Ramai Seragam Sekolah yang Mahal, P2G: Tidak Meningkatkan Mutu Pendidikan

ADVERTISEMENT

Ramai Seragam Sekolah yang Mahal, P2G: Tidak Meningkatkan Mutu Pendidikan

Fahri Zulfikar - detikEdu
Kamis, 27 Jul 2023 18:00 WIB
Cover aturan seragam sekolah siswa SD-SMA
Foto: Tim Infografis (Fauzan Kamil)
Jakarta -

Belum lama ini praktik jual beli seragam sekolah yang mahal telah ramai diperbincangkan. Di Tulungagung ditemukan sekolah yang menjual Rp 2,3 juta untuk paket seragam lengkap.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sangat menyesalkan praktik jual beli seragam sekolah yang sangat mahal ini karena membebani orang tua siswa.

Memandang banyaknya jenis seragam dan biaya yang tinggi terhadap pembelian seragam, P2G meminta agar Kemdikbudristek meninjau ulang Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Siswa Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Fakta tersebut menunjukkan betapa banyaknya seragam yang dipakai siswa. Dan pembelian seragam sebanyak itu jelas membebani orang tua. Belum lagi baju kegiatan ekstrakurikuler lain," kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, melalui rilis pers yang diterima detikEdu, Kamis (27/7/2023).

Fakta tersebut juga membuktikan pendidikan nasional Indonesia masih membebani orang tua siswa karena berbiaya mahal.

ADVERTISEMENT

Selain seragam sekolah, orang tua harus memenuhi kebutuhan sekolah lainnya yaitu sepatu, atribut sekolah lain, tas, dan buku. Semuanya harus dipenuhi ditambah uang pangkal dan SPP khusus sekolah swasta.


Kritik dan Evaluasi dari P2G

Merespon situasi ini, P2G memberi lima poin kritik dan evaluasi, antara lain:

1. Tidak Berkorelasi dengan Mutu Pendidikan

P2G menemukan di masyarakat bahwa jenis seragam sekolah memang sangat beragam. Dalam observasi P2G di lapangan, para siswa minimal memiliki 5 jenis seragam sekolah yang berbeda yakni:

- Seragam putih abu-abu (SMA/SMK) dan warna lain sesuai jenjang SD dan SMP

- Seragam olahraga

- Seragam Pramuka

- Seragam Jumat bagi yang muslim

- Seragam khas daerah atau sekolah seperti batik. Lima jenis seragam sekolah tersebut ada di semua jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK.

Iman mengingatkan bahwa kebijakan yang melahirkan pemakaian seragam yang begitu banyak, tidak berkorelasi dengan mutu pendidikan.

"Silakan cek, apa korelasi seragam sekolah yang banyak dengan peningkatan mutu pendidikan? Jangan sampai kita terlalu sibuk mengatur seragam anak, lantas mengorbankan waktu dan tenaga untuk meningkatkan kualitas pendidikan," ungkap Iman .

2. Biaya Seragam Masuk Skema BOS

Menurut P2G, biaya seragam yang banyak sudah seharusnya masuk dalam skema pembiayaan BOS dari pusat atau BOS Daerah.

Maka aturan BOS/BOS Daerah mesti diperluas untuk seragam. Juga bisa dengan skema lain yang dikembangkan oleb Pemda, seperti KJP Plus bagi siswa dari ekonomi tidak mampu di Jakarta.

Hal ini perlu diterapkan agar anak dari keluarga tidak mampu betul-betul mendapatkan afirmasi dan perlakuan yang adil dari negara.

3. Larangan Praktik Jual Beli Seragam di Sekolah

Praktik jual beli seragam dan atribut sekolah lain selalu terjadi karena tingginya "demand" atau permintaan dari orang tua.

Pihak sekolah melihat ada peluang bisnis sehingga "demand and supply" terjadi. Padahal praktik jual beli seragam di sekolah dilarang berdasarkan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022, khususnya pasal 13, yang berbunyi:

"Dalam pengadaan pakaian seragam Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orang tua atau wali Peserta Didik untuk membeli pakaian seragam Sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan/atau penerimaan Peserta Didik baru."

4. Catatan Penting untuk Komite Sekolah

Komite Sekolah sebagai wadah orang tua siswa, baik individu atau kolektif juga dilarang jual beli seragam di sekolah menurut Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, di pasal 12 berbunyi:

"Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang: (a) menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah; (b) melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya."

Menurut Anggi Afriansyah, Dewan Pakar P2G, ini berarti baik guru atau orang tua dilarang melakukan praktik bisnis jual beli tersebut.

5. Desakan untuk Mendisiplinkan Sekolah

P2G mendesak Dinas Pendidikan menyisir sekolah yang melakukan praktik terlarang itu. Sebab sudah bukan rahasia lagi fakta demikian berlangsung di sekolah negeri sejak lama.

"Mengapa praktik itu masih terjadi? Karena tidak adanya pengawasan dan sanksi tegas dari Dinas Pendidikan atau kepala daerah," ucap Anggi.

Bagi P2G, seharusnya keberadaan pengawas sekolah berperan penting mencegahnya terulang. Tapi pengawas membiarkan dan menganggap normal.

Faktor monitoring yang hanya administratif juga menjadi penyebab, sehingga tidak ada pencegahan atau penindakan praktik jual beli seragam dari pengawas.

Untung saja orang tua berani bicara mengangkat fakta tersebut di media sosial. P2G meminta orang tua dan siswa, jangan takut menyuarakan jika terjadi penyimpangan aturan di sekolah.

P2G Minta Dinas Pendidikan Memaksimalkan Pengawasan

P2G meminta semua dinas pendidikan merevitalisasi peran pengawas, agar bekerja profesional, objektif, transparan, dan tegas sesuai hukum yang berlaku.

"Pengawas jangan bertindak formalitas dan seremonial saja dalam memantau, mendampingi, memonitoring, dan mengevaluasi sekolah," tutur Anggi.

P2G juga mendorong dinas pendidikan bersikap tegas memberi sanksi sesuai aturan kepada oknum guru, kepala sekolah, pengawas yang terindikasi kuat melakukan praktik jual beli seragam atau yang membiarkannya.




(faz/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads