Perjumpaan Democracy dan Shuracracy (1)

Trend Islam di AS

Perjumpaan Democracy dan Shuracracy (1)

Nasaruddin Umar - detikHikmah
Jumat, 21 Jun 2024 05:30 WIB
Poster
Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

Murad Wilfried Hofmann, seorang muallaf dan mantan Dubes Jerman di Algeria dan Marocco, serta mantan Direktur Informasi NATO, mendalami dan mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan konsep musyawarah (syura) dalam Fikih Siyasah Islam atau yang dijelaskan dalam Q.S. Ali Imran/3:159 dan al-Sura/42:38, dan sejumlah hadis yang senapas dengan ayat tersebut. Ia juga mendalami fakta sejarah dunia Islam yang menyuguhkan model-model suksesi yang amat beragam dipraktekkan dalam lintasan sejarah dunia Islam.

Ia berpendapat konsep demokrasi sebagaimana diperkenalkan dalam pemikiran platonisme tidak identik dengan konsep syura yang diperkenalkan di dunia Islam. Menurutnya, yang lebih tepat ialah syuracracy (dari kata syura dan cracy). Dalam artikelnya yang berjudul "Democracy or Shuracracy", ia mengesankan sistem politik di dalam Islam, yang ia eksplorasi sendiri dari dalam Al-Qur'an, Hadis, dan para pemikir Islam, tidak persis sama dengan teori dan penerapan demokrasi sebagaimana yang berkembang di barat. Namun ia juga tidak setuju pendapat sejumlah pemikir fundamental muslim yang mempertentangkan Islam dengan konsep demokrasi, kemudian menggagas konsep teodemokrasi sebagaimana digagas oleh Al-Maududi dkk.


Ketika demokrasi dinilai gagal menjadi solusi terhadap problem kemasyarakatan, apalagi nilai-nilai demokrasi dianggap berbenturan dengan nilai-nilai kearifan lokal, maka pada saat itu resistensi demokrasi akan semakin kuat di dalam masyarakat tersebut. Dalam kondisi seperti ini masyarakat akan memunculkan konsep alternatif. Demokrasi di dalam berbagai konsep selalu mendasarkan pandangannya kepada hak-hak dan kebebasan manusia, baik individu maupun masyarakat. Demokrasi yang lebih menekankan pentingnya kebebasan individu di dalam negara biasa disebut demokrasi liberal. Sedangkan demokrasi yang lebih menekankan pentingnya masyarakat di dalam negara biasa disebut demokrasi sosial. Demokrasi liberal mempunyai prinsip bahwa kebebasan individu harus ditempatkan di atas segala-galanya oleh negara. Berbeda dengan demokrasi sosial yang mempunyai prinsip bahwa masyarakat sebagai kumpulan individu dan keluarga harus lebih diutamakan dan negara harus menjamin dan melindungi hak dan eksistensi masyarakat tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara di dalam Islam, menurut Hofmann, individu dan masyarakat masing-masing memiliki unsur dan potensi yang sama dan sebangun dan tak bisa dinafikan eksistensinya satu sama lain. Individu memberikan dan sekaligus memperoleh pengaruh dari masyarakat. Demikian pula sebaliknya, masyarakat memberikan dan sekaligus memperoleh pengaruh dari individu. Kedaulatan mutlak di dalam negara tidak otomatis berada pada individu dan masyarakat (sovereignty of people), karena masih ada hukum-hukum Tuhan yang lebih tinggi (sovereignty of God). Kedaulatan individu atau masyarakat di dalam negara hanya sejauh yang diizinkan oleh Sang Pemegang Kedaulatan Tertinggi (Tuhan) yang dapat diketahui melalui kitab suci-Nya (Al-Qur'an dan Hadis). Al-Maududi dan sejumlah pemikir Islam lainnya menyebut konsep semacam ini dengan Divine Democracy atau theo-democracy. Yang lebih rumit lagi ialah konsep teokrasi, yang seolah-olah menafikan unsur manusia dan masyarakat di dalam kepemimpinan umat. Mereka berpendapat keseluruhan proses politik kenegaraan itu harus berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis, walaupun di dalam penjabarannya kemudian sesungguhnya tidak lain adalah penafsiran tokoh-tokoh mereka terhadap sejumlah ayat dan hadis. Kelompok inilah yang selalu mengidealisir terwujudnya apa yang disebutnya dengan Negara Islam (Daulah al-Islamiyyah).

Kehadiran umat Islam di AS, sebagaimana halnya umat-umat agama lain, langsung atau tidak langsung, ikut memperkaya konsep demokrasi yang dianut dan yang berkembang di AS. Kita tidak bisa menyebut AS adalah negara demokrasi sejati yang tidak memberikan ruang terhadap nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Piagam pendirian negara AS dan lambang-lambang negara ini selalu akrab dengan nilai-nilai agama, sampai mata uangnya pun mencantumkan: In God We Trust.




(lus/lus)

Hide Ads