Para ulama menggunakan metode ijtihad untuk menentukan suatu hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur'an maupun hadits. Apa itu Ijtihad?
Mengutip buku Risalah Ushul Fiqh oleh Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, ijtihad secara bahasa artinya bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Ijtihad biasa dipakai pada perkara yang mengandung kesulitan. Tidak dikatakan berijtihad jika hanya menyangkut hal ringan.
Abdul Karim Zaidan mengutip dari buku Pengantar Ilmu Ushul Fiqh susunan Muchtim Humaidi, mengemukakan bahwa ijtihad adalah mengerahkan dan mencurahkan kemampuan pada suatu pekerjaan. Maksudnya, ijtihad digunakan untuk mengungkapkan pengerahan kemampuan dalam mewujudkan sesuatu kesulitan atau beban yang dituju.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaidan turut mengutarakan makna ijtihad secara istilah, yakni mujtahid (orang berijtihad) yang mencurahkan segala keterampilannya untuk menggali hukum-hukum syariat dengan jalan istinbath.
Sementara menurut Imam al-Ghazali, ijtihad adalah kesungguhan usaha seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syariat.
Demikian, ijtihad bisa diartikan sebagai cara seorang mujtahid dalam menggali hukum syariat dengan metode tertentu.
Ruang Lingkup Ijtihad
Sutrisno dalam buku Metode Istinbat Hukum Islam Kontemporer menyebutkan, ijtihad digunakan para ulama untuk menjawab permasalahan yang timbul di antara kaum muslim, dan belum diketahui status hukumnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ijtihad ini penting dalam perkembangan hukum Islam. Seorang ulama bahkan menyatakan ijtihad tidak boleh terhenti pada suatu zaman lantaran sedemikian krusialnya.
Adapun cakupan ijtihad, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa ijtihad hanya boleh dilakukan terhadap hukum syara yang tidak terdapat dalil qath'i-nya, kecuali lingkup akal dan ilmu kalam. Terhadap persoalan yang qath'i, tidak perlu diperselisihkan dan jangan diragukan lagi kebenarannya.
Sebagaimana mujtahid tidak diperkenankan untuk memasukkan perkara seperti kewajiban sholat lima waktu, zakat, atau hukum lainnya yang telah disepakati para ulama.
Menukil pendapat ulama Ali Hasballah dalam buku Metode Istinbat Hukum Islam Kontemporer, untuk ruang lingkup ijtihad yaitu permasalahan yang tidak diatur secara tegas dalam nash Al-Qur'an maupun sunnah nabi, dan belum ada kesepakatan ulama tentangnya.
Ia juga berpandangan bahwa kandungan Al-Qur'an terkait soal muamalah terungkap secara umum sehingga dalilnya kebanyakan dzanni, maka yang seperti inilah termasuk lapangan bagi ijtihad.
Fungsi Ijtihad
Melansir buku Fikih Kontemporer karya Gibtiah, ijtihad berfungsi sebagai tiga hal:
1. Al-Ruju atau al-I'adah (kembali), adalah mengembalikan ajaran Islam kepada sumber pokoknya (Al-Qur'an dan sunnah) dari segala penjelasan yang memungkinkan kurang relevan.
2. Al-Ihya (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu menjadi agama yang memberi petunjuk sebagai umatnya.
3. Al-Inabah (pembenahan), yakni menata kembali ajaran Islam yang telah di-ijtihad-i oleh ulama terdahulu yang memungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman, keadaan, dan lokasi yang dihadapi kaum muslim.
Rukun Ijtihad
Saat hendak berijtihad, terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan sebelumnya. Yang mana perkara-perkara ini mesti terpenuhi terlebih dahulu sebelum melakukan ijtihad. Mengutip buku Fikih Kontemporer, ada empat rukunnya:
1. Al-Waqi' adalah kasus yang menimpa dan belum dijelaskan dalam nash Al-Qur'an dan sunnah, atau persoalan yang diyakini akan terjadi nantinya.
2. Mujtahid, yakni seorang yang melakukan ijtihad dan punya kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu. Menukil buku Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, berikut syarat seorang mujtahid:
- Paham dan menguasai pengetahuan mengenai ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an.
- Tidak harus menghafal seluruh isi Al-Qur'an, cukup punya keahlian untuk merujuknya ketika diperlukan. Tetapi bila hafal Al-Qur'an lebih bagus.
- Mengetahui hadits-hadits tentang berkaitan dengan hukum.
- Tahu objek ijma' mujtahid terdahulu agar tidak menentukan hukum yang menyalahi sebelumnya.
- Mengerti tata cara qiyas, syarat-syarat penerapannya, illat-illat hukum, serta metodenya.
- Paham berbahasa Arab.
- Mengetahui dan paham mengenai nasakh mansukh.
3. Mujtahid fih, yaitu hukum-hukum syariat yang bersifat amali atau taklifi.
4. Dalil syara, yang menjadi dasar menetapkan suatu hukum bagi mujtahid.
Metode-metode Ijtihad
Ketika memakai ijtihad dalam penentuan suatu hukum, mujtahid mesti menggunakan metode formal yang diakui oleh kalangan ulama. Sutrisno dalam bukunya mengungkapkan metode ijtihad yang dimaksud di sini, yakni istinbat, upaya yang dipakai mujtahid dalam menelusuri dan menetapkan hukum yang belum ditegaskan dalam nash.
Ulama Khushari al-Sayyid menyebutkan beberapa metode yang dapat digunakan oleh para mujtahid, di antaranya metode qiyas, istihsan, istishab, istislah, sadd al-dhariah dan uruf.
Abdul Wahhab Khallaf turut mengutarakan sejumlah metode ijtihad yang bisa dipakai mujtahid, seperti qiyas, istihsan, istislah, bara'ah al-ashliyyah, dan uruf.
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Daftar Kekayaan Sahabat Nabi