Sukron Farda Jadi Pemandu Haji dan Umrah Demi Melanjutkan Estafet Jejak Mertua

Kisah Inspiratif Para Muthowif (8)

Sukron Farda Jadi Pemandu Haji dan Umrah Demi Melanjutkan Estafet Jejak Mertua

Sudrajat - detikHikmah
Kamis, 23 Mei 2024 09:00 WIB
Ustaz HM Sukron Farda
HM Sukron Farda Foto: Dok. Pribadi
Jakarta -

Bagi HM Sukron Farda, kehadiran Maktour tak sekedar tempat mencari nafkah. Biro haji dan umroh yang telah beroperasi sekitar 40 tahun itu juga merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya kompetensi dan aktualisasi keilmuan yang dimilikinya.

Bergabung sejak 2019, ia mengaku merasakan suasana kekeluargaan yang begitu hangat, baik antar sesama ustaz yang menjadi muthowif (pemandu haji dan umrah), maupun dengan pendiri dan manajemen Maktour.

"Seperti para ustaz lain yang lebih dulu berinteraksi di sini, hubungan yang terjalin tak sekedar tempat bekerja tapi sudah menjadi keluarga besar. Pak Fuad (Mayshur), Pak Muhammad Rocky sudah kami anggap orang tua sendiri," kata Farda saat berbincang dengan detikHikmah, Rabu (22/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara subjektif, ia melanjutkan, kiprahnya di Maktour juga merupakan tugas sejarah. Ayah mertuanya, Dr KH M. Hamdan Rasyid, ketua Komisi Fatwa MUI, selama bertahun-tahun menjadi muthowif bagi para Jemaah Maktour. Kiai Hamdan lah yang meminta dia untuk melanjutkan estafet kiprahnya sebagai muthowif. Juga sama-sama mengelola Pondok Pesantren Baitul Hikmah, Bojongsari, Depok yang dirintis sejak 2016.

Farda mulai dipercaya memimpin Jemaah untuk umrah pada Desember 2019, ketika belum genap sebulan bergabung dengan Maktour. Tak lama berselang, Arab Saudi menutup sementara pintu untuk Jemaah umrah maupun haji ke Makkah dan Madinah karena pandemik global, Covid-19. Baru pada musim haji 2023, ayah tiga anak itu mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menjadi muthowif.

ADVERTISEMENT

Selama menunaikan perannya, Farda mengaku punya kenangan berkesan saat memandu 25 jemaah umrah pada tahun lalu. Ia menyaksikan satu per satu jemaahnya terlihat nyaman dan leluasa untuk mencium dan berdoa di Multazam dan Hijir Ismail. Padahal lazimnya hanya beberapa saja atau maksimal separuh anggota rombongan Jemaah yang dapat melakukannya.

"Mungkin kemarin itu segenap para Jemaah benar-benar ikhlas dan tulus untuk menjadi tamu Allah SWT," ujarnya.

Lelaki kelahiran Jepara, 2 Februari 1988 itu pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Tahfidhul QurÑn Al-Makmun Bugel, Jepara. Juga di Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Dari situ dia melanjutkan ke Jurusan Tafsir Hadist di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Lulus 2015, suami dari Nailul Fauziah itu melanjutkan ke jenjang Magister bidang Aqidah dan Filsafat Islam dari kampus yang sama. Di kampus tersebut, Farda menulis karya ilmiah bertajuk 'Perawi Hadis Indonesia' dan '⁠Simbolisasi Kekerasan Dalam Sedekah Bumi'.

Ketekunannya mendalami ilmu agama tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarganya. Sang ayah tergolong kiai, meski disebutnya 'Kelas Kampung' di sebuah desa di Jepara, Jawa Tengah. Lebih jauh lagi, kakeknya dikenal sebagai penyebar Islam pertama di Jepara. "Kakek yang membangun masjid pertama di Kampung Banyumanis - Donorojo di Pesisir Utara Jepara," kata Farda.




(dvs/dvs)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads