Ajarkan Etika Muslim, Pendanaan Sekolah Islam Terbesar Dicabut Pemerintah Prancis

Ajarkan Etika Muslim, Pendanaan Sekolah Islam Terbesar Dicabut Pemerintah Prancis

Rahma Indina Harbani - detikHikmah
Selasa, 12 Des 2023 18:30 WIB
Sekolah Islam di Prancis
Foto: Pascalrossginol/Reuters
Jakarta -

Pemerintah Prancis berencana mencabut pendanaan sekolah menengah swasta Islam terbesar di negaranya, Averroes. Hal ini diketahui ada praktik pengajaran yang dinilai melanggar nilai-nilai republik Prancis.

Sekolah swasta Averroes adalah sekolah menengah muslim pertama yang dibuka di Prancis pada tahun 2003 di Lille bagian utara. Sekolah ini memiliki lebih dari 800 siswa.

Sekolah Islam ini juga sudah terikat kontrak dengan negara sejak tahun 2008. Siswa di sana mengikuti pelajaran dengan kurikulum reguler Perancis dan kelas agama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekolah swasta di Prancis dapat menerima subsidi negara berdasarkan kontrak yang disepakati dengan pemerintah di antaranya yakni, sekolah tersebut terbuka untuk semua siswa dan mengikuti pedoman pendidikan negara.

Namun, menurut keterangan otoritas setempat kepada AFP pada Minggu (10/12/2023) malam, pihaknya akan memutus kontrak pendanaan sekolah tersebut sesuai dengan keputusan yang diambil pada Kamis, 7 Desember 2023.

ADVERTISEMENT

Dilaporkan kantor berita Prancis, Le Parisien dan Reuters, Selasa (12/12/2023), menurut laporan Kementerian Dalam Negeri Prancis pada bulan Oktober 2023, mereka menemukan kejanggalan dalam manajemen sekolah Averroes.

Khususnya, beberapa pengajaran dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai republik Prancis, terutama pengajaran tentang etika muslim. Selain itu, ditemukan ketimpangan dalam pengajaran.

Pengajaran pada siswa setempat disebut kurang ditekankan pada topik sosial seperti LGBTQ. Sebaliknya, pihak sekolah dianggap terlalu berlebihan dalam memberi penekanan tentang ajaran agama Islam.

Kantor Kementerian Dalam Negeri setempat enggan memberikan rincian lebih lanjut mengenai pemutusan kontrak pendanaan pemerintah tersebut.

Sementara itu, Kepala Sekolah Averroes Eric Dufour mengatakan dirinya belum menerima pemberitahuan dari kantor Kementerian Dalam Negeri setempat. Namun, pihaknya mengaku akan mengajukan banding atas keputusan tersebut kepada pengadilan administratif.

"Dalam hal nilai-nilai republik, kami melakukan lebih dari sekolah lain," kata Dufour kepada Reuters.

Dufour mengaku, dirinya sebelumnya dipanggil ke rapat komite pendidikan pada akhir November 2023 lalu. Hal itu pun membuatnya khawatir bahwa keputusan pemutusan pendanaan sekolah dari pemerintah sudah final.

Di samping itu, Reuters menemukan laporan dari inspeksi Kementerian Pendidikan pada 2020 yang menyebutkan bahwa tidak ditemukan praktik pengajaran di sekolah Averroes yang melanggar nilai-nilai republik.

Dufour juga mengatakan, sekolah yang dipimpinnya tidak akan berjalan tanpa pendanaan publik. Sekolah disebut tidak akan mampu memenuhi kebutuhan anggarannya.

"Kami harus melipatgandakan gaji untuk menghidupi keluarga (karyawan) dan itu tidak mungkin dilakukan," katanya.

Dilaporkan Al Arabiya English, sebelumnya pada November 2023 lalu, prefektur regional setempat memberi laporan yang menyatakan kecurigaan mereka pada sekolah Averroes. Mereka dituduh melakukan pendanaan ilegal, membuka akses siswa terhadap literatur yang mendukung hukuman mati bagi mereka yang murtad, dan mendukung segregasi gender.

Sekolah tersebut juga dicurigai memiliki hubungan yang tidak disebutkan secara spesifik dengan sebuah organisasi ekstremis di Mesir, Ikhwanul Muslimin.

Namun, pengacara sekolah tersebut, Joseph Breham, mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mempercayai klaim tersebut. Ia juga menyebut bahwa tidak ada satupun civitas akademik sekolah yang pernah diinterogasi, dituntut, atau ditahan oleh polisi berdasarkan klaim tersebut.

Di samping itu, salah seorang wali murid, Mohamed Daoudi mengatakan bahwa dia dan orang tua siswa lainnya menilai keputusan Kementerian Dalam Negeri setempat tidak adil. "Benar-benar mencari-cari kesalahan," katanya.

Lelaki yang juga direktur proyek di industri teknologi ini mengatakan, ia sudah pernah tinggal di luar negeri selama 15 tahun. Ia pun mengaku siap untuk pergi lagi jika sekolah anaknya harus ditutup.

Meski demikian, Daoudi menambahkan, hal itu disebutnya bagian dari tindakan diskriminasi berat pada kelompok minoritas muslim di Prancis.

"Kami melakukan segalanya sesuai aturan, tetapi kami masih direcoki," pungkas dia.




(dvs/dvs)

Hide Ads