Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) 2023 menghasilkan beberapa keputusan untuk kemaslahatan umat Muslim di Indonesia. Salah satunya mengenai perubahan tempat miqat bagi jemaah haji dan umrah.
Miqat adalah tempat atau batas waktu dimulainya ibadah haji atau umrah. Jika sudah melewati tempat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihram atau mengenakan pakaian ihram.
Para ulama memperbolehkan perubahan tempat miqat untuk jemaah haji dan umrah. Hal itu berdasarkan keputusan yang dibahas di Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengesahan itu dilakukan saat rapat pleno pengesahan sidang komisi-komisi di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, pada Selasa (19/9/2023). Alasan diperbolehkannya perubahan tempat miqat tersebut dijelaskan oleh Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah Munas Alim Ulama NU, KH Abdul Moqsith Ghazali.
Beberapa di antaranya disebabkan oleh perubahan dalam pelaksanaan ibadah haji. Yaitu seperti perluasan Mina sebagai tempat mabit, perluasan lintasan thawaf yang melibatkan lantai-lantai masjidil haram, peningkatan tempat sa'i, dan perluasan padang Arafah.
Kemudian Jamaah haji juga tidak hanya berasal dari tempat-tempat miqat yang ditetapkan pada zaman Nabi, tetapi datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk dataran Asia, Afrika, Amerika, Eropa, dan bagian lain dunia. Selain itu, mayoritas jamaah haji yang berasal dari berbagai daerah di seluruh dunia saat ini menggunakan transportasi udara daripada jalur darat.
"Sehingga sangat sulit memulai ibadah haji dari tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah maupun Sayyidina Umar, khususnya bagi jamaah yang jauh dari tempat-tempat itu," kata Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Kiai Moqsith menjelaskan bahwa sebagian ulama kontemporer telah mengizinkan Jeddah sebagai miqat makani atau tempat miqat bagi jamaah haji yang tiba di Makkah melalui Bandara King Abdul Aziz di Jeddah. Terkait isu ini, Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah telah merumuskan pertanyaan untuk dibahas dan dijawab dalam sidang.
Apakah miqat makani bersifat ta'abbudiy-tauqifiy, yang berarti tidak boleh menambahkan tempat-tempat miqat lain selain yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan Sayyidina Umar ra, atau bersifat ta'aqquli-ijtihadi yang memberikan ruang bagi penambahan miqat-miqat makani lainnya?
Kiai Moqsith kemudian merujuk kepada sebuah hadits Nabi yang menetapkan empat tempat miqat. Pertama, Dzulhulaifah untuk penduduk Madinah. Kedua, Juhfah untuk penduduk Syam. Ketiga, Qarn al-Manazil untuk penduduk Najd. Keempat, Yalamlam untuk penduduk Yaman. Terdapat keraguan di kalangan sebagian ulama mengenai apakah Yalamlam sebenarnya merupakan miqat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.
Selanjutnya, Kiai Moqsith menjelaskan bahwa Rasulullah tidak menetapkan miqat makani untuk penduduk wilayah timur (ahli masyriq) dan penduduk wilayah penaklukkan baru seperti Bashrah dan Kufah. Kemudian, Sayyidina Umar menetapkan Dzatu Irqin sebagai miqat makani bagi mereka.
"Dari sini dipahami bahwa terdapat lima miqat makani, tiga yang pertama manshush dari Rasulullah, yaitu Bir Ali, Juhfah, dan Qarnul Manazil. Satu miqat, yaitu Yalamlam, menurut pendapat yang ashah adalah manshush dari Rasulullah, dan satu miqat lagi yaitu Dzatu Irqin menurut pendapat Imamul Haramain adalah hasil ijtihad Sayyidina Umar," tuturnya.
Mengambil langkah dari sana, para ulama kemudian memperluas beberapa miqat untuk jamaah haji yang tidak memiliki miqat yang sudah ditentukan untuk berihram dari tempat yang setara, yaitu tempat yang sejajar dengan miqat yang telah ditentukan atau berjarak dua marhalah (80+ km) dari Makkah.
Dengan demikian, jika seorang jamaah haji melakukan perjalanan melintasi lautan atau rute yang tidak melibatkan salah satu dari lima miqat dalam perjalanannya, maka ia dapat berihram ketika berada di lokasi yang setara dengan miqat terdekat. Namun, jika tidak ada lokasi yang setara dengan miqat mana pun yang dapat ditemukan, maka seseorang dapat berihram dari tempat yang jaraknya ke Makkah tidak kurang dari dua marhalah.
Dalam situasi yang ambigu, seseorang harus berusaha mencari dan menemukan lokasi yang diduga sejajar dengan miqat-miqat tersebut. Dalam konteks ini, berhati-hati sangat penting.
"Berdasarkan pandangan ini maka dapat dipahami bahwa penetapan miqat makani mengandung unsur ijtihadi-ta'aqquli (membolehkan memberikan ruang untuk menambahkan tempat miqat lain)," papar pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Keputusan tentang miqat makani ini secara resmi telah disahkan dalam Munas Alim Ulama setelah melalui proses persetujuan dalam sidang pleno yang dipimpin oleh Wakil Ketua Umum PBNU, H. Amin Said Husni.
(hnh/erd)
Komentar Terbanyak
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Daftar 50 SMA Terbaik di Indonesia, 9 di Antaranya Madrasah Aliyah Negeri
Laki-laki yang Tidak Sholat Jumat, Bagaimana Hukumnya?