Penerapan Kurikulum Merdeka di sekolah yang diluncurkan pada 2022 tak lepas dari berbagai tantangan. Salah satunya adalah kesiapan mindset para pendidik.
Tantangan tersebut diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (Dirjen Vokasi) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Wikan Sakarinto.
"Mindset guru dan kepala SMK, mindset dosen-dosen vokasi dan direktur politeknik, itu tantangan terbesar. Tantangan terbesar," tegas Wikan saat mengisi acara Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch IV daring yang diselenggarakan oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan berkolaborasi dengan PT Paragon Technology and Innovation, Senin (28/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wikan menjelaskan, kurikulum yang diterapkan Indonesia di era 70-an hingga kini mengadopsi sistem Jerman. Sementara, negara tersebut sudah berubah pesat dan Indonesia masih menggunakan pola yang sama. Inilah yang kemudian menjadi tantangan para pendidik.
Dalam kurikulum baru atau yang dikenal dengan Kurikulum Merdeka, fungsi guru juga sudah berubah. Dari yang semula mengajar dengan pendekatan yang diseragamkan atau satu ukuran untuk semua (one size fits all), menjadi seseorang yang mampu menciptakan siswa sebagai pembelajar mandiri sepanjang hayat.
Dalam hal ini, guru harus menjadi mentor, fasilitator, atau coach dalam kegiatan belajar yang berbasis proyek (project based learning) secara aktif.
"Konsep guru masa depan itu atau yang mulai sudah kita lakukan di masa kini ya, guru itu berubah menjadi seseorang yang mampu membuat anak itu mampu untuk mengisi dirinya sendiri dengan hal-hal yang baik sesuai dengan passion, minat, bakat, dan menjadi pembelajar mandiri sepanjang hayat," papar Wikan.
Upaya yang dilakukan Kemendikbudristek untuk mengubah mindset tenaga pendidik tersebut adalah melalui pelatihan. Bahkan, meski tidak disebutkan secara pasti, jumlah anggaran untuk pelatihan mencapai ratusan miliar rupiah.
"Kami menganggarkan ratusan miliar itu untuk training guru dan dosen. Terutama training mindset. Link and match," ujarnya.
Adapun, pelatihan yang dilakukan tidak sekadar berbasis pada teori, melainkan berbasis proyek dan kompetensi pedagogik.
"Pelatihan guru itu tidak lagi theory based, tapi lebih pada practical based, pada project based learning, kemudian unsur pedagogi," ucapnya.
Kurikulum Merdeka seperti dijelaskan Wikan, pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru. Melainkan masih berpegang pada filosofi yang sama dengan kurikulum sebelumnya.
"Brand new itu nggak juga. Karena Kurikulum Merdeka ini sebenarnya tujuannya, filosofinya sama dengan kurikulum-kurikulum kita yang lama. Yaitu ingin menciptakan lulusan yang kompeten, unggul, berkarakter, berdaya saing tinggi, sama tujuannya sama. Cuma caranya ada modifikasinya," jelas Wikan.
(kri/nwy)