Amirulhaj: Pemimpin Spiritual dan Strategis dalam Ibadah Haji

Kolom Hikmah

Amirulhaj: Pemimpin Spiritual dan Strategis dalam Ibadah Haji

Muchlis M Hanafi - detikHikmah
Jumat, 13 Jun 2025 20:00 WIB
Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Muchlis M Hanafi
Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Muchlis M Hanafi. Foto: Dok Muchlis M Hanafi
Jakarta -

Sejak dahulu, umat Islam dari berbagai penjuru dunia menempuh perjalanan panjang dan berat untuk berhaji ke Baitullah. Mereka melewati padang pasir, menunggang unta, bahkan berjalan kaki demi menunaikan panggilan suci ini. Karena perjalanan ini tidak mudah dan melibatkan banyak orang, maka dibutuhkan pemimpin yang bisa mengatur, membimbing, dan menjaga ketertiban selama ibadah berlangsung.

Dari kebutuhan inilah lahir konsep Imâratul Ḥajj-kepemimpinan dalam ibadah haji. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Jika tiga orang bepergian, hendaknya mereka memilih salah satu sebagai pemimpin." (HR. Abu Dawud). Ulama memandang bahwa dalam perjalanan besar seperti haji, sangat penting ada pemimpin yang memandu jamaah agar ibadah mereka sah, tertib, dan aman. Pemimpinnya disebut Amirulhaj.

Menurut para ulama seperti al-Māwardī, jabatan ini mencakup dua fungsi, pertama: Imâmah 'alâ Tasyîr al-Ḥajj (kepemimpinan administratif dan operasional), kedua: Imâmah 'alâ Iqâmat al-Manâsik (kepemimpinan dalam aspek ritual dan keagamaan). Dengan kata lain, kepemimpinan haji mencakup peran keagamaan, manajerial, dan strategis. Ia menjadi bagian dari struktur pemerintahan Islam dan salah satu jabatan keagamaan yang sangat dihormati sepanjang sejarah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para fuqaha menetapkan sejumlah persyaratan penting bagi siapa pun yang diangkat sebagai Amirul Hajj, antara lain:

1. Mampu mengendalikan rombongan dan mengarahkan perjalanan.

ADVERTISEMENT

2. Adil, bijak, dan berwibawa dalam memberi keputusan.

3. Berakhlak mulia, penuh kasih kepada yang muda, hormat kepada yang tua.

4. Menguasai rute dan kondisi jalan, sehingga dapat memilih jalur yang paling aman dan nyaman.

5. Mengetahui sumber-sumber air dan logistik.

6. Memberi kenyamanan dalam perjalanan, memberi waktu istirahat, dan tidak memaksa dalam kondisi sulit.

7. Mampu memberi perlindungan, baik dari gangguan keamanan maupun keterbatasan fasilitas.

8. Bertindak sebagai penengah saat terjadi konflik antarjamaah.

9. Menegakkan disiplin dan hukum dengan porsi yang tepat.

10. Bijak dalam memanfaatkan waktu dan mengatur agenda perjalanan (lihat: Târîkh Umarâ al-Hajj, Dr. Badri M. Fahd, h.193).

Dalam sejarah Islam, penunjukan Amīrul Ḥajj-pemimpin perjalanan haji-telah berlangsung sejak masa Rasulullah SAW. Beliau sendiri mengangkat Itab bin Asid Abi el-Eish bin Umayyah (8 H) dan Abū Bakar aṣ-Ṣiddīq (9 H) sebagai pemimpin rombongan haji sebelum beliau menunaikan haji Wada'.

Praktik ini berlanjut pada masa Khulafā' Rāsyidīn, di mana tokoh-tokoh seperti 'Umar bin al-Khaṭṭāb (11 H), 'Abdurraḥmān bin 'Awf (24 H), dan Ibn 'Abbās (36 dan 37 H) diangkat untuk memimpin perjalanan haji. Pengangkatan tersebut bukan hanya bermakna administratif, tetapi juga bersifat spiritual dan politis, sebab Amīrul Ḥajj bertugas memastikan kelancaran ibadah, keamanan jamaah, serta menjaga ketertiban manasik sesuai tuntunan syariat.

Pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, peran Amīrul Ḥajj menjadi semakin strategis. Ia tidak hanya mengatur jalannya ibadah, tetapi juga memimpin rombongan haji dalam kapasitas militer dan politik.

Nama-nama seperti Marwān bin al-Ḥakam (43 H), al-Ḥajjāj bin Yūsuf ats-Tsaqafī (73 H), Amr bin Sa'īd bin al-'Āṣ (60 H), Abu Ja`far al-mansur (136 H) dan Harun al-Rasyid (77 H) dikenal sebagai pemimpin haji sekaligus penguasa yang membawa serta pasukan dan perlengkapan keamanan. Bahkan pada abad ke-7 Hijriyah, dinasti-dinasti di Suriah, Mesir, dan Maroko turut mengutus Amīrul Ḥajj masing-masing. Mereka membawa serta kafilah besar dengan pengawalan resmi, hadiah untuk penduduk Haramain, dan bekal logistik yang mencerminkan kekuatan politik kerajaan yang mereka wakili.

Tradisi Amīrul Ḥajj ini terus berkembang hingga periode modern, ketika kekuasaan Ottoman mengambil alih wilayah Haramain. Para sultan Utsmani menjadikan pengangkatan Amīrul Ḥajj sebagai bagian dari sistem negara, menunjuk para pejabat tinggi untuk memimpin perjalanan haji dari berbagai wilayah kekuasaan seperti Mesir, Syam, dan Hijaz.

Rombongan haji menjadi peristiwa besar negara yang melibatkan logistik militer, diplomasi, dan dakwah. Praktik ini menginspirasi banyak negara Muslim modern, termasuk Indonesia, untuk terus mempertahankan keberadaan Amirul Hajj sebagai simbol pembinaan spiritual, keterwakilan negara, serta penjaga moralitas kolektif umat dalam ibadah haji (Makkah, al-Hajj wa al-Thawâfah, Fuad Abdul Hamid Anqawi, h. 130-139).

Dalam konteks keindonesiaan, berdasarkan UU No 8 Tahun 2019, tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Amirul Hajj ditunjuk oleh Presiden. Amirulhaj bertugas memimpin misi haji Indonesia dan melaksanakan tugas diplomasi haji di Arab Saudi selama musim haji.

Dalam melaksanakan tugasnya Amirulhaj dibantu oleh 12 (dua belas) anggota yang terdiri atas 6 (enam) orang berasal dari unsur pemerintah dan 6 (enam) orang berasal dari unsur organisasi kemasyarakatan Islam. Penunjukan ini dimulai sejak dulu dan berlanjut hingga kini sebagai wujud kehadiran negara dalam ibadah kolektif berskala besar.

Amirul Hajj Indonesia tidak bertugas mengatur teknis operasional, tetapi berfungsi sebagai teladan akhlak dan spiritualitas, penyejuk dalam menghadapi dinamika lapangan, pemimpin moral dalam misi ibadah nasional, dan perwakilan diplomatik dalam hubungan bilateral haji Indonesia-Arab Saudi selama musim haji. Setiap tahun, dalam pertemuan dengan Raja atau Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi dan pertemuan pasca Armuzna dengan Menteri Arab Saudi, atau konferensi perhajian di tengah musim haji, Amirulhaj selalu mewakili misi haji Indonesia.

Dalam berbagai kesempatan, Amirul Hajj juga memberi masukan kepada pemerintah, membina petugas, menyampaikan pesan-pesan keagamaan, serta menjaga wajah umat dan bangsa dalam perhelatan ibadah internasional ini.

Di era modern dengan jutaan jamaah dan sistem layanan multinasional yang kompleks, keberadaan Amīrul Ḥajj tetap relevan. Ia menjadi jangkar moral di tengah badai teknis, sekaligus lambang kontinuitas nilai-nilai ruhani dalam perjalanan suci.

Di saat ibadah haji semakin terdigitalisasi dan berorientasi layanan, Amīrul Ḥajj tetap diperlukan sebagai penjaga makna dan pemersatu niat, agar haji tidak sekadar menjadi perjalanan fisik, tetapi mi'rāj ruhani menuju ridha Ilahi.


--

Muchlis M Hanafi

Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri, Ketua PPIH Arab Saudi 1446 H/2025 M

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads