Sang ayah mengarahkan Muhammad Hafizd untuk mengikuti jejaknya menjadi pegawai negeri di lingkungan Kementerian Agama. Tak heran bila dia kemudian memilih Jurusan Bimbingan Penyuluh Islam di Fakultas Dakwah, UIN Syarif Hidayatullah. Ia lulus pada 2005 dengan skripsi bertajuk, "Bimbingan Rohani Kepada Napi Depresi di Lapas Perempuan Tangerang".
"Saya memilih isu tersebut dengan asumsi para napi (narapidana) perempuan lebih rentang untuk mengalami depresi selama menjalani hukuman," kata lelaki kelahiran Jakarta, 8 November 1983 itu.
![]() |
Begitu lulus Hafizd langsung bergabung dengan sebuah yayasan yang biasa mengayomi para narapidana. Sekitar setahun lamanya dia aktif mengajar dan memberikan konseling kepada para napi tak cuma di Lapas Tangerang, tapi juga di Cipinang dan Bekasi. Dari situ Hafizd kemudian menjadi guru Ibtidaiyah (sekolah dasar) di Perguruan Islam Al-Izhar, Pondok Labu. Di sekolah milik mantan Kepala Bulog dan Menteri Koperasi di era Orde Baru, Letjen Prof Bustanil Arifin itu dia mengajar selama empat tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya masuk Al-Izhar menggantikan Ustaz Sugiarto yang pindah mengajar ke level Aliyah (SMA) di sekolah yang sama," ujar Hafizd.
Suatu hari, pada 2010, seniornya itu mengabarkan bila Biro Haji dan Umrah Maktour membutuhkan ustaz yang dapat memberikan tausyiah kepada peserta manasik. Info tersebut didapat dari istrinya yang berteman baik dengan seorang manajer di Maktour. Tak lama berselang, Hafizd diminta menghadiri acara manasik tapi sekadar untuk menjadi pemandu acara. Waktu itu yang bertindak sebagai muthowif (pemandu haji/ umrah) antara lain Ustaz Syarif Hidayatullah, seniornya di UIN.
Baru dua kali mengikuti manasik, dia diminta ikut memberikan materi. Kebetulan waktu itu beberapa ustaz yang senior sedang tidak di Jakarta. "Lalu pada Mei 2010, saya langsung ditugaskan menjadi muthowif untuk jemaah umrah," kenang suami dari Ria Anggraini itu.
Bagaimana dengan haji? Direktur Operasional Maktour Muhammad Rocky Masyhur pernah menjanjikan kepada Hafizd untuk memberangkatkan haji setelah minimal lima kali menjadi muthowif jemaah umrah. "Tapi Oktober 2010, Alhamdulillah saya ditelepon staf di Maktour agar mempersiapkan diri untuk berangkat haji. Saya langsung sujud syukur," kata Hafizd.
Ia diminta berangkat untuk menggantikan Da'i Sejuta Umat KH Zainudin MZ yang berhalangan. Begitu juga dengan KH DR Darmawan Soleh yang sehari-hari menjadi pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Hikmah di Lamongan, Jawa Timur dan mengajar di Pascasarjana UIN Sunan Ampel.
Namun untuk empat tahun berikutnya, Hafizd tak dapat memenuhi permintaan Maktour. Pihak Al-Izhar tak mengizinkan gurunya mengambil cuti terlalu lama karena akan merugikan peserta didik. Akhirnya pada 2015, karena tak enak berkali-kali menolak, dia langsung menyanggupi ketika ada tawaran datang. Tak cuma itu. Dia juga menyatakan setuju untuk sepenuhnya bergabung dengan Maktour dan meninggalkan Al-Izhar.
![]() |
"Istri, ibu mertua, dan teman-teman setuju dan mendukung saya bergabung sepenuhnya dengan Maktour. Satu-satunya yang sedikit keberatan adalah ibu karena ketika itu saya tengah kuliah pascasarjana jurusan ilmu pendidikan di PTIQ," tutur Hafizd yang dikaruniai dua putri itu.
Bagi dia, menjadi guru maupun muthowif cuma beda lahan tapi sama-sama merupakan pengabdian kepada Allah SWT. Motivasi utamanya bukan sekedar soal materi, kebanggaan, ataupun status sosial. "Saya melakoni tugas sebagai muthowif diniatnya sebagai ibadah melayani para Jemaah. Bukan karena niat lain yang di mata Allah SWT justru tidak ada nilainya," tandas Hafizd.
(jat/kri)
Komentar Terbanyak
Ustaz Khalid Basalamah Buka Suara Usai Dipanggil KPK
Naudzubillah! Ini Ciri-ciri Wanita yang Jadi Pengikut Dajjal pada Akhir Zaman
Kemenag Imbau Masyarakat Tak Usir Anak-Anak yang Berisik di Masjid