Sesuai mandat dari Presiden RI Prabowo Subianto, penyelenggaraan ibadah haji mulai tahun 2026 mendatang akan dialihtugaskan dari Kementerian Agama (Kemenag) kepada Badan Penyelenggara Haji (BPH).
Berkaitan dengan hal tersebut, timbul wacana mengenai status kelembagaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Apakah akan dilakukan proses peleburan ke dalam lembaga BPH atau tetap menjadi lembaga yang independen.
Menanggapi wacana tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah melakukan kajian bersama dengan Majelis Ulama Indonesia, yang dikemas dalam sesi diskusi bertajuk "Menjaga Independensi BPKH". Diskusi ini ditayangkan secara live streaming dalam program Ruang Publik di kanal YouTube tvMu Channel pada Sabtu, 9 Agustus 2025.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si menyatakan harapannya agar BPKH tetap menjadi lembaga yang independen, tidak disatukan dengan lembaga apa pun.
"Kita tidak tahu ke depan apakah BPKH akan bersatu dengan badan yang lain atau tidak. Kalau saya sih tetap berpisah. Tentu ya. Jadi independen. Kalau disatukan lembaganya biasanya akan ada banyak problem," ujar Haedar Nashir dalam pernyataan yang ditayangkan tvMu pada Sabtu (9/8).
Di kesempatan yang sama, Dr. H. M. Muhammad Saad Ibrahim, M.A. selaku Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Lembaga Pembinaan Haji dan Umrah (LPHU) turut angkat bicara.
Ia menyatakan bahwa mengenai peleburan BPKH ke dalam BPH biarlah sebatas wacana saja. Adapun realisasinya masih perlu dikaji lebih mendalam. Ia juga menyatakan bahwa apa pun keputusan nantinya, bukan persoalan dileburkan atau tidak melainkan bagaimana agar BPKH tetap menjalankan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab.
"Kalau pertanggungjawabannya bisa lebih baik, kemudian lebih amanah dan sebagainya, ya kenapa tidak? Saya kira konteksnya seperti itu. Karena itu, ini memerlukan kajian-kajian mendalam," ujarnya.
Saad Ibrahim juga berpendapat bahwa risiko terjadi konflik dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji merupakan hal yang wajar lantaran proses pelaksanaannya yang sangat kompleks.
"Persoalan haji itu persoalan yang sangat kompleks sekali. Pertama melibatkan dua negara, yaitu dalam hal ini Arab Saudi dan Indonesia. Yang kedua... mereka yang pergi haji juga sangat heterogen, mulai dari yang tidak pernah sama sekali pergi ke mana-mana sampai yang sudah biasa pergi ke mana-mana... Yang berikutnya lagi, situasi yang bisa berbeda antara apa yang ada di Indonesia dengan yang ada di sana (Tanah Suci)... sehingga sangat beresiko terjadi konflik," tambahnya.
Hingga saat ini, penyelenggaraan ibadah haji tahun 2026 masih dalam proses transisi dari Kemenag ke BPH. Dilansir detikNews, Revisi UU Haji saat ini sedang diproses di Baleg DPR RI.
"Revisi UU Haji saat ini sudah memasuki Tahap II di Baleg DPR RI. Kami di Komisi VIII sedang menunggu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah. Jadi belum bisa dikatakan akan disahkan dalam waktu dekat, karena proses legislasi masih berlangsung," kata Dini Rahmania kepada wartawan, Rabu (6/8/2025).
Keseluruhan proses legislasi ini ditargetkan rampung pada Agustus 2025 agar tidak mengganggu penyelenggaraan ibadah haji pada musim haji mendatang.
(inf/erd)
Komentar Terbanyak
Rekening Buat Bangun Masjid Kena Blokir, Das'ad Latif: Kebijakan Ini Tak Elegan
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa