Puasa: Jalan Seluruh Umat Manusia Menuju Pengetahuan Sejati

Puasa: Jalan Seluruh Umat Manusia Menuju Pengetahuan Sejati

Kholili Kholil - detikHikmah
Selasa, 11 Mar 2025 12:00 WIB
Kholili Kholil, PBNU.
Foto: dok. pribadi Kholili Kholil
Jakarta -

"Maka persempitlah ruang gerak setan dengan berlapar-lapar," demikian Nabi bersabda.

Dalam banyak kisah heroik berbagai kebudayaan, pertempuran antara jahat dan baik sering dimenangkan lakon protagonis sebab kesediaannya dalam menahan lapar dan haus. Dalam tradisi Samawi, kekalahan Jalut alias Goliath sering diidentikkan dengan kesediaan Talut (Saul) dan pasukannya - di mana Daud ada di dalamnya - menanggung kesengsaraan.

Alquran menggambarkan kesengsaraan itu dengan minum seteguk air. Sementara Taurat melukiskannya dengan puasa seharian penuh. Kekuatan Daud yang sedemikian dahsyat pun dinaskan oleh Nabi Muhammad "sebab ia puasa dua hari sekali." Tradisi tirakat pesantren acapkali mengistilahkannya: puasa ndawud.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam sebuah siang di alun-alun Korintos, Plutarkos sejarawan masyhur Yunani Kuna itu bercerita dalam kroniknya: Alexander Agung melihat sebuah tong. Ia mendekati tong itu dan betapa terkejutnya kala ia mendapati Diogenes, pertapa bijak yang harum namanya itu, sedang duduk merangkul lutut dan menatap kosong ke bawah.

Diogenes baru berkenan menengok ke atas tatkala bayangan Alexander menghalangi terik sinar mentarinya.

ADVERTISEMENT

Alexander Sang Raja bertanya, "Adakah yang bisa kubantu?" "Ya," Diogenes menjawab sinis, "tolong minggir sedikit."

Tradisi sufistik Persia pun memberikan bahan ajar yang sama. Al-Gazali dalam banyak kesempatan sering menyampaikan pengajaran Beyezid Bastami, "Lapar adalah mendung. Maka ia yang sering berlapar-lapar akan basah oleh hujan pencerahan (amthar al-hikmah)."

Sekali lagi, kesengsaraan telah lama menjadi media pencerahan dalam banyak kebudayaan. Tradisi Jawa mengisahkan pertapaan penuh penderitaan Arjuna di Gunung Indrakila agar bisa berjumpa Sang Hyang Jagatkarana. Juga Sunan Bonang yang menyebutkan obat hati adalah "kosongnya perut".

Puasa dengan berbagai macam bentuknya telah menjadi shared value (nilai bersama) dalam perjalanan spiritual seorang hamba menuju pengetahuan sejati.

"Mengosongkan perut telah lama menjadi media pengetahuan sejati," tulis Al-Gazali dalam Ihya'-nya. "Ada beberapa alasan logis yang melatari hal ini... di antaranya adalah: kebeningan hati terjadi ketika lapar."

Maka tak heran Nabi Muhammad menyebutkan porsi makan yang proporsional adalah jalan utama menuju alam malakut. Istilah terakhir ini adalah sebutan bagi alam kosmologis tempat bersemayamnya ruh-ruh.

Momen Puasa Ramadan ini adalah saat yang tepat bagi umat manusia untuk menyadari bahwa kita semua pada hakikatnya sedang mencari dan berjalan menuju pengetahuan sejati - alih-alih telah mencapainya. Dengan kesadaran ini, kita akan senantiasa berusaha menghormati dan murah hati menerima perbedaan.

Kholili Kholil

Pengurus LBM PBNU
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(inf/inf)

Hide Ads