Peringatan Hari Santri 22 Oktober tahun ini membawa kita pada refleksi penting tentang wajah baru pesantren dan santri di tengah derasnya arus digitalisasi dan keterbukaan media sosial. Pesantren yang dulu dikenal sebagai dunia sunyi, jauh dari hiruk-pikuk modernitas, kini berubah menjadi ruang terbuka dan rentan menjadi sorotan publik.
Santri hari ini bukan lagi sosok anonim di balik pagar pesantren. Mereka kini menjadi warga digital yang setiap perilakunya dapat terekam, dikomentari, bahkan dihakimi publik secara terbuka.
Transformasi ini menuntut cara pandang baru terhadap ekosistem pesantren. Dunia pesantren tak bisa lagi menutup diri dengan dalih menjaga tradisi. Tradisi tidak boleh dimaknai sebagai isolasi dari perubahan, tapi pijakan untuk beradaptasi secara kreatif terhadap zaman.
Seperti kata sosiolog Zygmunt Bauman (2000), dunia modern bergerak dalam "keadaan cair" yang menuntut kelenturan sikap dan kemampuan menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri. Begitu pula pesantren, ia harus luwes, terbuka, dan solutif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Refleksi Publik
Media sosial telah membuka pagar pesantren selebar-lebarnya. Dari sudut pandang tertentu, ini membawa berkah. Dakwah pesantren menjadi lebih luas. Kitab kuning kini bisa diakses melalui aplikasi. Ceramah kiai pun dapat dinikmati jutaan orang di kanal YouTube atau TikTok. Santri tidak lagi terbatas pada lingkaran majelis. Santri kini terbiasa menjadi "content creator" nilai-nilai Islam yang rahmatan li al-'alamin.
Namun, keterbukaan itu juga membawa konsekuensi serius. Setiap tindakan di pesantren kini menjadi bagian dari ruang publik. Kasus-kasus pelanggaran moral, kekerasan, atau pelecehan yang melibatkan oknum pimpinan, pengasuh, atau ustaz pesantren cepat menyebar dan menjadi perbincangan nasional.
Menurut laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada 2024, terdapat 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan, dan sekira 20 persen di antaranya terjadi di pesantren atau lembaga keagamaan. Angka ini menunjukkan bahwa pesantren tidak bisa lagi hanya mengandalkan "penanganan internal". Sudah saatnya pesantren membangun sistem tata kelola yang terbuka, transparan, dan akuntabel.
Menanggapi kritik publik, pesantren harus memandangnya sebagai ruang refleksi bersama. Kritik, sekeras apa pun, sejatinya lahir dari kepedulian masyarakat terhadap lembaga yang selama ini dihormati dan dicintai. Karena itu, sikap terbaik adalah menanggapinya dengan bijak, bukan dengan prasangka. Tentu saja kritik yang faktual, relevan, dan memenuhi kode etik jurnalistik.
Keterbukaan publik justru dapat dimaknai sebagai kesempatan untuk memperkuat kepercayaan masyarakat melalui langkah perbaikan yang sistematis dan terukur. Dengan cara ini, pesantren tidak akan kehilangan kehormatannya. Bahkan menunjukkan kedewasaan moral dan kelembagaan. Transparansi yang dijalankan dengan nilai-nilai keikhlasan dan tanggung jawab akan mempertegas peran pesantren sebagai pelita moral di tengah masyarakat modern.
"Teks Terbuka"
Santri hari ini ibarat "teks terbuka". Dapat dibaca oleh siapa saja. Identitasnya tidak lagi tunggal. Ia bisa menjadi penghafal al-Qur'an, Hadis, maupun pengkaji kitab-kitab turats, namun di saat yang sama juga sebagai pengguna aktif media sosial, penggerak komunitas dakwah digital, sekaligus pegiat teknologi. Di sinilah pentingnya mengembangkan literasi digital di lingkungan pesantren.
Riset terbaru Balitbangdiklat Kementerian Agama (2024) menemukan bahwa lebih dari 70 persen santri aktif menggunakan media sosial setiap hari, namun hanya 28 persen di antaranya yang memiliki pelatihan literasi digital dasar. Data ini menunjukkan kesenjangan yang cukup lebar antara antusiasme dan kesiapan etis. Maka, literasi digital harus dipahami bukan sekadar keterampilan teknis, tapi meliputi kemampuan etis dan spiritual dalam merespons tantangan dunia maya.
Pesantren dapat menjadi pionir dalam pendidikan digital berbasis akhlak. Seperti kata Ali Shariati (1971), bahwa modernitas tanpa moralitas hanya akan melahirkan manusia mekanis tanpa arah spiritual. Pesantren memiliki modal moral itu, tinggal bagaimana ia mengintegrasikannya dengan kompetensi digital yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Pesantren di era digital harus berani melakukan autokritik. Ada tiga hal yang mendesak dilakukan. Pertama, membangun tata kelola dan sistem perlindungan santri yang lebih profesional. Kasus kekerasan atau pelecehan seksual tidak boleh lagi disikapi dengan diam. Pesantren perlu membentuk unit perlindungan santri, menyediakan jalur aduan, dan menggandeng lembaga profesional dalam menangani kasus secara objektif. Transparansi bukan ancaman bagi marwah pesantren, justru menjadi bukti kedewasaan kelembagaan.
Kedua, memperluas kurikulum pesantren agar mencakup literasi digital, komunikasi publik, dan etika bermedia. Santri harus paham konsekuensi dari jejak digitalnya. Dalam dunia yang "tidak mengenal lupa", seperti kata Yuval Noah Harari (2015), data menjadi bentuk kekuasaan baru. Maka, pendidikan pesantren harus menyiapkan santri sebagai ahli agama sekaligus warga digital yang cerdas dan beretika.
Ketiga, mengubah paradigma komunikasi pesantren dengan publik. Pesantren harus hadir secara aktif dalam ruang digital. Pesantren harus menjadi pelaku utama dalam narasi kebaikan, bukan sekadar bertahan dari tuduhan. Akun resmi pesantren, website, kanal dakwah digital, atau bahkan karya kreatif santri dapat menjadi media representasi nilai-nilai Islam yang meneduhkan dan mencerahkan.
Transformasi Moral
Adaptasi bukan berarti kehilangan jati diri. Justru di tengah derasnya arus modernitas, pesantren harus menunjukkan keunggulan moralnya. Keterbukaan digital harus diimbangi dengan kebijaksanaan spiritual. Dunia maya yang penuh kompetisi dan kebisingan dapat menjadi ladang dakwah yang luas bagi santri, bila dikelola dengan etika dan niat yang lurus.
Karena itu, Hari Santri bukanlah sekadar peringatan historis atas Resolusi Jihad 1945. Momen ini sekaligus mengingatkan generasi santri agar tetap memelihara amanah keilmuan dan tanggung jawab moral dalam menghadapi perubahan zaman. Jika dahulu jihad santri adalah mengusir penjajah, maka jihad hari ini adalah melawan kebodohan digital, hoaks, dan degradasi moral di media sosial.
Kita percaya, nilai akhlakul karimah dan disiplin ilmu yang ditanamkan di pesantren adalah fondasi yang kuat untuk menghadapi era keterbukaan. Sebagaimana diingatkan oleh Rumi (XIII), "Janganlah engkau menjadi musuh zamanmu, agar zamanmu tidak menjadi musuhmu." Pesan itu terasa relevan bahwa pesantren tidak boleh menjadi musuh zaman digital, tetapi menjadi guru bagi zaman itu.
Selamat Hari Santri. Semoga santri Indonesia terus tumbuh menjadi generasi berilmu, berkarakter, dan arif dalam memanfaatkan teknologi di tengah keterbukaan digital.
Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Wamenag Romo Syafi'i Menikah Hari Ini, Habib Rizieq Jadi Saksi
Dukung Ponpes Al Khoziny Dibantu APBN, Cak Imin: Ada 1.900 Santri di Sana
Wali Santri Korban Meninggal Ambruknya Musala Al Khoziny Akan Diumrahkan