Sabda Kanjeng Nabi bahwa ada di antara orang-orang yang berpuasa tidak memperoleh apa pun selain haus dan lapar, jelas punya pesan kuat bahwa puasa tidak sekadar berhubungan dengan tidak makan dan tidak minum sejak fajar hingga terbenamnya matahari.
Meninggalkan makan dan minum sepanjang hari hanya entry point untuk tujuan yang lebih penting dan mulia, yakni pengendalian diri. Makan dan minum semacam test case bagi setiap orang, tahap berikutnya adalah mengendalikan perasaan, pikiran, dan organ tubuh yang lain agar patuh sepenuhnya pada ajaran agama.
Setidaknya pada tahap inilah puasa yang sebenarnya dimulai, latihan (riyadlah) selama sebulan penuh untuk membiasakan diri pada kebaikan dan kebenaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Puasa merupakan kesempatan penting untuk melakukan restorasi kemanusiaan dan keislaman, setelah selama sebelas bulan suntuk berinteraksi, bahkan bergulat, dengan berbagai urusan, dan kebanyakan berkaitan dengan dunia. Sebelas bulan adalah waktu yang cukup lama untuk mengubah (entah baik atau buruk) perasaan dan pikiran siapa pun, dan karena itu restorasinya juga tidak mudah.
Dari perasaan dan pikiran ini, organ tubuh menjadi alat yang digunakan untuk meraih apapun yang diimpikan. Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) secara eksplisit menyebutkan tujuh organ tubuh, selain perasaan dan pikiran, yang harus dikendalikan, yakni mulut, telinga, mata, tangan, kaki, perut, dan kelamin. Karena itu, kemenangan pada saat Idul Fitri, perlu diukur dari keberhasilan mengendalikan tujuh organ tubuh ini.
Lagi-lagi menurut al-Ghazali, aktivitas tujuh organ tubuh ini sangat dipengaruhi, atau bahkan tergantung pada perasaan dan pikiran. Maka puasa pada level kedua menekankan usaha-usaha untuk mengendalikan perasaan dan pikiran dari merasakan dan memikirkan apa pun yang dilarang agama.
Pada level ini, kegagalan mengendalikan perasaan dan pikiran akan memicu organ tubuh melakukan apa pun yang terlintas dalam perasaan dan pikiran.
Tampaknya, di sinilah pesan Kanjeng Nabi bertautan secara eksplisit. Ketika perasaan dan pikiran tidak terkendali, maka bisa jadi hawa nafsu lah yang akan dominan. Dalam keadaan seperti ini, siapa pun bisa tergoda melakukan apa pun untuk kepuasan dirinya, sementara baik dan benar berada di luar orbit kesadarannya sekalipun sedang tidak makan dan tidak minum sejak fajar hingga terbenamnya matahari.
Dalam kaitan ini, menarik merenungkan pesan Kanjeng Nabi, "Ada dua hal yang sangat aku takutkan padamu (umatku, pen.), mengikuti hawa nafsu dan angan-angan yang tak terbatas. Sikap mengikuti hawa nafsu akan membuat (siapa pun) tertutup dari kebenaran (al-Haqq), sementara angan-angan yang tak terbatas memastikan cinta pada dunia."
Gagal dalam berpuasa, demikian pula kegagalan dalam ibadah lainnya, bisa membuat siapa pun mengabaikan "kebenaran" dan bergairah mengejar angan-angannya yang tak terbatas.
Tampaknya, di sinilah pangkal terjadinya penyimpangan perilaku individual maupun sosial, perilaku khianat pada bangsa dan negara dengan mengambil apa pun yang bukan haknya, dengan mengubah apa pun untuk mewujudkan angan-angannya (yang bisa jadi tak terbatas), dengan mengambil kekayaan negara, kekayaan rakyat, dan seterusnya.
Dalam membangun masyarakat, agama lebih mengutamakan transformasi individual, yang sangat berbeda dari strategi politik. Kanjeng Nabi membina setiap individu di Makkah dan Madinah hingga lahir pribadi-pribadi yang selalu sadar pada kebaikan dan kebenaran, selalu sadar tentang hak dan kewajibannya, dan puncaknya sadar dan selalu ingat kepada Allah SWT hingga terbentuk pribadi yang sepenuhnya tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah SWT (aslama).
Sahabat Abu Bakar al-Shiddiq, pemimpin pertama umat Islam setelah wafatnya Kanjeng Nabi, terkenal mempersembahkan seluruh kekayaannya kepada
Kanjeng Nabi untuk memenuhi kebutuhan umat. Sekalipun merupakan pengusaha sukses, dia tidak cinta, apalagi terikat pada kekayaan duniawinya, sehingga keputusan-keputusannya sebagai khalifah pertama tidak selalu mengutamakan kepentingan dan kebutuhan umat.
Sahabat Umar ibn al-Khaththab, ketika menggantikan Abu Bakar, tidak menikmati status dan jabatannya sebagai orang nomor satu waktu itu. Umar juga dikenal mambawa sendiri sembako untuk orang miskin untuk memberi mereka bahan makanan gratis, bahkan anak-anak dengan suka ria memanggilnya "Bapak... Bapak..." setiap kali beremu Umar.
Ketika membentuk Ahlul Halli wal 'Aqdi yang terdiri dari 6 orang, dia memasukkan Abdullah putranya sebagai orang ketujuh untuk ikut memilih jika pemilihan 3:3 (draw) dengan catatan anaknya tidak boleh dipilih sebagai penggantinya.
Keteladanan demikian bisa kita temukan pada banyak tokoh sahabat maupun tabi'in (generasi setelah sahabat), yang merupakan living values pengendalian diri yang luar biasa sehingga kepentingan, keinginan, kebutuhan pribadinya tidak mengalahkan kepentingan dan kebutuhan rakyat.
Sahabat 'Ali ibn Abi Thalib, misalnya, terkenal memadamkan lilin ketika ada keluarganya yang datang untuk membicarakan keperluan pribadi, karena lilinnya dibeli dengan uang negara.
Puasa sebagai riyadlah jasmaniyah dan ruhaniyah seharusnya bisa melahirkan pribadi-pribadi yang bisa menjadi living values keutamaan puasa. Orang-orang yang sudah mampu mengendalikan dirinya, yang sudah mampu menyapih dirinya dari kekayaan dan kekuasaan, akan berani menegur, bahkan menindak tegas, siapa pun yang prilakunya, keputusannya, membahayakan bangsa (rakyat, umat) dan negara, karena yang ada dalam orbit kesadarannya adalah kebaikan dan kebenaran.
Menjelang akhir Ramadhan kali ini sangat penting bagi siapa pun untuk merenungkan puasanya, apakah latihan (riyadlah) puasanya membuat perasaan dan pikirannya terkendali (dari menuruti hawa nafsu dan mengejar angan-angan yang tak terbatas), atau masih merupakan rutinitas tidak makan dan tidak minum semata.
Idealnya, puasa adalah nyepi dari syahwat dan angan-angan duniawi, dan hanya berbuka dengan kebaikan dan kebenaran, berbuka dengan kesadaran pada Tuhan Yang Maha Esa.
Hodri Ariev
Penulis adalah Ketua RMI-PBNU
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
Baca juga: Ramadhan sebagai Madrasah Ruhani |
(inf/inf)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Merapat! Lowongan di BP Haji Bisa untuk Nonmuslim