Abu Al-Aswad Ad-Du'ali, Tabiin yang Dapat Mandat Kembangkan Ilmu Nahwu

Abu Al-Aswad Ad-Du'ali, Tabiin yang Dapat Mandat Kembangkan Ilmu Nahwu

Annisa Dayana Salsabilla - detikHikmah
Kamis, 18 Apr 2024 08:00 WIB
An old and historic Islamic scientist is working in his studio writing, reading and exploring.
Ilustrasi sahabat Ali bin Abi Thalib RA yang diserahi mandat untuk mengembangkan ilmu nahwu. Foto: Getty Images/iStockphoto/HStocks
Jakarta -

Kehadiran ilmu nahwu menjadi hal yang penting bagi umat Islam dalam memahami Al-Qur'an. Pada masa kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA, tabiin yang juga sahabat sang khalifah yang diserahi mandat untuk mengembangkan ilmu nahwu adalah Abu Al-Aswad Ad-Du'ali.

Mengutip buku Linguistik Arab karya Azis Anwar Fachrudin, nahwu adalah ilmu yang mengkaji peran atau kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat. Dalam kajian linguistik modern, nahwu disebut pula dengan istilah sintaksis.

Lahirnya ilmu nahwu dilatarbelakangi oleh dua faktor, yaitu faktor agama dan nasionalisme Arab. Faktor agama berkaitan dengan maraknya kesalahan (lahn) dalam pembacaan Al-Qur'an setelah Islam menyebar ke berbagai penjuru Arab.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kesalahan pembacaan ini berkaitan dengan kesalahan dalam berbahasa Arab yang disebabkan pudarnya kefasihan. Kekhawatiran mengenai pudarnya kefasihan ini tidak hanya terjadi pada rakyat jelata, tetapi juga para khutaba dan bulagha atau ahli retorika.

Faktor kedua yakni nasionalisme Arab berkaitan dengan keinginan bangsa Arab dalam menjaga kemurnian bahasa mereka. Bangsa Arab merasa bahasa mereka telah tercampur dengan bahasa lain.

ADVERTISEMENT

Kisah Abu Al-Aswad Ad-Du'ali

Menukil buku 10 Tema Fenomenal dalam Ilmu Al-Qur'an karya Mochammad Arifin, pada suatu ketika Abu Al-Aswad Ad-Du'ali mendengar secara langsung kesalahan bacaan seseorang yang sangat fatal dari Al-Qur'an surah At-Taubah ayat 3.

Ayat yang semestinya dibaca berbunyi "Anna Allaha bari'un min al-musyrikiin wa rosuluhu" yang berarti "Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik."

Akan tetapi, ayat tersebut dibaca dengan pelafalan yang salah sehingga berbunyi "Anna Allaha bari'un min al-musyrikiin wa rosulihi" yang berarti "Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya."

Sebelum peristiwa yang dilihat langsung oleh Ad-Du'ali tersebut, kesalahan pelafalan Al-Qur'an telah menjadi keresahan tokoh-tokoh Islam, salah satunya Gubernur Basrah Ubaydillah bin Ziyad.

Ubaydillah bahkan pernah meminta tolong kepada Ad-Du'ali untuk mencarikan solusi atas permasalahan ini, tetapi pada saat itu Ad-Du'ali belum mengabulkan permohonan Ubaydillah. Setelah melihat sendiri kesalahan dalam pelafalan Al-Qur'an, Ad-Du'ali pun menuruti permohonan Ubaydillah dengan membuat pedoman baku dalam pelafalan teks Al-Qur'an.

Ad-Du'ali pun mulai mengerjakan tugasnya dalam merumuskan sistem shakl (dammah, fathah, kasrah, dan sukun) dibantu oleh seorang penulis. Penulis itu ia minta mencatat semua yang diujarkannya.

Ad-Du'ali pun berkata kepada penulis tersebut, "Letakkan titik di atas setiap huruf yang saya baca maftÃŒh (dengan mulut terbuka). Jika saya merapatkan mulut (dammah), maka letakkanlah titik di atas huruf itu. Jika saya membaca dengan kasrah, maka tulislah titik di bawah huruf itu. Dan ketika saya membaca huruf dengan ghunnah, maka letakkanlah dua titik di atas huruf itu."

Sejak saat itu dan seterusnya masyarakat pada waktu itu menggunakan titik sebagai tanda untuk menunjukkan harakat huruf dan kalimat. Ilmu Ad-Du'ali kemudian diteruskan oleh dua orang muridnya, Nashr bin Ashim dan Abdullah bin Hurmuz.

Riwayat lain menyebutkan bukan Ubaydillah yang memerintahkan Ad-Du'ali dalam membuat pedoman, melainkan Ali bin Abi Thalib RA. Dinukil dari sumber yang sama, ketika tengah menemui sang khalifah, Ad-Du'ali bertanya, "Apa yang sedang Anda pikirkan?" Ali bin Abi Thalib RA menjawab, "Aku mendengar di daerahmu terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah risalah tentang dasar-dasar bahasa Arab."

Beberapa hari setelahnya, Ad-Du'ali datang menemui Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan membawa lembaran yang berisi,

"Bismillah ar-Rahman ar-Rahim, Kalam (seluruhnya) adalah isim, fi'il, dan huruf. Isim adalah (kata) yang menerangkan tentang sesuatu yang diberi nama, fi'il adalah (kata) yang menerangkan tentang perbuatan (sesuatu) yang diberi nama, sedangkan huruf adalah (kata) yang menerangkan makna yang tidak (ditunjukkan) baik dengan isim maupun fi'il."

Beberapa hari selanjutnya, Ad-Du'ali membawa lembaran lagi. Dalam lembaran itu ia menjelaskan tentang huruf-huruf nashab, yakni إن أن, ليت, لعل كأن. Ad-Du'ali tidak memasukkan لكن. Ali bin Abi Thalib lantas menanyainya, "Mengapa engkau tidak memasukkannya?" Ad-Du'ali menimpali, "Aku tidak menganggapnya sebagai huruf nashab." "Ia termasuk huruf nashab, tambahkan ke dalamnya," demikian kata Ali bin Abi Thalib.




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads