Sabtu, 18 Oktober, minggu lalu saya hadir di acara walimah pernikahan putri sahabat saya, KH. Muhammad Najib Suyuthi di komplek pondok pesantren Raudhatul Ulum Guyangan Pati. Kyai Najib adalah pengasuh pesantren yang santrinya lebih dari 7000 ini.
Pesantren ini sangat megah, dari jarak 1 km sudah terlihat tower 7 lantai dengan nama gagah tertulis dalam Bahasa arab "Ma'had Raudhatul Ulum al-Islamiy" (raudhah dibaca rafak karena i'rab hikayah) dibalut dengan lighting warna kuning yang terkesan gagah dan mewah.
Di samping pondok pesantren ini, berdiri Rumah Sakit As-Suyuthiyyah. Nama ini diambil dari nama pendiri yaitu KH. Suyuthi Abdul Qodir, Abah Kyai Najib yang juga tercatat sebagai murid dari Hadhratus Syeikh KH. Hasyim Asy'ari. Pesantren yang memiliki RS bisa dihitung dengan jari seperti Tebuireng dan Lirboyo yang minggu ini "avral" (bentuk superlative - isim tafdhil dari kata viral).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Building pesantren ini dibangun dengan arsitektur modern tertata rapi dan banyak sentuhan-sentuhan artistik yang semakin membuat pesantren ini berwibawa.
Alumni pesantren ini tidak hanya bertebaran di kampus-kampus agama seperti IAIN, UIN tetapi juga di kampus-kampus UGM, UI, UNAIR dll. Tidak hanya dalam disiplin social sciences dan humaniora tapi juga dalam ilmu-ilmu eksak dan IT. Santri alumni pesantren ini juga menggurita di kampus-kampus luar negeri seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan negara-negara Arab lainnya.
Tahun kemarin, pesantren ini juga satu-satunya pesantren yang "beraroma NU" yang mendapatkan sertifikat Mu'adalah (persamaan) dari Universitas Madinah Arab Saudi. Mu'adalah Al-Azhar Mesir sudah lama puluhan tahun yang lalu.
Saya hadir bersama sahabat saya Arvin Hakim Thoha, santri Sarang dan Tambak Beras yang pernah menjadi anggota DPR RI 2015-2019.
Kami bertiga bersahabat sejak tahun 1985 ketika bareng-bareng masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kami santri yang pada waktu itu belum ngerti apa-apa tentang makhluk bernama kampus. Santri-santri ndeso yang berproses dari "ketidaktahuan" menuju ke "sedikit tahu". Sebenarnya bukan bertiga tapi berempat yaitu bersama KH. Ahmad Farid Abdul Hadi yang sudah mendahului kami sowan Allah.
Saya dan Kyai Najib thalabul ilmi di jurusan spesialisasi Tafsir dan Hadis sementara Arvin Hakim ambil di studi Peradilan Agama (al-Qadha') di Fakultas Syariah.
Persahabatan semakin erat dan lengket ketika kami berdua bersama kawan-kawan yang rata-rata santri membedah kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab hadis berbagai mazhab, corak dan aliran. Mulai tafsir yang berafiliasi ke Mazhab Sunni sampai dengan tafsir beraroma Muktazilah dan Syiah harus kami bedah di meja diskusi untuk dipelajari sekaligus dikritisi.
Di bawah bimbingan KH. Malik Madaniy, the Rising Scholar and Lecturer, kami diajari untuk tidak tabu mengkaji karya-karya klasik berbagai mazhab agar adil dan obyektif dalam memahami the sacred text, teks-teks suci keagamaan. Kitab-kitab Tafsir Syiah seperti Al-Mizan karya Thabathaba'i, Tafsir al-Kasyif karya Jawwad Maghniyah juga menjadi menu yang menarik dalam setiap diskursus quranic exegesis. Kitab-kitab Syiah seperti Usulul Kafi, Furu'ul Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih serta kitab Al-Ghadir-nya Al-Aminiy An-Najafiy menjadi santapan bersama para santri-santri di jurusan Tafsir Hadis.
Kami dalam mengkaji turas qadim tidak pernah mempermasalahkan aliran atau mazhab-mazhab pemikiran. Kami sadar Sunni, Syiah, Muktazilah dan lain-lain adalah "وليد التاريخ" produk sejarah dan bukan "وليد النصوص المقدسة" produk teks-teks suci keagamaan. Berantem sampai berdarah-darah atau pengkaplingan sorga dan juga kebenaran atas nama sebuah aliran atau mazhab tertentu justru akan berakibat pembelengguan dalam proses thalabul ilmi.
Saya juga menjadi saksi bahwa Kyai Najib pengasuh pesantren Raudhatul Ulum ini sangat alim dan tawadhuk. Orangnya teliti dalam mengkaji kitab dan detail. Dia juga punya keberanian untuk melakukan reformulasi tradisi keilmuan pesantren. Dia berani melakukan kritik terhadap tradisi keilmuan pesantren yang fiqih sentris.
Dalam perjalanan intelektualnya, Kyai Najib menulis sebuah skripsi yang sangat penting dan monumental. Skripsi itu menyoroti sebuah nama yang sangat populer dalam forum-forum bahtsul masa'il di pesantren-pesantren dan juga di kalangan NU. Nama tersebut adalah al-Khatib as-Syirbiniy.
Nama Khatib as-Syirbiniy sangat masyhur dan sering disebut di pesantren terutama ketika bahtsul masail (Kajian permasalahan). Sayangnya nama besar ini hanya dikenal di pesantren dalam studi-studi fiqih lewat karyanya Al-Iqna fi hall alfaz Abi Syuja' dan Mughnil Muhtaj ila Ma'rifati Alfaz al-Minhaj. Padahal Syirbini ini seorang mufassir yang expert dalam quranic exegesis, tafsir Al-Qur'an.
Berangkat dari realitas tersebut Kyai Najib menulis skripsi dengan judul "Al-Khatib as-Syirbiniy dan Pemikiran Tafsirnya dalam kitab As-Siraj Al-Munir fi Al-Ianah ala Makrifati Ba'dhi Kalami Rabbina al-Hakim al-Khabir".
Ini dobrakan revolusioner Kyai Najib agar pesantren juga mengkaji dan mendalami kehandalan As-Syirbini dalam menafsirkan Al-Qur'an dan tidak hanya bergelut dengan "ibarah" fiqih-fiqihnya.
Di acara walimah pernikahan tersebut saya "diplekotho" alias dipaksa untuk memberikan mauidhah kepada kedua mempelai Ning Najwa dan Gus Mukhosis.
Saya terus terang grogi ndobos di depan para tamu yang rata-rata orang alim dan ngerti kitab kuning. Saya sampaikan saya ini bukan kyai, hanya "mutakayyik" alias sok bergaya kyai padahal bukan kyai. Sementara sahabat Arvin Hakim juga "diplekotho" jadi wakil keluarga dan memberikan pidato yang sangat semangat seperti instruktur LKD PMII.
Dalam sambutan tersebut, saya sampaikan meski saya santri yang pernah punya label LBBP (luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Extraordinary and plenipotentiary) tapi tak berkuasa untuk menolak perintah Kyai Najib. Alasannya: saya berhutang begitu besar kepada kepada Kyai Intelektual alim tawadhuk yang tidak pernah dolanan medsos ini.
Apa hutang besar itu: Kyai Najib mencarikan istri, dia pilihkan salah satu gadis Pati untuk saya nikahi. Yah istri yang akhirnya menjadi "jimat diplomatik" saya ketika bertugas 6 tahun di Saudi.
Saya katakan jimat karena nama istri saya sama persis dengan nama istri Duta Besar Kerajaan Arab Saudi di Jakarta, Jenderal Syeikh Osamah Abdullah as-Syuaibi. Tidak hanya nama istri yang sama, tetapi nama mertua juga sama yaitu Abdullah. Sebuah irisan takdir diplomatik yang akhirnya memberikan kemudahan saya dalam bertugas. Nama istri dan mertua yang sama, saya dari Jawa Tengah, Jenderal Osamah dari Propinsi "santri" Al-Gasseem".
Bedanya Jenderal Osamah punya dua istri bernama Muniroh (double Muniroh) dan masih ditambah satu lagi, sementara saya hanya satu Luluk Muniroh. Saya bilang ke Jenderal Osamah, istri saya satu tapi "rasa empat", saya pingin "bertauhid" secara benar, muwahhidin. Hahaha.
Saya dan sahabat Arvin juga punya hutang dengan Kyai Najib ini, tidak hanya sering ditraktir "Gudeg Cukupan" dekat Batas Kota, tetapi kami juga sering dibelikan karcis untuk nonton dangdut di Purawisata pada tahun 80 an tersebut.
Kyai Najib penggemar dangdut meski tidak bisa nyanyi dangdut. Sahabat Arvin bisa nyanyi meskipun notasinya dan cengkoknya model "orang mbelah" Karangmangu Sarang Rembang.
Saya tutup coretan ini dengan kaidah yang belum ditulis dan divalidasi di kitab-kitab kuning:
الصحبة الودّية غير متناهية، واللّامتناهية لا تنقض بالمتناهية
𝑷𝒆𝒓𝒔𝒂𝒉𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒕𝒖𝒍𝒖𝒔 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓. 𝑺𝒆𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒅𝒊𝒓𝒖𝒏𝒕𝒖𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒅𝒂 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 (𝒎𝒊𝒔𝒂𝒍𝒏𝒚𝒂: 𝒍𝒂𝒃𝒆𝒍 𝒅𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒂𝒑𝒖𝒏).
Sebuah perjalanan persahabatan tanpa akhir, unending persahabatan.
Agus Maftuh Abegebriel
Dubes RI untuk Kerajaan Arab Saudi merangkap OKI, 2016 - 2021
Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Wamenag Romo Syafi'i Menikah Hari Ini, Habib Rizieq Jadi Saksi
Dukung Ponpes Al Khoziny Dibantu APBN, Cak Imin: Ada 1.900 Santri di Sana
Wali Santri Korban Meninggal Ambruknya Musala Al Khoziny Akan Diumrahkan