Peresmian Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (UI) tuai sorotan. Peresmian ini dilakukan pada Rabu (22/10/2025) di Balai Sidang, Kampus UI Depok.
Mantan Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) UI, Dr dr Tri Edhi Budhi Soesilo, MSc, menyayangkan proses pembentukan sekolah baru yang dinilai minim dialog akademik dan dilakukan di tengah ketiadaan regulasi resmi terkait restrukturisasi unit akademik.
Ini yang Disayangkan..
Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan merupakan hasil penggabungan dua unit yakni Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) dan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI. Budhi menilai proses itu tidak melibatkan pihak-pihak terkait secara terbuka dan transparan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya prihatin dan sedih, SIL UI hanya berumur 9 tahun. Sekarang dibubarkan untuk menjadi sekolah baru. Yang saya sayangkan, tradisi ilmiah dan tradisi akademik tidak dijalankan, terutama dalam mengajak dialog para pemangku kepentingan di SIL maupun SKSG," ujar Budhi saat berbincang dengan detikcom.
Dia menegaskan SIL memiliki komite sekolah, dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, hingga alumni yang seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Namun menurutnya, tak satu pun dari mereka diajak berdiskusi terlebih dahulu.
"Itu kekurangannya. Komite, dosen, mahasiswa, tendik, alumni tidak pernah diajak dialog," dia menambahkan.
Selain itu, dia mengkritik, penggabungan itu dilakukan tanpa dasar hukum yang memadai. Budhi mengatakan hingga kini UI belum memiliki aturan yang jelas tentang penggabungan atau pembubaran program studi, fakultas, atau sekolah.
"UI menurut Senat Akademik belum punya aturan penggabungan prodi, fakultas, atau sekolah. Kalau memang ada penggabungan, ya harus dibubarkan dulu. Tapi pembubarannya ini tanpa dasar, sehingga kesannya seolah-olah SIL melakukan kesalahan fatal," ujarnya.
Budhi juga menyatakan surat pembubaran SIL itu belum pernah diterimanya. Dia berjanji untuk menelusuri surat keputusan pembubaran SIL, yang menurutnya dilakukan secara sepihak dan mencederai semangat kebersamaan dalam dunia akademik.
"Saya merasa kami ditinggalkan. Tradisi dialog yang seharusnya dijunjung tinggi dalam komunitas akademik tidak dijalankan. Bukan hanya saya, tapi seluruh komunitas SIL dan SKSG tidak pernah diajak bicara," katanya.
"Tidak mengejutkan juga kalau mahasiswa heran semua, tiba-tiba ada sekolah baru," dia menambahkan.
Bukan Sekadar Menggabungkan Dua Unit dengan Tali Rafia
Budhi mengungkapkan meskipun secara pribadi tidak sepakat dengan penggabungan tersebut, dia tetap berencana hadir dalam peresmian sekolah baru sebagai bentuk penghormatan dan tata krama sebagai orang Timur. Kehadirannya juga didorong oleh keinginan untuk mengetahui apakah UI menyediakan masa transisi bagi sivitas akademika SIL yang masih aktif.
"Saya akan hadir untuk menghormati pengundang, meskipun tidak sepakat. Saya justru ingin tahu apakah ada masa transisi. Buat mahasiswa yang terikat kontrak dengan pihak lain, pemberi beasiswa misalnya itu tidak bisa serta-merta mengubah nama sekolahnya. Secara administratif bisa menyalahi aturan. Minimal, harusnya ada masa transisi sampai semua mahasiswa SIL lulus, dan baru setelah itu struktur baru diberlakukan," kata Budhi.
Dia menekankan penggabungan dua sekolah itu bukan perkara kecil. Menurutnya, harus ada pertimbangan hukum dan akademik yang matang, termasuk mempertimbangkan dampak terhadap mahasiswa, dosen, dan sistem administrasi yang sudah berjalan.
"Ini bukan menggabung-gabungkan dua benda dengan tali rafia. SIL punya banyak hal yang sudah dibangun, mulai sistem akreditasi yang sudah unggul, program beasiswa, forum-forum ilmiah seperti Rabuan, dan badan-badan internal seperti BP4RTD. Kalau semua itu berubah, belum tentu perubahan itu menguntungkan," ujarnya.
Mengabaikan Warisan Emil Salim, Berpotensi Jadi Bumerang
Budhi juga menyampaikan keprihatinannya atas hilangnya SIL yang menurutnya merupakan bagian dari legacy Prof Emil Salim, pendiri Program Studi Ilmu Lingkungan di UI yang juga mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan serta pendiri Kehati.
"SIL ini legasinya Pak Emil. Saya sedih dan prihatin, karena SIL hanya sempat berdiri sembilan tahun. Sebelumnya, kami berada di bawah Program Pascasarjana sebagai PSIL, lalu resmi berdiri sebagai sekolah setara fakultas pada 1 Juli 2016. Sekarang, namanya bahkan tidak eksis lagi," kata dia.
Senada, Prof Raldi Hendro Koestoer PhD, dosen Hukum Etika Lingkungan SIL UI, turut menyuarakan kekhawatirannya terkait penggabungan SIL dengan SKSG. Dia menilai proses itu berisiko mengabaikan warisan besar yang telah dibangun oleh Prof Emil Salim dan akan berpotensi menjadi boomerang bagi UI di masa depan.
"Legacy Prof. Emil Salim adalah SIL UI. Jenis pengabaian seperti ini tentu akan menjadi bumerang di kemudian hari," kata Raldi.
Raldi menjelaskan bahwa SIL telah membangun reputasi yang solid di bidang ilmu lingkungan. Dia khawatir penggabungan itu menyebabkan SIL kehilangan identitasnya, yang kemudian bisa menyulitkan untuk menarik minat dan dukungan dari luar.
"SIL yang sudah outstanding, akan sulit mencari 'pasar' kecuali direktur SIL nantinya mampu mendapatkan dana besar untuk promosi, beasiswa, dan sebagainya. Yang sanggup mencari pasar itu adalah mereka yang punya akses kuat dan dana besar," dia menambahkan.
"Secara pribadi, saya tetap buka akses bagi peminat di bidang ilmu lingkungan ke sana. Tanpa bantuan dari internal, karena saya dan Prof ES selalu bekerja bersama-sama, hand in hand, membangun SIL," ujarnya.
Raldi mengingatkan bahwa tradisi akademik yang melibatkan dialog dan keterlibatan aktif semua pihak yang terlibat harus tetap dijaga. SIL, sebagai unit yang berfokus pada ilmu lingkungan, memiliki peran penting dalam mengedukasi generasi masa depan yang siap menghadapi tantangan perubahan iklim dan keberlanjutan, dan itu harus dipertahankan tanpa terganggu oleh perubahan struktural yang tergesa-gesa.
Respons Mahasiswa SIL UI
Sejumlah mahasiswa juga terkejut dengan pengumuman peresmian sekolah pascasarjana baru itu. Sebagian menyebut sudah mengetahui rencana penggabungan sekolah itu melalui informasi dalam forum formal. Sebagian lain belum mengetahuinya. Apalagi, tiba-tiba diumumkan untuk peluncuran sekolah itu, terlebih melalui Instagram.
"Aku menyayangkan kalau himpunan mahasiswa nggak diajak diskusi sama pimpinan soal merger ini. Maksudnya, mahasiswa juga rasanya penting menunjukkan sikap dan pandangannya," kata Danu, salah satu mahasiswa SIL UI.
"Saya juga mempertanyakan dampaknya langsung kepada mahasiswa, bagaimana dengan akreditasi sekolah ini? Apa akan ada reakreditasi atau bagaimana? Kemudian, secara administrasi seperti apa?" ujar Danu.
Selain itu, Dwi, mahasiswa Magister SIL UI lainnya, mempertanyakan keterlibatan mahasiswa dalam pengambilan keputusan itu. Dia mengaitkan prinsip dasar SIL UI dengan penerapan yang dilakukan oleh manajemen UI dalam pembentukan sekolah baru tersebut.
"Saya bangga dengan SIL yg mewajibkan melibatkan "manusia" dalam penelitian ilmu lingkungan. Entah saat ini, sepertinya keterlibatan kami sebagai "manusia" kurang diperhitungkan seperti halnyanya variabel-variabel penelitian yang kami biasa kerjakan," kata Dwi, salah satu mahasiswa Magister SIL UI.
"Seharusnya SIL dapat memberi contoh penerapan input kualitatif dari mahasiswa terhadap keputusan besar ini, bukan hanya sekedar menuntut mahasiswa utk melibatkan "manusia" saat mengambil kebijakan-kebijakan saat sudah lulus nanti," dia menambahkan.
(nah/nwk)











































