Menjadi NU Pada Waktunya

Kolom Hikmah

Menjadi NU Pada Waktunya

Abu Rokhmad Musaki - detikHikmah
Senin, 13 Feb 2023 09:46 WIB
Puncak Resepsi Harlah 1 Abad NU digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (7/2/2023). Yuk kita rangkaian acaranya.
Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Jakarta -

Saya hadir dan merasakan langsung atmosfer resepsi puncak peringatan Satu Abad NU yang berlangsung luar biasa di Sidoarjo (7/2). Modern, berkelas, meriah dan hikmat. Stadion Delta menjadi saksi antusiasme nahdiyyin berebut barakah raksasa dari NU yang telah berkhidmah seabad dalam melayani umat. Jutaan nahdliyyin berkumpul untuk merayakan syukurnya dan melangitkan doa terbaik untuk ormas Islam terbesar ini pada kiprahnya pada abad II nanti.

Rangkaian kegiatan menuju resepsi puncak Satu Abad NU cukup banyak dan beragama. Sejak pertengahan tahun lalu, dihelat kegiatan akademik yang mengundang narasumber dalam dan luar negeri seperti halaqah dan seminar internasional tentang fikih peradaban dan forum R-20 di Bali. Ada pula event kesenian dan olahraga yang digelar di Solo. Berbagai kegiatan dilaksanakan oleh hampir semua banom, lembaga dan lajnah di bawah PBNU untuk menyambut resepsi puncak satu abad NU ini. Hadtarus Syekh Hasyim Asy'ari tentu sangat bangga menyaksikan jam'iyyah yang didirikannya kini berusia 100 tahun. Dan perjalanan NU pada abad II dimulai dari sekarang.

NU telah membuktikan dirinya bermanfaat dan maslahat untuk publik. Begitu banyak harapan yang digantungkan pada NU untuk menjadi kompas kehidupan di dunia dan akhirat. Ada harapan besar jika NU eksis maka NKRI tetap utuh. Terbukti NU selalu konsisten pada konsensus bangsa yang telah disepakati. NU telah teruji merawat dan menjaga NKRI dan tidak pernah menggadaikan komitmen kebangsaannya untuk tujuan politik praktis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gembira dan Bersyukur

NU yang sering diidentikkan sebagai organisasi Islam tradisional, kaum sarungan, organisasi santri dan sejenisnya ternyata mampu berkhidmah untuk umat hingga satu abad. Suatu pencapaian yang tidak mudah dan penuh ujian, apalagi NU tetap utuh, solid dan berpotensi menjadi kekuatan yang nggegirisi pada abad II nanti.

ADVERTISEMENT

NU memiliki keliatan untuk bertahan menghadapi tantangan zaman. Pada sifat kesederhanaan nahdiyyin yang berasal dari desa (orang kampung), NU berkiprah dan berhasil berdialog dengan lapisan masyarakat paling bawah dan memahami denyut kehidupan serta problem yang mereka hadapi. Kyai-kyai NU menjadi rujukan dan tempat bertanya tentang apa saja, baik urusan dunia dan lebih-lebih urusan akhirat. Kyai bukan sekedar cultural broker tetapi juga imam dalam pengertian yang sesungguhnya.

Sekalipun sering diuji dan dijadikan sasaran tembak kekuatan eksternal dan internal, NU berhasil melewati tantangan itu dengan baik. Jalan beragama di tengah (wasathiyyah/ moderate) yang dipilih NU dan disebut sebagai Islam Nusantara sering dinista sebagai bukan Islam dan dicap bid'ah. Hampir semua amaliah NU dianggap tidak benar. Mereka bersepakat mendiskreditkan NU secara massif dan sistematis.

NU dan nahdliyyin menghadapinya dengan santai dan argumentatif. Serangan terhadap amaliah NU ini justru melahirkan berkah tersendiri. Akhirnya, makin banyak penjelasan yang diberikan oleh para kyai dan santri dan kian banyak pula umat Islam yang sadar bahwa amaliah NU memiliki cantolan keagamaan yang kuat. NU dan nahdliyyin tidak mengambil posisi ofensif terhadap ormas Islam lain, kecuali jika ormas itu sudah keblablasan lisan dan lakunya yang dapat membayakan Islam dan keutuhan NKRI.

Sejak lama, NU berdiri di tengah, membela keragaman bangsa Indonesia dan menjaga keutuhannya. NU dan nahdliyyin tak berniat mengklaim dan merasa paling NKRI dan paling Islam. Kecintaan kepada NKRI memang sengaja ditunjukkan NU untuk menggugah nasionalisme dan patriotisme masyarakat pada bangsanya. Sebab ada sekelompok umat Islam yang hidup di Indonesia tetapi justru ingin merobohkannya. Jika sudah tidak cinta NKRI, memang tidak sepantutnya tinggal di sini. Tidak ada cara lain selain NU wajib menggelorakan cinta tanah air sebagai bagian dari imam.

Dengan begitu banyaknya serangan yang ditujukan kepada amaliah NU, klaim bahwa NU dianggap arogan dan paling Islami telah gugur dengan sendirinya. Santri-santri NU belajar kitab kuning begitu detail. Kyai dan santri membaca satu persatu kata lalu dimaknai dan dijelaskan i'rabnya. Tidak ada tradisi membaca buku yang pernah dialami oleh umat manusia yang serinci santri pesantren.

Sebenarnya, klaim paling Islam itu masuk akal bila memperhatikan cara belajarnya para santri itu. Tetapi, rasa paling hebat dalam ilmu agama tidak pernah terbetik di hati nahdliyyin. Kyai-kyai kampung itu lebih sering 'berebut' tidak mau menjadi imam shalat dan khatib Jum'at. Umumnya mereka merasa tidak 'alim dan kurang pantas tampil di depan. Mereka yakin, masih ada yang lebih alim dan sepuh yang pantas untuk menjadi panutan di komunitas tersebut.

NU Optimis

Hal-hal di atas hanya sebagian kecil akhlak nahdiyyin yang patut diapresiasi dan disyukuri. Praktik beragama NU yang inklusif dan tasamuh membuat nyaman kebanyakan orang. Yang muslim makin cinta dengan NU dan yang non-muslim makin hormat kepadanya. Yang muslim diayomi dan yang non-muslim dijaga dan dihormati. Kecintaan nahdliyyin pada Islam jangan ditanya lagi.

Penjagaan dan pembelaan NU kepada non-muslim bukan kaleng-kaleng. Dalam Munas Alim Ulama NU 2019, dalam konteks negara bangsa, non-muslim bukanlah orang kafir melainkan warga negara (muwathin) yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Karena itu, pada peringatan satu abad NU, keadaan demikian patut disyukuri dengan penuh kegembiraan.

Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Tsaquf pidato berapi-api dan menggetarkan kalbu nahdliyyin. Gus Yahya menyebut satu abad NU ini sebagai abad tirakat (riyadhah) para wali dan kyai untuk mendigdayakan NU. Ajakannya kepada nahdliyyin, Indonesia dan dunia untuk menetap abad II NU dengan penuh semangat dan optimis. Pada abad II ini, NU tidak hanya ambil peran dalam usaha memajukan keislaman-keindonesiaan, tetapi juga memperluas cakupan perjuangan NU ke seluruh dunia. Landasan epistemologisnya telah dibahas dalam fikih peradaban.

Ke depan, NU bukan hanya kumpulan (jamaah) kyai dan santri kampung. Cendekiawan, pengusaha, birokrat, politisi dan masyarakat pada umumnya, dengan suka cita dan bangga menjadi bagian dari NU. Visi keagamaannya ingin menjadikan agama sebagai solusi bagi kehidupan umat manusia. Akhlakul karimah menjadi kode etik perilakunya dan peradaban nasional dan global yang damai merupakan tujuan akhirnya. NU menjadi sarana (wasilah) bagi terwujudnya dunia yang damai dan berperadaban.
Disadari bahwa kekuatan NU bukan pada banyaknya aset dan amal usaha yang dikelola. Tentu saja, aset dan unit bisnis ini sangat penting karena dapat memberi manfaat dan menopang kegiatan NU dan kehidupan nahdiyyin. Tetapi itu bukan satu-satunya dan bukan yang paling utama. Sekarang sedang dilakukan berbagai penataan tata kelola yang baik agar kekayaan nahdliyyin yang dikelola NU menjadi jelas jumlah dan besarannya.

NU juga terus menggenjot badan usaha milik NU agar menjadi bagian dari upaya mendigdayakan NU di bidang ekonomi. Jumlah lembaga pendidikan (dasar hingga perguruan tinggi), lembaga sosial dan rumah sakit yang dikelola NU terus mengalami peningkatan kuantitas dan kualitas. Hal ini akan menjadi kekuatan tambahan bagi NU untuk berkhidmah dalam banyak bidang kepada masyarakat. Di atas aset dan amal usaha, kecintaan nahdliyyin pada keislaman-keindonesiaan, peradaban dan kemanusiaan merupakan kekuatan dahsyat yang dapat menggerakkan seluruh lapisan masyarakat untuk mencapai tujuan yang sama. Dan NU menjadi imamnya.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2022-2027 hasil muktamar ke-34 NU di Lampung, telah dikukuhkan pada 31 Januari 2022 lalu. Agenda pengukuhan yang dilakukan di Balikpapan tepat di hari lahir NU yang ke-96 ini, seharusnya memiliki nilai dan spirit yang istimewa bagi pengurus yang baru.
Sepakat dengan esensi yang disampaikan oleh Rais 'Am PBNU, KH. Miftahul Akhyar, bahwa pengukuhan bukan sekedar peresmian kepengurusan. Pengukuhan juga bukan hanya ajang sosialisasi dan pengenalan publik nama-nama pengurus yang duduk di jajaran PBNU.

Pengukuhan PBNU, hakikatnya, merupakan baiat terbuka, lahir dan batin, bahwa nama-nama yang disebut akan melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh, sesuai program kerja dan kebijakan pimpinan. Baiat merupakan perjanjian untuk mendengar dan menaati (al-'ahd 'ala al-sam'I wa al-th'ah) titah organisasi.
Janji itu diucapkan dihadapan dan disaksikan presiden dan wakil presiden pula. Allah SWT juga mendengarnya. Para pengurus berjanji untuk hadir dan berkomitmen mewakafkan waktu dan pikirannya, bukan hanya saat rapat tetapi juga dalam keseluruhan harinya demi terwujudnya cita-cita NU saat dilahirkan. Tak boleh ada lagi cerita, seorang pengurus NU hanya terlihat kehadirannya dalam dua kali kesempatan: saat dikukuhkan dan saat muktamar, dan setelah itu hilang.

Pengukuhan PBNU yang dilakukan di Ibukota Negara (IKN) ini mengambil tema sangat penting, yaitu Menyongsong 100 Tahun NU: Merawat Jagat Membangun Peradaban. Suatu tema 'out of the box' yang esensinya hendak mengembalikan NU pada pada khittah asasinya. Kelahiran NU bukan sekedar merawat tradisi saja, tetapi juga perdamaian dan peradaban. Melalui tema itu hendak ditegaskan bahwa lingkup perjuangan NU bukan sekedar Indonesia, bahkan lebih dari itu. Gambar jaqat yang ada dalam logo NU adalah buktinya.

Keluar dari Tradisi

Banyak yang skeptis mengenai mimpi besar NU untuk merawat jagat dan membangun peradaban. Mampukah NU mewujudkannya di tengah mayoritas nahdliyyin yang gampang sekali disibukkan dengan isu ikhtilaf mengenai furu'iyyah? Sanggupkah santri-santri itu berpikir tentang perdamaian global di tengah berbagai keterbatasan dirinya? Bisakah NU merubah dirinya, dari yang biasa menjadi luar biasa? Jawabannya, mampu, sanggup dan bisa. Gus Dur sudah membuktikannya.

Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf dalam buku Menghidupkan Gus Dur (2021:125) menyatakan bahwa Gus Dur telah berhasil mengubah wawasan keagamaan NU dan membuat NU jauh lebih terbuka dan inklusif. NU sudah terbiasa dan mampu menerima berbagai perbedaan pemikiran keagamaan (tauhid, tasawuf dan fikih). Bahkan perbedaan itu diinstitusionalisasikan dalam doktrin ahlussunnah wal jamaah.

Relasi NU dengan Pancasila sudah selesai dan final. NU sudah tidak butuh debat lagi soal bentuk negara. Bentuk negara merupakan perkara ijtihadi. Asal mampu mewujudkan kemaslahatan dan perdamaian, serta dapat menjadi wasilah bagi tetap tegaknya Syariat, apapun bentuk negaranya, itu sudah cukup islami.

NU juga telah berhasil memerdekakan diri dari kooptasi politik. Gerakan kembali ke Khittah NU 1926 yang dimulai pada Muktamar NU di Sitobondo, telah membuka mata NU tentang pentingnya politik tetapi juga harus tahu bagaimana cara bermain politik. NU merupakan jam'iyyah nahdliyyah bukan jam'iyyah siyasiyyah.

Tidak semua tradisi itu kolot dan identik dengan terbelakang. Ada tradisi, yang betapun kunonya, tetap dijaga dan dirawat karena tradisi itu tidak bertentangan dengan Syariat. NU sudah menyelesaikan hal itu melalui kaidah "menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik" (al-muhafadhat bi al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-aslah). Bagi NU, soal qunut, tahlilan, manaqiban atau rukyatul hilal akan tetap seperti itu dan tidak akan menganggu upaya merawat jagat ini.

Jalan Perubahan

Yang perlu dilakukan kini adalah mengelola jam'iyyah NU agar kompak dan serempak bergerak menuju pada satu tujuan. Harus diakui, selama ini sering terjadi perbedaan langkah antara NU dengan nahdliyyin. NU dan nahdliyyin seperti dua entitas yang kurang padu dan tidak selalu bersama. Konteks ini umumnya berkaitan dengan amal usaha (sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, dan lain-lain) yang dimiliki NU dan nahdliyyin.

Hal ini mungkin menjadi kelemahan, tetapi bisa jadi merupakan kekuatan NU. Soal amal usaha, NU memang tidak bisa menolak jika dibanding-bandingkan dengan ormas Islam lain. Tetapi ini bukan satu-satunya alat ukur keberhasilan organisasi.

Dalam soal ekonomi dan amal usaha, NU memang memiliki kekhasan. Kekhasan ini bagian dari tradisi yang semestinya dapat segera diperbaiki. Keberhasilan membangun kemandirian ekonomi pasti sangat menunjang cita-cita merawat jagat dan membangun peradaban. Dengan lain kata, NU memang perlu terus berbenah dan berubah. Selain harus ngaji fiqih, NU juga perlu ngaji sugih.

Siapapun dan apapun, pasti akan mengalami perubahan. NU dan nahdliyyin juga akan mengalami perubahan. Jalan perubahan perlu dirintis dan dibuat. Jalan perubahan perlu dikenali dan dipelajari. Tradisi akan membantu NU saat menjalani dan mengisi jalan perubahan itu. Tradisi akan memastikan bahwa NU tetaplah NU, tetap punya akar dan mengakar, meski situasi dan kondisi telah berubah. Jelang satu abad, NU tentu harus berubah. Zamannya berubah. Generasinya berganti. NU memiliki modal untuk melewatinya dengan sukses.

Dalam sambutannya di acara pengukuhan, presiden menantang NU untuk membangun database berbasis teknologi, artificial intelligence, edutech platform, termasuk membangun learning management system yang memungkinkan seluruh santri dapat mengakses kitab-kitab rujukan dan ngaji dengan kyai kredibel dengan mudah. Wajah NU akan sangat berbeda jika tantangan itu berhasil dijawab.

Banyangan tentang NU dan para santri tidak hanya melulu berkutat dengan kitab kuning. Tradisi keagamaan ala ahlussunnah waljamaah pasti masih dikukuhi dengan kitab kuning sebagai rujukannya. Selain itu, santri-santri NU juga makin familiar dan fasih berbicara tentang dunia digital dengan segala bisnis di dalamnya.


Abu Rokhmad Musaki

Wakil Ketua LPBH PBNU Jakarta

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)

Hide Ads