Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memasukkan sastra ke dalam kurikulum SD, SMP, dan SMP mulai ajaran 2024/2025.
Mengenai kebijakan terbaru ini, banyak pakar buka suara. Salah satunya dosen sekaligus Wakil Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair), Dr Listiyono Santoso SS M Hum.
Listiyono berpendapat program sastra masuk kurikulum ini cukup potensial. Menurutnya, kesadaran negara soal pentingnya sastra bagi literasi seharusnya sudah dilakukan sejak dulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ki Hajar Dewantara dari dulu sudah sangat eksplisit menjelaskan bahwa literasi itu salah satunya dikembangkan melalui pelajaran bahasa Indonesia. Tidak hanya sekadar mengenal huruf tapi mendekatkan anak-anak dengan karya sastra," katanya dalam laman Unair, dilansir Sabtu (1/6/2024).
Sastra Masuk Kurikulum Jangan Cuma Slogan
Hal yang disoroti Listiyono adalah peran dari sastra ini yang jangan sekadar slogan. Ia menyebut sekolah perlu mendekatkan siswa dengan buku-buku untuk menumbuhkan imajinasi mereka.
"Mereka selalu membuat slogan kota literasi, sadar literasi, pojok kampung baca, itu semua hanya slogan. Slogan tidak pernah memberikan efek apapun terhadap literasi anak-anak," ujarnya.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan menurut Listiyono adalah bobot karya. Masing-masing jenjang sekolah harus mendapatkan bobot karya yang sesuai.
"Bukan buku-buku ilmiah yang strukturalis, dekatkan anak-anak dengan buku cerita mereka sehari-hari melalui karya sastra. Dalam setiap level SD, SMP, SMA harus ada bobot karya sastra yang terpilih sehingga mereka memahami sebuah konflik," katanya.
Teknologi Bisa Digunakan untuk Mengenalkan Sastra
Di tengah siswa masa kini sudah amat dekat dengan teknologi, menurut Listiyono momen tersebut adalah kesempatan mengenalkan sastra. Pengenalan sastra tak sekadar lewat buku tetapi juga bisa lewat teknologi.
"Generasi sekarang punya era sendiri, punya zamannya sendiri. Sehingga, perlu pendekatan-pendekatan teknologi agar anak-anak itu dengan teknologi mereka bisa mencintai sastra," terangnya.
Listiyono cukup optimis terhadap program ini, selama bisa dijalankan berdasarkan komitmen, disiplin, serta konsistensi.
"Jika program ini memiliki ketiga hal itu saya optimis. Sekarang wacana ini sudah dibangun oleh negara. Maka, teman-teman yang bergulat di dunia kesusastraan ayo kita respons," tuturnya.
Ia berharap program ini akan menumbuhkan kecintaan anak-anak terhadap sastra. Menurutnya, mempelajari sastra bukan hanya membaca karya tapi juga belajar menulis dan belajar kehidupan sehari-hari.
"Mereka akan membiasakan diri dengan setiap hari membaca karya-karya sastra mengenai kehidupan sehari-hari. Sehingga, belajar sastra sebenarnya tidak hanya belajar membaca, menulis, tapi juga belajar kehidupan sehari-hari," ungkapnya.
(cyu/cyu)