5 Tantangan Literasi buat Siswa Indonesia, Begini Studinya

ADVERTISEMENT

5 Tantangan Literasi buat Siswa Indonesia, Begini Studinya

Trisna Wuylandari - detikEdu
Selasa, 05 Des 2023 19:30 WIB
Tanoto
Siswa tidak menganggap baca buku menyenangkan. Begini tantangan peningkatan literasi buat siswa Indonesia dari studi terbaru. Foto: Trisna Wulandari/detikEdu
Jakarta -

Siswa tidak menganggap baca buku menyenangkan. Salah satunya karena setelah membaca, guru menanyai pemahamannya akan bacaan dan memberikan tugas.

Salah satu temuan studi literasi tersebut disampaikan Golda Eva Simatupang, MPd, School Improvement Program Lead Tanoto Foundation di Forum Diskusi Peningkatan Kualitas Pendidikan Dasar yang digelar Tanoto Foundation bersama The Smeru Research Institute di Gedung A Kemendikbudristek Jakarta, Selasa (5/12/2023).

"Membaca itu dianggap identik dengan penugasan. Secara tidak sadar, meskipun memberikan buku bacaan yang menyenangkan, seusai perkembangan anak, seringkali diikuti dengan tugas atau menanyakan pemahaman dia seperti apa," kata Golda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi kalau kita kasih buku ke anak, dia akan berpikir, setelah ini aku akan ditanya. Jadi dia berpikir, setelah itu kalau membaca itu setelahnya dikasih tugas," sambungnya.

Studi literasi di 12 sekolah di wilayah dampingan Tanoto Foundation di Jambi, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur ini juga menemukan beragam pandangan siswa, kondisi fasilitas sekolah, dan pandangan orang tua yang jadi tantangan peningkatan literasi anak-anak di berbagai daerah. Apa saja?

ADVERTISEMENT

Tantangan Literasi Siswa

Golda menjelaskan, studi literasi ini menggunakan Rapor Pendidikan untuk memilih satuan pendidikan dengan literasi tinggi dan literasi rendah. Sekolah dengan literasi rendah dalam hal ini merupakan sekolah dengan nilai literasi yang menurun atau tidak mengalami perubahan.

Sedangkan sekolah dengan literasi tinggi dalam konteks ini yaitu sekolah dengan peningkatan persentase literasi tinggi atau dapat mempertahankan nilai literasinya, yang besar dari 80 persen.

"Ada juga yang stagnan tinggi, 2 tahun tinggi terus, kita menduga ada perubahan atau program yang dilakukan kontinu sehingga bisa punya performa literasi tinggi," kata Golda.

"Tiga provinsi tersebut mewakili konteks tantangan literasi di Indonesia. Sederhananya terbagi dua, yakni literasi rendah dan literasi tinggi. Literasi rendah ditandai dengan akses sulit dan kualitas rendah dengan sumber daya lebih sedikit. Sedangkan sumber daya lebih baik dan perpustakaan lebih terjangkau," sambungnya.

Berikut temuan studi soal tantangan peningkatan literasi siswa:

Siswa: Membaca Tidak Menyenangkan

Di samping merasa membaca adalah tugas, siswa rupanya juga menilai membaca identik dengan mata pelajaran yang banyak bacaan panjang. Sedangkan siswa merasa malas membaca buku teks.

Khusus sekolah dengan literasi rendah, membaca terasa berat karena siswa sendiri pada dasarnya kesulitan memahami bacaan. Sedangkan jika ingin membaca di rumah, tidak ada buku bacaan yang sesuai untuk anak di rumahnya.

Di SMP, siswa mengatakan dianggap main-main jika membaca dari media lain gawai. Sedangkan siswa saat ini sudah banyak terpapar internet.

Studi awal pada siswa ini menurut Golda adalah gejala atas instruksi guru di dalam kelas, dukungan fasilitas, dan dukungan orang tua.

"Pernyataan-pernyataan ini adalah symptom, sehingga kami coba melihat lebih jauh tiga hal teratas. Yang pertama bicara soal instruksional guru dan anak di dalam kelas. Hal kedua adalah learning environment, daya dukung lingkungan pada anak, termasuk fasilitas yang mendukung literasi," jelasnya.

"Hal ketiga adalah bagaimana peningkatan literasi secara kontinu dilakukan. Tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah. Untuk itu kita melihat bagaimana peranan orang tua mendukung performa literasi anak," sambung Golda.

Guru di Kelas

Pernyataan siswa dan hasil observasi menunjukkan, praktik literasi yang pernah ada tidak konsisten. Contohnya, pojok literasi di sekolah.

Golda mengatakan, guru juga memberikan tugas tetapi kurang memberi feedback untuk memastikan pemahaman siswa. Sedangkan umpan balik adalah instrumen untuk memastikan instruksi yang diberikan guru sudah jelas untuk anak dalam scaffolding, mengembangkan daya nalar.

"Itulah yang seringkali tidak terjadi dalam pemberian instruksi di kelas," tuturnya.

Pengotak-ngotakan tugas literasi di kelas juga ditemukan sebagai salah satu masalah pengembangan literasi siswa. Golda mencontohkan, ada anggapan bahwa literasi adalah tugas guru bahasa Indonesia. Atau, jika anak tidak berhasil di kelas tertentu, maka yang salah adalah guru di kelas sebelumnya.

Ia menambahkan, fleksibilitas Kurikulum Merdeka untuk penyesuaian kebutuhan siswa di kelas juga dianggap rumit oleh sebagian guru. Dari situ, muncul kecenderungan meminta panduan yang sudah jadi, yang belum tentu cocok dengan kebutuhan siswa tertentu. Akibatnya, muncul kesulitan untuk menyediakan pembelajaran yang sesuai kebutuhan anak.

"Dari 12 sekolah yang kami dalami praktik literasinya, kebanyakan sekolah-sekolah yang kami dalami adalah sekolah yang memiliki literasi rendah. Jadi bisa dibayangkan, dalam proses belajar, ada sekelompok anak yang kesulitan belajar tapi tidak diberikan pembelajaran berdiferensiasi oleh gurunya," jelasnya.

"Ada sebagian anak yang bertumbuh dengan pesat, ada sebagian anak yang tertinggal," sambungnya.

Perpus Ada, tapi..

Perpustakaan yang tidak selalu mudah diakses juga ditemukan jadi masalah peningkatan literasi. Terlebih, pojok baca di kelas juga tidak punya bacaan yang sesuai buat anak bersangkutan. Masalahnya juga mencakup variasi bacaan terbatas dan jarang diperbaharui.

"Di sekolah dengan literasi rendah, kalau ada perpustakaannya, itu tidak terlalu nyaman: bagaimana duduknya, bukunya, tidak terlalu menyenangkan buat anak-anak," terang Golda.

"Ada juga kami temui, sekolah dengan literasi tinggi, sistemnya kurang nyaman. Jadi menerapkan kartu masuk. Yang ketinggalan, nggak bisa masuk. Ini juga membuat anak enggan baca," sambungnya.

Internet Tidak Dianggap Bantu Literasi

Peneliti mendapati, akses internet dianggap tidak dapat membantu program literasi.

"Ketika bicara media digital, anak pegang gadget itu selalu memberi kesan bahwa anak sedang tidak berliterasi," tuturnya.

Dukung Literasi: Beban Orang Tua?

Studi juga menunjukkan bahwa komunikasi sulit antara orang tua dan sekolah jadi masalah untuk meningkatkan literasi anak. Pada siswa dengan literasi tinggi, orang tua sibuk bekerja, sedangkan orang tua siswa literasi rendah terkendala sinyal dan tidak semuanya punya ponsel.

"Di student high (literacy), lebih banyak pada kalau dikasih PR, orang tua tambah repot. Mamanya pulang dari kantor, sampai rumah ngajarin anak lagi," jelasnya.

Di siswa dengan literasi rendah, sejumlah orang tua tidak terlalu termotivasi untuk mendukung peningkatan literasi anak-anak karena dianggap pada akhirnya akan bekerja jadi petani. Latar pendidikan rendah dan tidak akrab dengan kurikulum sendiri di sisi lain menurut orang tua jadi keterbatasannya sendiri.

"Di sekolah literasi rendah, sekelompok orang tua mengatakan 'menyekolahkan anak sebenarnya hanya menunda untuk jadi petani. Lulus SD jadi petani, lulus SMA juga jadi petani.' Jadi itu menunda saja, nggak terlalu mendukung anak sekolah," tuturnya.

Studi juga mendapati hukuman karena tidak mengerjakan PR bagi siswa dengan literasi rendah mendapat reaksi negatif orang tuanya. Sebab, hal ini dinilai membuat anak tidak mau sekolah.

"Lalu dengan latar belakang pendidikan rendah, memberi kesan bahwa orang tua tidak melihat manfaat pendidikan, dengan 'ah saya tidak sekolah juga bisa kayak begini'. Itu disampaikan dan diteruskan ke anaknya," imbuh Golda.

Faktor Sekolah Literasi Tinggi

Peneliti mendapati, sekolah yang menggunakan Kurikulum Merdeka, menggunakan teknologi dalam pembelajaran, membuat instruksi literasi yang aktif dan kreatif menunjang daya nalar, dan menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan tiap anak merupakan sekolah dengan literasi tinggi, begitu pula sebaliknya.

"Ini mungkin memberikan aspirasi, menginspirasi pada peneliti, temen-temen yang bergerak di bidang pendidikan, sebagai faktor yang akan mendukung Bapak-Ibu untuk berkontribusi pada pendidikan di Indonesia," tutur Golda.

Berikut sejumlah praktik pengembangan literasi yang dapat dilakukan:

Mengembangkan minat dan kebiasaan membaca:

- Pojok baca di sekolah

- Library visit

- Rewards

- Interaksi dengan orang tua

- Integrasi media digital

Membaca:

- Jadwal membaca reguler

- Belajar interaktif

- Interaksi dengan orang tua

- Integrasi media digital

Membaca dengan pemahaman:

- Pendekatan terpersonalisasi untuk tiap siswa (pembelajaran berdiferensiasi)

Golda menekankan, saat ini masih banyak praktik pengembangan literasi siswa di tahap mengembangkan minat dan kebiasaan membaca. Untuk itu, butuh pergeseran ke membaca dengan pemahaman. Caranya yakni dengan mengembangkan instruksi literasi di dalam kelas.

"Level tiga dan empat dalam Rapor Pendidikan yaitu membaca dengan pemahaman, punya daya nalar, dan growth mindset," tuturnya.

Ia mencontohkan, salah seorang guru di sekolah pengamatan memberikan novel ke siswa, lalu diajak berdiskusi. Anak dengan pemahaman lebih rendah dan lebih tinggi diberi pertanyaan berbeda.

"Lalu berdiskusi, bermain peran, dan sebagainya. Itulah salah satu contoh bagaimana creative instructional literacy diterapkan guru-guru untuk menerapkan comprehension reading. Praktik ini masih sangat minim di lapangan," pungkasnya.




(twu/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads