Al-Farabi, Filsuf Islam yang Mengadaptasi Pemikiran Aristoteles

Al-Farabi, Filsuf Islam yang Mengadaptasi Pemikiran Aristoteles

Hanif Hawari - detikHikmah
Selasa, 16 Apr 2024 11:45 WIB
Symbol of the Shia Muslim religion with an Ayatollah who prays and preaches in front of his followers by stretching a finger upwards.
Ilustrasi Al-Farabi (Foto: Getty Images/iStockphoto/Pict Rider)
Jakarta -

Al-Farabi adalah filsuf besar kedua dalam Islam yang mampu menjembatani antara dunia Timur dan dunia Barat melalui al-falsafah al-taufiqiyyah-nya. Neo-Platonisme dan Plotinus diramunya kembali sehingga selaras dengan ajaran Islam.

Ia senang terhadap ilmu pengetahuan, menganjurkan dan menolak peramal serta astrologi. Ia mempercayai sepenuhnya sebab akibat dan takdir.

Riwayat Hidup Al-Farabi

Al-Farabi lahir dengan nama lengkap Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Turkhan Ibn Auzalagh Al-Farabi. Ayahnya berasal dari Persia, pernah menjadi panglima pada pasukan tentara Turki.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak ada catatan pasti kapan Al-Farabi lahir, tapi diperkirakan ia lahir pada tahun 870 M (258 H) di sebuah kota kecil bernama Wasij, di wilayah Farab. Semenjak kecil ia senang sekali belajar dan memiliki kecakapan dibeberapa bahasa seperti Arab, Persia dan Turki.

Al-Farabi kemudian menuju Baghdad yang merupakan pusat ilmu pengetahuan pada masa itu. Di Baghdad ia belajar dengan seorang guru yaitu Abu Bishr Matta Ibn Yunus mengenai cabang-cabang falsafat, fisika, matematika, astronomi dan musik.

ADVERTISEMENT

Pada tahun 941 M (330 H), Al-Farabi pindah ke Damaskus di mana ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo (Hallab), Saif al-Daulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan kealiman Al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo, dan diangkatnya sebagai seorang ulama di istana.

Pada saat menjabat sebagai ulama istana, Al-Farabi berada dalam kehidupan yang mewah karena tunjangan yang besar. Namun, Al-Farabi sejak awal memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan.

Al-Farabi telah menulis berbagai macam buku dari berbagai cabang ilmu seperti logika, ilmu politik, etika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, kimia, musik dan lain sebagainya. Hanya saja karangan-karangan Al-Farabi tidak terlalu populer sebab kebanyakan berupa risalah-risalah dan sedikit sekali yang berbentuk buku besar.

Al-Farabi sangat terkesan dan hormat kepada para filsuf Yunani, terutama Plato dan Aristoteles. Sebagai bukti atas pemahaman Al-Farabi yang mendalam terhadap falsafat Aristoteles adalah riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Sina pernah berkali-kali membaca buku mengenai metafisika karya Aristoteles, tapi tidak memahaminya.

Kemudian ia menemukan karangan Al-Farabi yang menjelaskan tujuan dan maksud Metafisika Aristoteles. Setelah membaca buku itu, akhirnya Ibnu Sina memahami hal-hal yang tadinya kabur tentang metafisika.

Pemikiran Filsafat Al-Farabi

Falsafat Al-Farabi merupakan upaya pemikiran dalam bentuk konkret dari apa yang dimaksud dengan falsafat pemanduan sebagai ciri yang menonjol dari falsafat Islam. Menukil buku Pemikiran Politik Islam oleh Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., ada pemikiran Al-Farabi mengenai teori emanasi.

Ia menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu (Maha Esa), tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak dan Maha Sempurna, dan tidak berhajat pada apapun juga.

Teori emanasi Al-Faribi ini tidak lepas dari adanya pemikiran yang berkembang pada masa itu, yaitu doktrin ulama Kalam yang menyatakan bahwa Tuhan adalah Pencipta, yang menciptakan dari yang tiada menjadi ada. Menurut Al-Farabi, Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada dengan cara pancaran.

Allah Zat Yang Qadim jauh dari bentuk dan benda oleh sebab itu dari Allah yang keluar hanya satu, yaitu akal pertama. Dari akal pertama keluar akal kedua dan seterusnya.

Al-Farabi berpendapat bahwa Allah adalah wujud pertama yang menjadi sebab bagi semua wujud yang ada ini. Tuhan adalah Aql yang menjadi objek pemikiran-Nya adalah substansi-Nya. Tuhan adalah Aql substansi yang berpikir dan substansi yang dipikirkan.

Tuhan sebagai Akal Berpikir tentang Dirinya, dan dari pemikiran itu timbul suatu wujud lain. Tuhan merupakan Wujud Pertama (al-wujud al-awwal), dan dengan pemikiran itu timbul Wujud Kedua (al-wujud al-tsΓ’ni) yang juga mempunyai substansi.

Ia disebut Akal Pertama (al-'aql al-awwal), yang tidak bersifat materi. Wujud Kedua atau Akal Pertama berpikir tentang dirinya, dan timbul Langit Pertama. Demikian seterusnya, Wujud Ketiga sampai Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh.

Dari Akal Kesepuluh muncullah roh dan materi pertama yang menjadi dasar, yaitu: api, udara, air, dan tanah. Dari pikiran filsafat emanasi ini, Al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini kekal.




(hnh/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads