Siswa SD dan SMP di Kota Surabaya dikabarkan akan dibebaskan dari PR (pekerjaan rumah). Kebijakan bebas PR ini ditujukan untuk mengurangi beban tugas kepada siswa.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Yusuf Masruh membenarkan hal ini sehingga waktu belajar peserta didik SD dan SMP hanya di sekolah. Dia mengatakan, hal ini dilakukan supaya anak tidak terbebani di rumah.
"Kalau orang tua tidak bisa mendampingi kan repot," jelas Yusuf (20/10/2022), dikutip dari detikJatim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yusuf memaparkan, dengan adanya penghapusan PR ini, peserta didik SD dan SMP bisa memanfaatkan waktunya untuk aktivitas lain. Contohnya, membantu orang tua sampai mengaji di taman pendidikan Al Quran (TPA).
"Di rumah misalnya, membantu orang tua, bersih-bersih, itu kan pembentukan karakter juga," lanjutnya.
Sementara, para siswa di sekolah tidak cuma akan belajar akademik, melainkan juga mendapatkan pembentukan karakter. Sebagai contoh, siswa akan belajar menyelesaikan masalah dengan teman sebayanya.
"Selain pembentukan karakter, ada edukatif pengayaan pembelajaran, penyelesaian permasalahan antar temannya dibantu teman-teman guru," ujar Yusuf.
Dia menambahkan, jam belajar sekolah para siswa juga akan sampai jam 12.00 WIB saja. Namun, jam belajar sekolah tetap akan disesuaikan dengan situasi sekolah masing-masing.
"Sampai jam 12 siang itu pembentukan pendidikan karakter, sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing," ucapnya.
Ada Orang Tua yang Setuju dan Tidak Setuju
Respons orang tua terkait bebas PR ini cukup beragam. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju.
Salah satu orang tua yang tidak sependapat adalah Anggraini, ibu dari peserta didik SDN Manukan Kulon kelas 6. Dia tidak setuju karena waktu anak jadi lebih banyak di rumah dan berpendapat bahwa mereka akan lebih banyak bermain daripada belajar.
"Tidak setuju, karena tidak full day. Anak-anak SD butuh PR biar belajar di rumah karena ada banyak waktu. Bisa mengulang pelajaran yang didapat di sekolah, waktunya juga lebih banyak di rumah," papar Anggraini.
Nana (45), warga Jalan Bung Tomo, Ngagel juga tidak setuju. Menurutnya PR bisa menstimulasi otak anak untuk berpikir, dengan catatan PR yang diberikan tidak berat. Dia menyebutkan, jika anak sudah memegang gawai (gadget) di rumah, maka akan susah untuk lepas.
Lebih lanjut, Nana membandingkan orang tua yang mampu dan pas-pasan. Anak yang orang tuanya mampu bisa les ke sana ke mari, sedangkan yang tidak, maka anaknya akan di rumah saja sepulang sekolah.
"Akhirnya uring-uringan (para orangtua). Iya kalau punya uang disibukkan dengan les sana-sini. Nah, kalau yang pas-pasan, ya, anaknya di rumah saja. Pulang sekolah ya main bersama teman dan nge-game. Nanti salah pergaulan lagi, ngenes lagi orang tuanya. Saya nggak setuju," pungkasnya.
Pendapat berbeda diutarakan oleh Catur Irawan, warga Banyu Urip. Bapak dari siswa SMP Muhammadiyah 5 Pucang ini setuju dengan kebijakan bebas PR yang dikeluarkan Pemkot Surabaya. Menurutnya, waktu anak lebih banyak di sekolah dari pagi sampai sore.
"Setuju, karena full day terus dikasih PR, istirahatnya kapan? Buat dia, santai nggak ada. Jadi tugas diselesaikan di sekolah. PR terus setiap hari (diberikan)," ungkapnya.
Senada dengan Catur, Desi yang merupakan warga Manukan juga setuju dengan program bebas PR untuk siswa SD dan SMP. Orang tua salah satu siswa SMPN 3 kelas 9 itu sepakat, terlebih jika digantikan dengan pendidikan karakter.
Desi menuturkan, jika dikasih PR, maka waktu anaknya akan tersita lagi. Sementara, dia mengharapkan ada waktu istirahat bagi anaknya di rumah.
"Setuju untuk pendidikan karakter, karena anak saya full day, pulangnya jam 15.00 WIB. Pendidikan karakter perlu sekali. Kalau dikasih PR itu waktunya tersita lagi, biar ada istirahatnya di rumah. Kemarin nggak ada PR," urainya.
Begitu pun Dadang, warga Medokan Ayu yang anaknya sekolah di SD Muhammadiyah 27 kelas 4. Dia berharap bebas PR membuat anaknya lebih rileks.
"Setuju, kalau yang sekolah full day. Tapi kalau nggak full day dikasih PR nggak papa. Karena kasihan pulangnya sore," kata dia.
(nah/twu)