Ziarah Madinah dan Tradisi Arba'in

Kolom Hikmah

Ziarah Madinah dan Tradisi Arba'in

Ahmad Tholabi Kharlie - detikHikmah
Jumat, 28 Jun 2024 17:39 WIB
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie
Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie (Foto: Dok. Istimewa)
Jakarta -

Salah satu tahapan dari penyelenggaraan ibadah haji adalah ziarah kota Madinah. Agenda di kota Madinah memang bersifat komplementer atau melengkapi agenda utama haji di kota Mekah. Destinasi utama dari fase ritual Madinah adalah Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah dan tempat mustajab untuk berdoa, yakni Raudah atau rawdhah min riyadh al-jannah, demikian kata Rasulullah menunjuk space antara posisi mimbar dan kediaman beliau.

Sensasi Ziarah Nabawi

Rasanya tidak ada jemaah yang tidak tertarik untuk menziarahi makam Rasulullah. Ziarah makam Rasulullah pastinya akan melepas kerinduan kita terhadap insan agung pilihan Allah. Bagi jemaah yang terbiasa dengan tradisi wisata ziarah di tanah air ziarah Madinah menjadi momentum sangat istimewa. Tentu sensasinya jauh lebih dahsyat dan syahdu melebihi suasana ziarah makam wali atau ulama-ulama saleh lainnya. Air mata akan mudah bercucuran karena kerinduan yang membuncah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menziarahi makam Rasulullah adalah impian setiap Muslim Indonesia. Meski tak lagi mungkin berjumpa secara visual dengan Rasulullah, paling tidak, hadir di dekat pusaranya menjadi penanda bahwa kita berkesempatan untuk berdekatan dengan beliau. Tentu, kita jangan membayangkan bisa duduk sila berlama-lama sembari merapal semua wirid dan doa di hadapan makam Rasulullah, seperti halnya ketika berzikir di sejumlah destinasi wisata ziarah di tanah air. Otoritas keamanan masjid Nabawi sangat membatasi pergerakan dan gerak-gerik peziarah yang melintas area makam Rasulullah.

Kita tidak bisa berlama-lama berdiam atau berdoa di sekitar makam Rasulullah. Kita pasti akan segera digiring oleh para Askar bertampang sangar, lantas diarahkan untuk bergeser meninggalkan area makam Rasulullah menuju sisi utara masjid Nabawi. Walhasil kita hanya bisa melintas, atau sejenak menyapa Rasulullah dan sejumlah Sahabat yang juga dikubur di samping beliau, menyampaikan selawat sebisanya, dan semua permohonan yang dipanjatkan.

Beberapa tahun terakhir, otoritas Nabawi membuat terobosan baru dalam rangka mengurai kepadatan jemaah yang berkerumun atau berebut mendapatkan tempat berdoa di Raudah. Untuk dapat menikmati syahdunya "taman surga" Nabawi, jemaah harus mendapatkan tasrih atau semacam legalitas mendapatkan tempat atau kuota berdoa di Raudah. Tanpa itu, jangan berharap bisa masuk dan berdoa di arena masjid berkarpet warna hijau, sebagai penciri area antara mimbar dan rumah Rasulullah.

ADVERTISEMENT

Dengan kebijakan ini maka jemaah tak perlu lagi berdesakan, berebut antar sesama jemaah, memonopoli kesempatan di Raudah, atau sebaliknya jemaah dengan keterbatasan fisik atau risiko tinggi tak bisa menikmati spiritualitas Raudah. Panitia haji Indonesia bersama otoritas Nabawi tentu sudah mengatur dan menyiapkan tasrih Raudah untuk para jemaah. Tinggal diatur jadual kedatangan ke lokasi secara bersamaan. Tentu harus disiplin mengikuti jadual yang ditentukan. Jika tidak maka kesempatan emas itu akan berlalu begitu saja. Jadi jemaah haji juga tak perlu risau karena semua akan diberi kesempatan untuk berdoa di Raudah.

Kebijakan ini patut diapresiasi karena memenuhi asas keadilan dan pemerataan kesempatan. Saya pun berpikir, andaikan kebijakan ini diberlakukan untuk jemaah yang ingin mencium "Hajar Aswad". Mungkin tidak akan terjadi 'anarkisme' di seputaran Kakbah. Saya termasuk yang menyimpan perasaan risih bahkan miris menyaksikan ketidaktertiban dan gesekan keras yang terjadi untuk sekadar mencium "Hajar Aswad". Tentu kita berharap otoritas masjid Haram memikirkan solusi terbaik mengatasi sengkarut mencium "Hajar Aswad" sehingga jemaah bisa menikmati ritual ini dengan aman dan damai.

Berburu Salat 40 Waktu

Halawah lain yang masih dalam lingkup ziarah Madinah adalah salat "Arba'in". Ini popular di kalangan jemaah haji Indonesia, meski saat ini tidak lagi menjadi agenda prioritas. Jemaah haji Indonesia bisa melakukan ritual Arba'in jika situasi dan skema jumlah hari memungkinkan. Jika tidak maka tentu jemaah tidak perlu risau atau galau. Tidak mendapatkan Arba'in tidak lantas mendegradasi kualitas ibadah haji. Sama sekali tidak.

Salat Arba'in adalah menunaikan salat fardu lima waktu secara berjamaah di masjid Nabawi di Madinah. Salat berjamaah tersebut dijaga sampai 40 kali salat berturut-turut secara konsisten. 40 kali salat berjamaah lima waktu kurang lebih selama 8 hari (5 salat/hari X 8 hari = 40 hari). Ini tentu tidak mudah. Perlu kesiagaan penuh dan komitmen tinggi. Dibutuhkan kesehatan prima mengingat mobilitas hotel-mesjid cukup tinggi dan kontinou.

Salat berjamaah 40 kali ini memiliki keutamaan, seperti terekam dalam sebuah Hadis yang sejatinya masih diperdebatkan kesahihannya. Hadis ini menyebutkan bahwa salat tersebut menjadi sebab seseorang selamat dari neraka, siksa, dan kemunafikan. Seperti ini redaksi Hadisnya:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: "مَنْ صَلَّى في مَسجدِيْ أَرْبَعين صلاةً لَا يَفُوْتُهُ صلاةٌ؛ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِن النَّارِ، ونَجَاةٌ من الْعذَابِ، وَبَرِيئٌ مِنَ النِّفَاقِ". رواه الإمام أحمد والطبراني في معجمه الأوسط.

Dalam Kitab Hadis al-Musnad karya Imam Ahmad ibn Hanbal dan juga dalam Mu'jam al-Awsath karya al-Thabrani (Juz III/h. 325, No. Hadis: 5444) diriwayatkan suatu Hadis dari jalur Anas ibn Malik, dari Nabi Saw. bahwasanya beliau bersabda, "Siapa saja yang salat di masjidku sebanyak 40 salat, dan tidak luput darinya satu salatpun, maka dia dicatat terbebas dari api neraka, selamat dari azab dan terbebas dari kemunafikan."


Imam al-Haitami dalam kitabnya, al-Majma', menyatakan bahwa perawi Hadis ini adalah termasuk orang-orang yang tsiqqah. Imam al-Mundziri menyatakan dalam kitabnya, at-Targhib, bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui para perawinya yang shahih. Namun, di sisi lain, Hadis ini dianggap dha'if, sebab dalam rangkaian perawinya terdapat sosok Nubayth yang dianggap majhul.

Dengan begitu, kekuatan Hadis ini diperdebatkan oleh para ulama. Sebagian menyatakan Hadis ini shahih, sementara yang lain mengatakan tidak. Namun, kalaupun di anggap dha'if, perlu diingat penjelasan Imam al-Nawawi dalam kitabnya, al-Taqrib, bahwa Hadis dha'if dapat diamalkan dalam ranah fadha'il al-a'mal (untuk amaliah tambahan) dengan beberapa syarat. Pertama, Hadis tersebut tidak terlalu lemah. Kedua, Hadis tersebut tidak berkaitan dengan akidah, hukum halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan hukum yang mengikat. Ketiga, Hadis tersebut tidak bertentangan dengan Hadis shahih atau prinsip dasar syariah.

Dalam pandangan para ahli, Hadis tersebut tidak bertentangan dengan Hadis shahih dan tidak terlalu dha'if karena ada ulama yang menganggapnya shahih dan Hadis tersebut dalam kerangka fadha'il al-a'mal. Oleh karena itu, Hadis tersebut secara substansial dapat diamalkan, sehingga melaksanakan salat Arba'in adalah masyrū' atau memiliki legalitas berdasarkan Hadis tersebut.

Tak Perlu Ngoyo

Namun perlu dicatat bahwa salat Arba'in bukan salat khusus atau berbeda dari salat lainnya. Salat Arba'in adalah salat fardu biasa. Perbedaannya terletak pada komitmen dan kesungguhan untuk menunaikannya secara berjamaah, di suatu tempat yang afdal, yaitu di masjid Nabawi. Komitmen itu dijaga selama 40 kali salat berturut-turut.

Oleh karena itu, jika seseorang atau jemaah haji memiliki kesempatan atau kelonggaran tinggal di Madinah selama 8 sampai 9 hari, ada baiknya mengupayakan salat berjamaah setiap waktu salat di Masjid Nabawi, sehingga mendapatkan keutamaan Arba'in. Namun, jika dalam kondisi tertentu hal mana tidak memiliki kesanggupan secara fisik maupun waktu yang tidak memungkinkan maka tentu tidaklah mengapa. Tak perlu merasa risau atau berdosa karena tidak mampu melaksanakan ritual salat Arba'in.

Berdasarkan evaluasi penyelenggara haji Indonesia, aktivitas padat di Madinah ternyata cukup signifikan menyumbang angka kematian jemaah haji Indonesia. Ini tentu harus menjadi perhatian para jemaah haji. Energi yang terkuras selama pelaksanaan puncak haji di Armuzna menyebabkan penurunan stamina dan daya tahan tubuh jemaah haji, terlebih pada saat cuaca ekstrem seperti musim haji tahun ini.

Beraktivitas padat tanpa kendali pasca Armuzna seringkali membuat jemaah tidak menyadari keterbatasan imunitas dan daya tahan tubuhnya sehingga berdampak buruk pada kesehatannya hingga berujung kematian. Oleh karena itu, jemaah haji perlu bijak dan mampu mengukur kesiapan fisik untuk menghadapi aktivisme ziarah Madinah. Kita nikmati suasana Madinah yang syahdu dengan ibadah yang khusyuk dan tenang. Tidak perlu memaksakan diri berburu kuantitas ibadah. Yang lebih penting adalah menciptakan spiritualitas yang bermutu meski kuantitas tidak harus selalu banyak.


Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Tim Monev Haji Indonesia 2024




(erd/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads