mendapat dukungan tokoh-tokoh elit politik Israel tengah berupaya merealisasikan pembangunan kuil ketiga itu.

"Sejumlah organisasi keagamaan Zionis yang didukung oleh tokoh-tokoh elit politik Israel telah terbentuk dengan tujuan utama untuk segera merealisasikan pembangunan kuil dan mengamankan hak ibadah Yahudi di Bukit," ujar Marjieh dalam tulisannya yang terbit di situs Arab Center Washington DC pada 7 Juni 2022 lalu.

Baru-baru ini, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir dikabarkan berniat mengubah status quo Masjid Al Aqsa agar umat Yahudi bisa beribadah di sana.

Pernyataan Ben-Gvir muncul setelah radio publik Israel KAN pada Selasa (16/4/2024), melaporkan bahwa Ben-Gvir berencana "meningkatkan tata kelola di situs suci Yerusalem, memberikan hak-hak dasar, dan membatasi diskriminasi dan rasisme di Temple Mount (sebutan kompleks Masjid Al Aqsa bagi Yahudi)."



Simak Video "Video: Warga Israel Ramai-ramai Geruduk Masjid Al-Aqsa Lalu Bikin Provokasi"
[Gambas:Video 20detik]

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads