Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas pada 2 Mei, tak sekadar merupakan momen peringatan, melainkan juga kesempatan merefleksikan pendidikan Indonesia. Hardiknas menjadi momen yang penting untuk dijadikan refleksi arah pendidikan Indonesia ke depan.
Seperti menurut pandangan pengamat pendidikan Bukik Setiawan, yang menilai pendidikan Indonesia sekarang ini ibarat menggunakan kompas tanpa arah utara.Dalam perspektif Bukik, kompas tersebut jarumnya terus bergerak, tetapi tidak pernah menunjuk ke utara.
Menurutnya, kompas itu kadang ke kanan, kadang ke belakang, kadang memutar, dan kadang hanya diam pura-pura sibuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang pasti, ia membuat kita tampak seperti bergerak, meski sebenarnya hanya berputar di tempat," ujar Ketua Guru Belajar Foundation itu melalui keterangan yang diterima oleh detikEdu pada Sabtu (3/5/2025).
Pendidikan yang Mengarah ke Kesesuaian Lokal
Bukik menyebut berdasarkan pengalamannya lebih dari sepuluh tahun mendampingi guru dari 150 daerah, pendidikan di Indonesia tidak membutuhkan sistem yang sibuk mengganti istilah, alih-alih mendengarkan pengalaman di lapangan.
Ia menilai sebagian kebijakan dikembalikan ke masa lalu atau ada yang dihentikan. Kendati begitu, menurutnya letak permasalahan ada pada perubahan yang dilakukan tanpa evaluasi jelas dan konsistensi arah, sehingga mengorbankan murid dan guru.
Bukik menegaskan dibutuhkan keberanian untuk menata ulang arah pendidikan Indonesia dan menjadikan evaluasi sebagai alat belajar, bukan alat untuk menakuti. Ia pun menyebut di Indonesia diperlukan pendidikan yang mengarah pada kesesuaian lokal, bukan mengejar perbandingan global.
Ia pun mengatakan guru semestinya menjadi pemimpin belajar, bukan sekadar pelaksana format administrasi.
"Mari kita jujur, mampukah sistem saat ini mampu melahirkan generasi yang utuh secara nilai dan nalar?" ujar Bukik.
Bukik menyorot berbagai situasi nyata saat ini seperti krisis iklim, perubahan pola kerja, hingga kecerdasan buatan. Murid pun butuh kompetensi berpikir kritis, bekerja sama, dan empati yang menurutnya tidak didukung sistem pendidikan saat ini.
Terombang-ambing Kebijakan yang Tak Esensial
Guru SMA Negeri 22 Makassar, Maurensyiah sejalan dengan yang disampaikan Bukik. Sebagai guru, ia mengaku kerap terombang-ambing dengan perubahan kebijakan yang tidak terasa esensial.
"Kita seringkali jadi melupakan esensi dari mendidik, menumbuhkan empati, bernalar kritis, dan peduli pada kebahagiaan murid. Kebijakan seharusnya memberi ruang bagi guru untuk terus mengembangkan kreativitas agar dapat bertumbuh bersama murid," jelas Maurensyiah.
Ia mengajak seluruh guru agar lantang menyuarakan apa yang terpenting dan menolak perintang kosong yang hanya menambah beban administratif.
Ketua Forum Guru Indonesia dan penggerak Komunitas Guru Belajar Nusantara itu mengingatkan agar guru membangun solidaritas dan saling berbagi praktik baik untuk menghadapi berbagai tantangan di kelas. Menurutnya guru tidak harus menunggu kebijakan pusat berubah, tetapi bisa memulai dari hal-hal kecil yang berdampak bagi murid.
"Guru bisa mulai menerapkan hal-hal kecil seperti rajin berefleksi, melakukan penilaian formatif yang sifatnya memberikan umpan balik, mendesain proyek berbasis kearifan lokal, ataupun mengajak diskusi murid tentang isu nyata di sekitarnya," terang Maurensyiah.
Ia yakin aksi atau perubahan sekecil apa pun akan menumbuhkan keberanian. Hal ini juga dapat menginspirasi guru-guru dan menjadi awal perubahan pendidikan jadi lebih baik, katanya.
Maurensyiah berharap Hardiknas tidak sekadar seremoni, melainkan momentum menegaskan arah pendidikan yang dilandasi memanusiakan hubungan, kontekstual, dan memberdayakan guru serta murid.
(nah/faz)