Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan sekolah bertanggung jawab dalam mendidik karakter anak dan bertanggung jawab atas terjadinya kasus bullying di sekolah, sekalipun terjadi di luar sekolah.
Ia menjelaskan, membangun karakter menurut Ki Hajar Dewantara dimulai dari rumah dengan pendidikan keluarga, sekolah, dan pendidikan di masyarakat. Dengan begitu, perilaku anak-anak juga bagian dari tanggung jawab sekolah dan orang tua.
"Kalau membangun karakter anak, kok bisa anak-anak melakukan kekerasan sesadis itu? Disiksa, dibakar, disundut rokok, lalu ditelanjangi. Itu kan sadis. Kok anak-anak bisa melakukan itu bagaimana, sekolah ngedidik karakter nggak? Jangan cuma ngasih ilmu, tapi tidak ada proses membangun karakter," kata Retno pada detikEdu, Rabu (21/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau cuma ngasih ilmu, itu bisa dilakukan siapapun. Tapi lembaga pendidikan itu membangun karakter. Menurut saya seperti itu," sambungnya.
Sekolah dan Guru Tidak Bisa Lepas Tangan atas Kekerasan pada Siswa
Retno mengatakan, sekolah juga bisa dikenakan hukuman jika lalai dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan berdasarkan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023. Sekolah dan guru tidak dapat lepas tangan jika anak mendapat kekerasan di luar sekolah dan berhak melindunginya. Saat melihat lebam seorang siswa karena kekerasan di rumah atau luar sekolah, guru wajib melaporkan dan tidak boleh membiarkannya.
Pada kasus Binus School Serpong, Retno mempertanyakan bagaimana sekolah dan orang tua memungkinkan geng tersebut berlangsung selama 9 tahun.
"Lalu ketika sekolah tidak berdaya membiarkan dan mengendus, berarti ada faktor orang dewasa kan? Tidak mampu, orang tua juga tidak mampu, kenapa yang dihukum anak-anak dengan mengeluarkan anak-anak itu dari sekolah? Kesalahannya tidak berasal dari anak sendiri, tapi ada sistem," tegasnya.
"Bagaimana potret guru, sekolah, dan kita semua di media sosial seolah-olah membenarkan tindakan sekolah. Padahal sekolah tidak mampu menangani 9 tahun, meledak seperti ini. Lalu anak-anak ini yang dikorbankan hak atas pendidikannya, stigmanya. Selama penanganannya seperti begini modelnya, tidak akan pernah berhenti perundungan itu. Kan akar masalahnya nggak diselesaikan," tuturnya. "Sekolahnya langsung ngeluarin anak, itu saya duga kuat bahwa arogansinya juga kuat."
Ia menjelaskan, kesalahan sistem tersebut kini berdampak pada siswa yang dikeluarkan mendapat stigma.
"Gimana masa depan dia? Ini anak. Saya melihatnya, orang dewasa sering melemparkan ketidakmampuan dan kesalahan mereka kepada anak-anak. Yang harus berbuat untuk melindungi anak-anak pun, mereka nggak merasa punya kepentingan melindungi anak-anak. Padahal bayar mahal banget waktu sekolah. Penting menurut saya untuk dipahami bahwa di Permendikbud 46 ini sekolah bisa kena hukuman ketika dia lalai. Jadi kenapa jadi tiba-tiba anak-anak yang dihukum?" ucapnya.
(twu/nwk)