Syarat Bolehnya Salat di Atas Kendaraan saat Perjalanan Jauh

Syarat Bolehnya Salat di Atas Kendaraan saat Perjalanan Jauh

Rahma Harbani - detikHikmah
Sabtu, 23 Des 2023 12:00 WIB
Ilustrasi Rekayasa Arus Mudik
Ilustrasi salat di kendaraan. (Foto: ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA)
Jakarta -

Salat di atas kendaraan memang pernah dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat. Namun, sejumlah imam mazhab menjelaskan batasan syarat kebolehan salat di atas kendaraan tersebut dapat dilakukan.

Abu Muhammad Badruz-Zaman al-Faraby dalam buku Pedoman Praktis dan Lengkap Shalat Khusus Wanita berpendapat, salat boleh saja dikerjakan di atas kendaraan dengan menghadap ke arah kendaraan tersebut melaju. Hal itu disebutnya sebagai rukhsah atau keringanan dalam salat.

"Jika tidak memungkinkan baginya melakukan gerakan rukuk dan sujud maka salatnya bisa dilakukan dengan isyarat," tulisnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini pernah disebutkan dalam hadits Ibnu Umar RA yang menyebutkan Rasulullah SAW pernah salat di atas kendaraan pada saat safar. Rasulullah SAW mengikuti ke mana arah kendaraannya menghadap.

Namun, Abu Utsman Kharisman dalam buku Fiqh Bersuci dan Sholat Sesuai Tuntunan Nabi, salat yang dilakukan beliau adalah salat sunnah. Beliau tidak mengamalkan salat fardhu di atas kendaraan.

ADVERTISEMENT

Hal serupa juga disebutkan dalam hadits Anas bin Malik RA bersanad hasan oleh Ibnu Hajar. Ia berkata, "Rasulullah SAW jika safar dan ingin salat sunnah beliau menghadap kendaraannya ke arah kiblat kemudian bertakbir ke mana pun arah menghadap kendaraannya." (HR Abu Dawud)

Untuk itu, syarat kebolehan untuk salat fardhu di atas kendaraan diatur oleh sejumlah imam mazhab. Berikut syarat-syarat yang berlaku seperti dinukil dari Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Fikih Empat Madzhab Jilid 1.

Syarat Bolehnya Salat di Atas Kendaraan Menurut Mazhab

1. Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i menyebutkan syarat kondisi yang membolehkan salat fardhu di atas kendaraan. Beberapa di antaranya seperti, kendaraan dalam posisi berhenti atau berjalan tetapi dikendalikan oleh orang mahir sehingga semua rukun salat dikerjakan sempurna baik dalam keadaan aman atau pun tidak.

Namun, bila seseorang dalam kondisi di atas dan ketakutan, ia tetap harus mengulang salatnya itu setelah kendaraan berhenti.

2. Mazhab Maliki

Pada dasarnya Mazhab Maliki tidak membolehkan salat di atas kendaraan hanya dengan landasan kekhawatiran akan hal buruk. Bahkan mazhab ini berpendapat, salat fardhu di atas kendaraan tidak boleh dilakukan dengan mengurangi rukunnya.

Namun, beberapa syarat kebolehan Mazhab Maliki untuk mengamalkan salat di atas kendaraan di antaranya yakni, keadaan berperang dengan orang kafir, mengejar musuh atau pencuri, ketakutan karena dikejar hewan buas, sakit parah hingga tak mampu turun dari kendaraan, atau melewati jalan terjal hingga sulit turun padahal waktu salat segera berakhir.

Hanya kondisi tersebut yang disebutkan Mazhab Maliki boleh mengamalkan salat di atas kendaraan tanpa syarat dan rukun yang sempurna. Bahkan dibolehkan untuk diamalkan tanpa menghadap kiblat.

3. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi menyebit, salat fardhu tidak boleh dilakukan di atas kendaraan tanpa alasan yang diperkenankan. Alasan itu mencakup, kendaraan berhenti dengan ditopang sehingga tidak bergerak sama sekali.

Kondisi tersebut membolehkan seseorang salat sesuai dengan kemampuannya yang tetap menggunakan bahasa isyarat tubuh. Namun. bila seseorang bisa menghentikan kendaraan, tidak sah jika tetap dilakukan di atas kendaraan yang berjalan.

Kondisi di atas berlaku untuk salat di atas kendaraan darat. Namun, bila salat di atas kapal, pesawat, kereta api, atau alat transportasi jarak jauh lainnya, mayoritas ulama berpendapat salat tetap harus dilakukan dengan menghadap kiblat tanpa pengecualian.

Rasulullah SAW pernah melaksanakan salat di atas kapal. Beliau bersabda dari Ibnu Umar RA, "Salat di dalamnya (kapal) sambil berdiri jika takut tenggelam." (HR Bukhari dan Muslim)

Hal itu bisa dilakukan selama kendaraan yang ditumpanginya belum akan tiba dalam waktu dekat, setidaknya sampai waktu salat berakhir. Sebaliknya, bila diperkirakan kendaraan akan segera tiba di tujuan dan dimungkinkan sempat untuk salat dengan sempurna maka ia harus menunda salatnya hingga tiba di tujuan tersebut.




(rah/erd)

Hide Ads