Di sebuah gang sempit. Gang yang hanya membolehkan motor lewat, itu pun harus dituntun. Tidak boleh dikendarai. Di sana ada rumah yang juga sempit. Namun di rumah itu ada 5 orang mahasiswa perguruan tinggi negeri ternama di sebuah propinsi. Di dalamnya ada lima orang mahasiswa tinggal bersama. Semuanya pria. Empat orang mahasiswa dari fakultas paling bergengsi. Satu lagi dari program D3 dari universitas yang sama.
Menariknya di rumah itu hanya ada satu ruangan utama. Satu ruangan cukup untuk mereka berlima. Cukup bukan lebih. Di ruang itu mereka memasak, menyetrika pakaian, juga belajar. Mereka mengisi waktu di antara beberapa kegiatan dengan berbincang. Ruangan itu pula digunakan untuk tidur. Mirip suasana berhaji di salah satu maktab kloter di era 90-an.
Suatu sore di penghujung ashar. Hari itu hari Kamis. Datang kepada mereka kawan kuliah satu angkatan semester. Karena mobil tidak bisa diparkir dekat kontrakan. Kawan itu terpaksa memarkir mobilnya jauh di jalan raya. Di lokasi terdekat menuju kontrakan itu. Kawan itu sedang membawa susunan rantang ukuran besar. Isinya nasi, ikan, sayur tak lupa buah-buahan. Untuk makan 5 orang kawan, kapasitas susunan rantang besar itu cukup atau bahkan lebih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia berjalan membawa rantang itu menuju kontrakan. Terlihat badannya agak miring ke sebelah rantang. Karena untuk membawa rantang sepertinya cukup membutuhkan kekuatan. Pertanda rantang berisi cukup banyak makanan.
Sesampainya di kontrakan, dilihatnya sejumlah lima orang kawannya sedang membungkus bihun dalam lima paket styrofoam. Sambil mengunci styrofoam dengan staples mereka menyambut hangat penuh gembira kawan yang datang membawa rantang. Rupanya mereka tahu bahwa yang di rantang isinya makanan.
Kawan yang datang dengan rasa kepo bertanya, "Apa itu yang kalian bungkus?"
"Bihun goreng," jawab mereka singkat.
"Untuk siapa?". Lanjutnya penasaran.
"Ini untuk lima orang anak yatim," jawab mereka tenang.
"Lah ini aku bawa makanan untuk kalian," ujar kawan yang membawa rantang.
"Alhamdulillah, pas," jawab mereka hampir serempak. "Kami semua hari ini puasa sunnah hari Kamis."
"Terus untuk buka, apa yang sudah kalian siapkan?" tanya kawan tadi sedikit heran.
"Ya ini, yang sedang kamu bawa. Tuhan mengirimkannya kepada kami melalui kamu kan?" serempak mereka berderai tawa.
Subhaanallah. Lima orang berkawan. Melakukan puasa sunnah di rumah kontrakan yang terbilang pas-pas san. Sedang menyiapkan makanan anak yatim. Sedang persiapan untuk buka buat diri mereka sendiri belum ada. Mereka pasti bukan dari kalangan yang berkecukupan. Namun perhatiannya kepada selain dirinya terbilang di luar perhitungan.
Dalam kesulitan mereka berpuasa. Pada saat menjelang buka mereka mempersiapkan makanan untuk anak yatim. Sedang diri mereka sendiri belum ada makanan untuk buka. Allah mengantarkan kepada mereka perlengkapan buka melalui seorang kawan. Benar-benar peristiwa sulit dinarasikan dengan logika normal.
Memang belum banyak yang bisa ditemukan. Satu kasus dramatis seolah ringan, tetapi belum mudah dilakukan semua orang. Memperhatikan orang lain dan menekan kebutuhan diri sendiri. Sikap altruist yang sulit dicari bandingannya.
Pernah di suatu keadaan yang bukan sederhana. Tetapi dalam kondisi kelelahan puncak. Di sekelompok prajurit perang. Ketika perang berakhir, sebagian prajurit terluka parah. Darah mengalir tanpa bisa ditahan. Wajar kalau tubuh kehabisan persediaan cairan.
Satu orang prajurit meminta diberikan minum kepada seseorang yang datang. Si penolong bersegera datang membawakan hanya seteguk air yang dibutuhkan. Maklum, jumlah air yang tersedia sangat terbatas karena perang dilakukan di daerah padang pasir yang sangat gersang. Tak ada sumur apalagi sungai. Semuanya hanya hamparan pasir kering. Andai saja ada sejumlah besar air pun, jika sampai terjatuh ke tanah. Bisa dipastikan akan segera hilang. Diserap pasir yang memang sehari-harinya sudah terlalu 'kehausan'.
Setibanya air seteguk itu di dekat mulut prajurit yang sudah hampir tak tahan berucap kata, kawan tak jauh dari tempatnya berteriak minta minum. Mendengar teriakan itu, prajurit pertama tadi segera memberi kode kepada pembawa air untuk segera pergi kepada kawannya.
Melihat ketulusan prajurit pertama, si penolong bergegas untuk menuju prajurit ke-2. Sekali lagi, sesampainya di si peminta air tadi, kawan yang lain pun berseru kehausan. Anehnya, prajurit yang ke-2 ini pun segera menunjukkan kode agar air dibawa kepada prajurit ke-3.
Namun sayang, sampai di prajurit yang ke-3 ternyata dia sudah tidak membutuhkan air lagi. Nyawanya tidak tertolong. Dia meninggal. Segeralah si penolong pergi kepada prajurit yang pertama. Sekali lagi sayang, dia pun menyusul kawannya menghadap Sang Maha Pencipta. Tinggal satu harapan barangkali prajurit ke-2 masih membutuhkan minum. Yang terakhir ini pun ditemukan dalam kondisi sudah berpulang. Menghadap Yang Maha Mulia Tuhan sekalian alam. Innaalillaahi wa innaa ilayhi raaji'uun.
Tidak pada masa dahulu. Pada jaman peperangan hanya bersenjatakan pedang, tombak dan panah. Sekarang pun pesona orang-orang yang memperlihatkan indahnya jiwa-jiwa mulia. Mampu mendahulukan kepentingan orang lain walau diri sendiri sangat membutuhkan. Masih tampak terang walau para beliau pemilik jiwa-jiwa indah itu 'bersembunyi' di gang-gang sempit yang jarang terjangkau media pemantau.
Andai kita tulus membandingkan. Seberapa dekat jiwa-jiwa kita sekalian. Kepada akhlak mulia yang memantik rasa. Sampai sulit pandangan ini menahan tetes air mata haru?
Boleh jadi kita tulus tengadah wajah dan tangan. Kita berdoa agar setiap diri kita dianugerahiNya kemuliaan akhlak. Setidaknya dua gambaran akhlak mulia di atas bisa menjadi bayang-bayang tujuan doa!
Abdurachman
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya
Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Rekening Isi Uang Yayasan Diblokir PPATK, Ketua MUI: Kebijakan yang Tak Bijak
Rekening Buat Bangun Masjid Kena Blokir, Das'ad Latif: Kebijakan Ini Tak Elegan
Ayu Aulia Sempat Murtad, Kembali Syahadat karena Alasan Ini