Secara fikih, syarat haji sebagai rukun Islam kelima, adalah mampu baik secara materi maupun kesehatan fisik dan rohani. Namun secara hakikat sejatinya mereka yang menunaikan ibadah haji adalah karena undangan Allah SWT sebagai pemberi semua kemampuan.
"Karena itu sudah sepatutnya setiap muslim yang ditakdirkan oleh Allah SWT menjadi tamunya datang ke bumi Arafah bersyukur tanpa henti. Itulah yang harus ditonjolkan sebagai karunia terbesar dalam hidupnya," tutur Ustaz Ismail Marzuki, muthowif (pemandu haji dan umrah) saat berbincang dengan detikHikmah di Wisma Maktour, Selasa (14/5/2024).
Lulusan King Fahd University of Petroleum & Minerals Arab Saudi itu kembali menegaskan bahwa ibadah haji bukan soal materi. Sebab mereka yang bergelimang harta sekali pun belum tentu mampu menunaikan ibadah haji meski mampu mampu membayar biaya hingga ratusan juta rupiah. Juga bukan soal kekuatan fisik semata sebab tak sedikit jemaah yang sudah renta, sakit-sakitan ternyata mampu menunaikannya dengan penuh khusyuk dan sebaliknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bila Allah tak menghendaki, tamu mau mengundang si kaya raya, pejabat tinggi yang berkuasa, pengusaha besar maka mereka tak akan tergerak untuk berhaji," kata Ismail.
Sebaliknya, pernah ada seorang office boy yang biasa melayani sebuah perusahaan di Kalimantan ternyata bisa berhaji. Dia pergi dan satu penginapan langsung dengan bosnya tanpa mengeluarkan uang serupiah pun. "Semua ditanggung oleh bosnya. Ini kisah nyata," imbuh Ismail yang sudah berkecimpung dalam pelayanan haji dan umrah sejak tahun 2000.
Ia lantas mencontohkan pengalaman pribadinya pada 2017. Sebagai pegawai Maktour, waktu itu dia sudah cukup lama berada di Makkah untuk mendampingi para jemaah. Namun tiba-tiba pemerintah Kerajaan Saudi menerapkan aturan baru bahwa hanya para pemegang Visa Haji yang boleh menunaikan ibadah haji. Ismail yang memegang visa sebagai pengurus haji harus pulang ke Jakarta.
"Saat mengudara dengan Qatar Air, saya merenung siapa sebenarnya yang salah. Perusahaan, pemerintah Saudi? Tapi akhirnya saya sadari semua itu karena kehendak Allah," tuturnya.
Di kali lain, ia melanjutkan kisahnya, ada seorang pengusaha kaya yang batal berhaji karena suatu hal sesumbar akan bisa melakukannya di tahun-tahun berikutnya. Sebab dia merasa mampu membayar biaya termahal sekali pun sehingga tak perlu bertahun-tahun antre seperti jemaah haji regular. Nyatanya, kata Ismail, hingga sekarang si pengusaha itu tak saya lihat atau dengar mampu mewujudkan sesumbarnya.
Lalu ada juga seorang pensiunan jenderal yang meminta seorang muthowif Maktour asal NTB untuk mendampinginya menunaikan umrah. Setelah semua urusan administrasi dipenuhi dan si muthowif telah di Jakarta dan siap berangkat, eh ternyata justru si jenderal jatuh sakit. "Akhirnya cuma rekan saya yang muthowif itu yang berangkat. Pak jenderalnya malah masuk rumah sakit," kisah Ismail.
Dalam dunia sinetron di televisi, ia melanjutkan, juga ada cerita 'Tukang Bubur Naik Haji'. Ia meyakini kisah semacam itu ada dalam realitas kehidupan. "Intinya, kalau Allah SWT sudah mengundang umat yang diinginkannya, akan ada seribu cara bagi tamu Allah mewujudkannya," pungkas Ismail
(jat/kri)
Komentar Terbanyak
Rekening Isi Uang Yayasan Diblokir PPATK, Ketua MUI: Kebijakan yang Tak Bijak
Rekening Buat Bangun Masjid Kena Blokir, Das'ad Latif: Kebijakan Ini Tak Elegan
Ayu Aulia Sempat Murtad, Kembali Syahadat karena Alasan Ini