Musibah dan Muhasabah

Musibah dan Muhasabah

Dr.Ahmad Kusyairi Suhail, M.A. - detikHikmah
Minggu, 28 Des 2025 20:00 WIB
Musibah dan Muhasabah
Foto: dok. Istimewa
Jakarta -

Beragam bencana dan musibah menimpa negeri kita. Banjir bandang, gunung meletus, tanah longsor, gempa bumi datang silih berganti. Sebagai orang beriman, kita mengimani, bahwa apa pun yang terjadi di bumi ini atas takdir Allah. "Tidak ada menimpa (seseorang atau bangsa) suatu musibah pun kecuali dengan izin Allah", demikian firman Allah dalam QS At Taghaabun [64]: 11.

Berbagai asumsi, telaah dan analisa dari banyak kalangan tentang penyebab musibah, mayoritas, jika tidak boleh dikatakan semuanya, menyorot soal faktor alam, perubahan cuaca dan yang sejenisnya.

Namun, satu hal yang kebanyakan manusia lupa, bahwa berbagai bencana dan musibah yang datang bertubi-tubi itu akibat maksiat dan dosa manusia sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Sunnatullah tentang Terjadinya Musibah
Inilah yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya; "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (QS Ar Ruum [30]: 41).

Ayat ini menegaskan tentang Sunnatullah (ketentuan Allah SWT) tentang terjadinya musibah dan bencana. Bahwa maksiat dan dosa adalah penyebab utama terjadinya berbagai macam kerusakan di semua aspek kehidupan, di darat dan di laut. Sebab, "Alif Lam" (baca: Al) At Ta'rif pada lafazh "Al Fasaad" dalam ayat itu adalah Ta'rif Al Jins, yang bermakna integral dan universal; mencakup semua bentuk kerusakan di bumi (Lihat Tafsir Ibnu 'Aasyur XXI/64).

ADVERTISEMENT

Baik kerusakan di bidang ideologi seperti merebaknya fenomena kemusyrikan. Kerusakan ekonomi seperti krisis moneter, melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok dll. Kerusakan politik seperti memburuknya kinerja pemerintah, meningkatnya jumlah politikus rakus. Kerusakan di bidang hukum seperti jual beli vonis dan tidak ditegakkannya supremasi hukum.

Kerusakan sosial seperti meningkatnya kriminalitas, menurunnya sifat peduli dan berbagi serta semakin diminatinya pola hidup "nafsi-nafsi" (diriku-diriku) yakni mementingkan diri sendiri. Kerusakan budaya seperti tontonan, lukisan dan foto-foto yang mengumbar aurat dengan dalih freedom of expression, kebebasan berekspresi.

Kerusakan moral seperti gaya hidup permissivisme, freesex, perzinahan merajalela dll. Maupun kerusakan alam seperti banjir, tanah longsor dll. Jika semua bentuk kerusakan tersebut begitu mudah dijumpai dan merebak di negeri ini, maka pantaskah kita minta selamat dari bencana dan malapetaka?! Padahal Allah SWT dengan tegas dan jelas berfirman, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia .."

Dalam kajian tafsir Sayyid Quthb rahimahullah, bahwa di dalam ayat tersebut Allah SWT mengungkapkan bagi manusia tentang korelasi yang kuat antara kondisi kehidupan dengan perbuatan dan ulah mereka. Sesunggguhnya kerusakan hati, akidah dan perbuatan tangan manusia merupakan pemicu utama berbagai macam bentuk kerusakan di jagat raya, meliputi daratan dan dan lautan .. (Fii Zhilal Al Qur'an V/2773).

Perhatikan ayat berikut yang juga menjelaskan sunnatullah tentang terjadinya musibah:
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (QS Asy Syuura (420: 30).

Benar. Allah SWT memaafkan sebagian besar dari dosa-dosa kita. Seharusnya kita ditimpa bencana dan musibah lebih banyak dan lebih dahsyat lagi dari apa yang ada sekarang, namun keluasan rahmat (kasih sayang) Allah menghalangi hal itu.

Urgensi Muhasabah Ketika Musibah
Dalam kondisi kita uji dengan banyak ujian dan musibah ini, maka melakukan muhasabah (kontemplasi dan evaluasi diri) menjadi sesuatu yang penting.

Sebab, muhasabah adalah tangga menuju kesempurnaan diri. Bahkan, muhasabah adalah barometer keimanan sehingga mengabaikan muhasabah melahirkan Al Kholal Al Imani (cacat keimanan) dan menjauhkan seseorang dari derajat takwa.
Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS Al Hasyr [59]: 18).

Di saat menafsirkan ayat di atas Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: "Maknanya; hisab(evaluasi)lah diri kalian sebelum kalian dihisab. Dan lihatlah amal-amal shalih yang telah kalian tabung untuk diri kalian pada hari kembali kalian dan pertemuan kalian dengan Rabb kalian. Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui seluruh perbuatan dan keadaan kalian. Tidak ada sesuatu apa pun pada diri kalian yang tidak diketahui Allah". (Tafsir Ibnu Katsir V/69).

Dengan muhasabah, seseorang menyadari kekurangan dan kezalimannya sehingga bertekad untuk memperbaiki diri dan menyongsong masa depan yang lebih baik lagi. Karena itu, salah satu kunci keberhasilan dan kesuksesan manusia besar zaman dahulu adalah kebiasaan mereka melakukan muhasabah. Hal ini pernah diakui oleh seorang ulama Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah seraya mengatakan, "Demi Allah, aku telah mendapati pengaruh maksiatku tampak dalam kehidupan keluargaku dan pada kendaraanku", kemudian beliau muhasabah dan taubat, maka Allah anugerahkan beliau menjadi ulama besar.

Imam Hasan Al Bashri berkata: "Seseorang senantiasa baik selagi ia mempunyai penasehat dari dirinya sendiri dan muhasabah menjadi keinginannya". Maka, kini saatnya guna menghadirkan kebaikan dan keberkahan negeri ini, seluruh elemen bangsa melakukan Muhasabah Nasional.

Penulis adalah Dosen Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta, Ketua Umum PP IKADI/Ikatan Dai Indonesia)

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads