Salah satu syarat sahnya pernikahan adalah keberadaan wali. Tanpa wali, si perempuan tidak bisa melangsungkan pernikahan.
Namun dalam kehidupan, seringkali kita jumpai anak perempuan hidup bersama ayah tirinya. Ayah tiri ini terkadang merasa paling berhak atas si anak perempuan untuk menjadi wali dalam pernikahannya, dengan alasan bahwa ia telah merawatnya sejak kecil hingga dewasa.
Pertanyaannya adalah apakah ayah tiri menjadi wali dalam pernikahan? Begini penjelasannya dalam Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum Ayah Tiri menjadi Wali dalam Pernikahan
Mengutip buku Menikah untuk Bahagia karya Agus Arifin, ayah tiri tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan anak sambungnya jika pernah berhubungan seksual dengan ibunya. Namun jika belum pernah, maka hal itu diperbolehkan.
Hal ini juga dijelaskan oleh Agus Arifin dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedia Fikih Wanita: Pembahasan Lengkap A-Z Fikih Wanita dalam Pandangan Empat Mazhab. Merujuk pada Kitab Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, 16/218, Imam Nawawi menerangkan:
"Dalil kita adalah apa yang diriwayatkan 'Abdullah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, 'Siapa yang menikah dengan seorang perempuan, kemudian menalaknya sebelum disentubuhi, maka ibu perempuan tersebut haram untuk dinikahi. Tetapi anaknya tidak haram baginya'."
Wali Nikah yang Diperbolehkan
Mengutip laman Kemenag, syariat Islam telah menetapkan kriteria orang yang berhak menjadi wali. Secara umum, wali yang berhak melangsungkan pernikahan seorang perempuan adalah mereka yang memiliki hubungan keluarga berdasarkan garis keturunan dengan perempuan tersebut.
Wali yang berhak melangsungkan pernikahan seorang perempuan dijelaskan oleh Imam Abu Suja' dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya, Al-Hidayah: 2000), halaman 31, sebagai berikut:
"Wali yang paling utama ialah ayah, kakek (ayah dari ayah), saudara laki-laki seibu dan seayah (kandung), saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki seibu dan seayah (kandung), anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak laki-laki paman dari pihak ayah. Urutannya seperti itu. Jika tidak ada waris 'ashabah, maka yang menjadi wali adalah hakim."
Dalam syariat Islam, kehadiran ayah tiri tidak dipertimbangkan sebagai wali nikah. Karena tidak termasuk dalam daftar urutan prioritas wali nikah.
Meskipun demikian, ada kemungkinan bagi ayah tiri untuk menjadi wali nikah melalui mekanisme wakalah (tawkil). Di mana wali asli perempuan tersebut memberikan wewenangnya dalam perwalian pernikahan kepada si ayah tiri.
Sebagaimana yang diuraikan oleh Abu Hasan Ali al-Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: 1999), pada juz IX, halaman 113:
"Mewakilkan perwalian tidak diperbolehkan kecuali oleh seseorang yang memenuhi persyaratan, yaitu: lelaki, baligh, merdeka, muslim, dan memiliki akal. Apabila semua syarat ini terpenuhi, maka mewakilkan perwalian tersebut dianggap sah."
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila ayah tiri memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka ia berhak menerima tawkil sebagai wali nikah. Tentu saja, proses tawkil ini harus dilakukan dengan menggunakan kalimat serah terima yang sah menurut ketentuan syariat Islam.
Hal ini juga berlaku untuk orang selain ayah tiri, seperti ayah angkat, guru, atau siapa pun yang bukan wali asli. Meskipun demikian, perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa tawkil ini dilakukan melalui proses serah terima. Sehingga keberadaan pihak yang memberikan wakalah, yaitu wali asli dalam konteks ini, harus benar-benar ada.
Namun apabila semua wali asli tidak dapat ditemukan, baik karena sudah meninggal, menghilang, atau alasan lainnya, maka yang memiliki hak menjadi wali adalah seorang hakim. Jika di suatu wilayah tidak terdapat hakim yang tersedia, maka posisi hakim tersebut dapat diisi oleh seorang muhakkam, yaitu seseorang yang diangkat sebagai hakim dengan memenuhi persyaratan tertentu.
Penjelasan ini sesuai dengan keterangan yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin Ahmad bin Abdulaziz al-Malibari dalam kitab Fathul Mu'in (Surabaya, Kharisma: 1998), pada halaman 472:
"Jika tidak ada wali yang dapat ditemukan dari mereka yang telah disebutkan sebelumnya, maka yang berwenang untuk melangsungkan pernikahan perempuan tersebut adalah seorang muhakkam yang adil dan merdeka."
Maka, ayah tiri tidak dapat menjadi wali nikah kecuali jika ia telah mendapatkan tawkil (perwalian) dari wali nikah asli. Sebagaimana yang telah diatur oleh ketentuan syariat Islam.
Wallahu a'lam.
(hnh/lus)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza