Kasus keracunan makan bergizi gratis (MBG) terus terjadi di berbagai wilayah yang menyebabkan kesehatan anak-anak jadi korban. Di Sleman, hanya dalam beberapa minggu terakhir, ratusan siswa diduga keracunan usai menyantap MBG.
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Sri Raharjo, mengatakan, keracunan massal bisa terus terjadi karena akumulasi dari kegagalan sistemik pada berbagai tingkatan. Pemerintah tidak menyentuh akar masalah kebijakan.
"Pemerintah seringkali hanya mengevaluasi hal yang salah pada tingkat operasional (misalnya: cara masak yang salah)," ucapnya kepada detikEdu, Kamis (28/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, program MBG digulirkan secara masif dan cepat. Akibatnya, evaluasi cenderung hanya di beberapa sekolah yang terjangkau dan berapa banyak anak yang mendapatkan makanan.
Pemerintah belum mengevaluasi secara rinci terkait kapasitas kelembagaan, kompetensi SDM, dan sistem kontrol kualitas di setiap titik. Di sisi lain, Masalah kontaminasi bakteri (seperti Bacillus cereus) menunjukkan kegagalan dalam standar penyimpanan bahan mentah, proses pengolahan, dan transportasi makanan jadi.
"Evaluasi sering berhenti pada 'sumber bakteri ada di mana', bukan pada 'mengapa sistem penyimpanan dan pengolahannya bisa sampai memungkinkan kontaminasi terjadi'," ungkap Prof Sri.
Pemerintah Baru Bergerak Setelah Keracunan Terjadi
Prof Sri menilai, selama ini pemerintah pusat berasumsi bahwa semua daerah dan sekolah memiliki kapasitas yang sama untuk menjalankan program MBG ini. Padahal, lanjutnya, program ini sangat kompleks terkait penyediaan makanan massal.
Di lapangan, faktor kompleks ini dipengaruhi oleh kapasitas kepala sekolah, pengawas, pengelola kantin, dan UKS yang beragam. Menurutnya, banyak yang belum siap, sedangkan di sisi lain pemerintah baru bergerak setelah kasus muncul.
"Pemerintah baru bergerak setelah keracunan terjadi. Evaluasi yang dilakukan bersifat fire-fighting, mencari "kambing hitam" (apakah catering-nya, sayurnya, atau nampannya), bukan membangun sistem pencegahan yang mencakup risk assessment dari hulu ke hilir," ujar dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM tersebut.
Ia berpendapat, perlu ada langkah darurat baik untuk jangka pendek maupun panjang, untuk wilayah Sleman dan daerah lain.
1. Audit Mendadak dan Menyeluruh
Dengan melibatkan 'Tim Pencari Fakta; yang terdiri dari ahli gizi, epidemiolog, dan BPOM untuk mengaudit seluruh penyedia MBG (misalnya di Sleman), mulai dari procurement, penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi.
2. Sertifikasi dan Pelatihan Wajib
Seluruh juru masak dan penanggung jawab makanan di sekolah wajib mengikuti pelatihan food safety dan good hygiene practices (GHP) serta mendapatkan sertifikat.
3. Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang Ketat dan Terawasi
Perlunya membuat SOP yang sangat detail untuk setiap tahapan dan awasi pelaksanaannya secara ketat. Misalnya SOP suhu penyimpanan daging, SOP pencucian sayur, SOP waktu dan suhu memasak, SOP transportasi makanan.
4. Sistem Pelaporan Transparan
Perlunya membuat kanal pengaduan dan pelaporan yang mudah diakses orang tua dan guru untuk melaporkan jika melihat pelanggaran atau jika anak menunjukkan gejala keracunan.
Sementara untuk jangka panjang, pusat harus memetakan kapasitas setiap daerah sebelum memaksa implementasi program.
"Daerah dengan kapasitas rendah harus mendapat pendampingan intensif atau model penyaluran yang berbeda (misal: voucher bahan makanan yang ditukar ke pedagang terverifikasi)," papar Prof Sri.
Di sisi lain, BPOM harus membuat standar keamanan pangan khusus untuk program pangan massal seperti MBG dan menjadi lembaga verifikasi independen. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan model yang melibatkan koperasi sekolah atau kelompok ibu-ibu PKK setempat yang terlatih dan terawasi, untuk mempersingkat rantai pasok dan meningkatkan rasa memiliki.
"Program MBG harus jadi bagian dari kurikulum pendidikan, mengajarkan anak tentang gizi dan keamanan pangan," lanjutnya.
Nyawa Anak Dipertaruhkan dengan Program yang Dikelola Secara Amburadul
Dengan banyaknya kasus keracunan MBG, Prof Sri berpendapat bahwa program unggulan dari pemerintah ini belum menemukan sistem yang efektif. Masih terkesan berorientasi proyek.
"Ya, pemerintah terbukti belum memiliki sistem yang efektif. Sistem yang ada masih terburu-buru, berorientasi proyek, dan abai terhadap manajemen risiko," ucapnya.
Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah perlu secara jujur mengakui bahwa ini adalah masalah sistem, bukan sekadar insiden yang terisolir. Tanpa pengakuan ini, perbaikan hanya akan bersifat semantik
Padahal, kasus seperti di Sleman tak main-main. Pada pertengahan Agustus 2025 lalu, hampir 180 anak mengalami gejala keracunan usai menyantap MBG. Kemudian pada beberapa hari lalu, ratusan siswa dan guru di Sleman alami keracunan makanan usai menyantap MBG.
Prof Sri mewanti-wanti pemerintah untuk tidak terburu-buru mengejar target 100 persen sekolah dalam waktu singkat. Pemerintah bisa melakukan percobaan (pilot project) di beberapa daerah dengan kapasitas terbaik, evaluasi, perbaiki, dan baru replikasi ke daerah lain.
"Kualitas dan keamanan harus lebih diutamakan daripada kecepatan dan kuantitas," tuturnya.
"Program MBG memiliki niat yang mulia, namun eksekusi yang ceroboh dan tidak didukung sistem yang matang justru mengubahnya menjadi program yang berisiko tinggi. Kesehatan dan nyawa anak-anak adalah taruhan yang terlalu mahal untuk dikelola dengan cara yang amburadul," pungkasnya.
(faz/pal)