Cara Sahabat Meriwayatkan Hadits Ada Dua, Apa Saja?

Cara Sahabat Meriwayatkan Hadits Ada Dua, Apa Saja?

Berliana Intan Maharani - detikHikmah
Sabtu, 11 Mar 2023 11:00 WIB
holy book quran black background
Ilustrasi Al quran dan hadits. Foto: Getty Images/iStockphoto/mgstudyo
Jakarta -

Hadits adalah sumber hukum Islam kedua yang disepakati setelah Al-Qur'an. Sebagai landasan utama dalam ajaran Islam, tentunya kebenaran hadits harus dipastikan keasliannya.

Hadits adalah segala hal yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapannya, perbuatannya, dan persetujuannya (taqrir). Keberadaan hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an sebab banyak sekali ayat-ayat yang bersifat umum kemudian diperjelas oleh Nabi Muhammad SAW.

Pada masa kekhalifahan khulafaur rasyidin hingga setelahnya, usaha pencarian hadits dan penyebarannya ke masyarakat semakin giat seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Dalam meriwayatkan hadits, terdapat dua cara yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cara Sahabat Rasulullah SAW Meriwayatkan Hadits

Mengutip dari buku Sejarah Singkat Pemeliharaan Hadits yang disusun oleh H. Syamsu T., dkk., cara sahabat Rasulullah SAW (https://www.detik.com/tag/sahabat-rasulullah) meriwayatkan hadits melalui dua cara yakni:

1. Menggunakan Lafal Asli

Cara pertama yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah SAW ketika meriwayatkan hadits yaitu menggunakan lafal aslinya. Mereka meriwayatkan menurut lafal yang mereka dengar dan terima dari Nabi Muhammad SAW. Saat meriwayatkan menggunakan lafal asli, para sahabat tentu dipastikan bahwa mereka hafal benar lafal yang diucapkan oleh Nabi tersebut.

ADVERTISEMENT

2. Menggunakan Maknanya

Cara kedua sahabat Rasulullah SAW dalam meriwayatkan hadits, yakni dengan menafsirkan maknanya saja. Artinya, para sahabat yang meriwayatkan dengan cara ini tidak menggunakan lafal yang didengar langsung dari Nabi Muhammad SAW sebab ragu dengan hafalan haditsnya.

Maka dari itu, ketika sahabat nabi yang meriwayatkan hadits tidak hafal dengan lafalnya, dibolehkan untuk mencantumkan kalimat "أَوْ كَمَا قَالَ" yang artinya "atau sebagaimana Nabi SAW bersabda/sebagaimana periwayat menyampaikan sabda Nabi SAW."

Dalam buku Pendidikan Agama Islam: Al-Quran dan Hadis untuk Madrasah Aliyah Kelas X karya Prof. Moh. Matsna HS, disebutkan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai kebolehan meriwayatkan hadits dengan maknanya.

Hal tersebut dikarenakan meriwayatkan hadits dengan makna harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya yaitu dilakukan dalam keadaan tidak ada alternatif lain selain dengan makna, periwayat hadits tersebut memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mumpuni, dan hadits yang diriwayatkan bukan berupa bacaan dalam ibadah seperti bacaan sholat.

Masa Pembukuan Hadits

Hingga akhir abad pertama tahun hijriyah, hadits belum juga dibukukan secara resmi. Pada saat itu, penyebaran hadits dilakukan secara musyafahah atau secara lisan dari mulut ke mulut.

Masih dalam sumber buku yang sama, alasan para tabi'in (generasi setelah para sahabat Nabi SAW) pada masa itu belum membukukan hadits, yaitu didasari oleh kehati-hatiannya. Pada saat itu, ahli hadits turut mencantumkan pendapatnya bersama hadits.

Apabila hadits tersebut dibukukan, dikhawatirkan pendapat perawi hadits akan ikut termuat sehingga umat muslim di masa berikutnya mengira bahwa pendapat perawi tersebut merupakan bagian dari hadits Nabi.

Masa pembukuan hadits baru dilakukan pada abad kedua tahun hijriyah, yakni di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.

Pembukuan tersebut dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz karena terinspirasi dari ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan, saat menjadi gubernur Mesir, ia pernah meminta Katsir bin Murrah Al-Hadhrami untuk menuliskan hadits-hadits Nabi, kecuali hadits riwayat Abu Hurairah karena kumpulan riwayat haditsnya sudah ia miliki.

Selain itu, terdapat faktor-faktor yang melandasi dilakukannya pembukuan hadits, yaitu di antaranya sebagai berikut:

  • Tidak ada lagi kekhawatiran bercampurnya Al-Qur'an dengan hadits.
  • Kekhawatiran bercampurnya Al-Qur'an dengan hadits beralih menjadi kekhawatiran akan lenyapnya hadits karena banyak dari sahabat Nabi dan periwayat hadits lainnya yang meninggal dunia.
  • Semakin maraknya pemalsuan hadits.
  • Bertambah luasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya permasalahan yang memerlukan penjelasan hadits Nabi.

Itulah dua cara yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah SAW dalam meriwayatkan hadits dan sejarah pembukuannya.




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads