Menguji Otonomi Pendidikan Tinggi

ADVERTISEMENT

Kolom Edukasi

Menguji Otonomi Pendidikan Tinggi

Penulis Kolom - - detikEdu
Rabu, 24 Sep 2025 19:30 WIB
Ahmad Tholabi Kharlie
Foto: (Dokumentasi pribadi Ahmad Tholabi Kharlie)
Jakarta -

Transformasi perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum (PTN-BH) merupakan salah satu langkah paling ambisius dalam sejarah pendidikan tinggi Indonesia. Dengan status ini, universitas diberi keleluasaan besar untuk mengatur dirinya, mulai dari aspek akademik, keuangan, hingga kemitraan. Harapannya, universitas lebih lincah merespons perkembangan global, mampu berinovasi, dan tidak terus bergantung pada anggaran negara.

Sejumlah capaian memang sudah terlihat. Beberapa PTN-BH berhasil memperbaiki peringkat internasional, memperbanyak publikasi bereputasi, dan membangun jejaring riset global. Tak sedikit pula inovasi teknologi lahir dari laboratorium PTN-BH, bahkan ada yang berkembang menjadi startup berbasis riset. Dari sisi tata kelola, organ seperti Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik membuat proses pengambilan keputusan lebih sistematis.

Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul sederet persoalan yang tak bisa dikesampingkan. Di sinilah dilema PTN-BH. Ia adalah laboratorium tata kelola modern sekaligus cermin ketidaksiapan sistem pendidikan tinggi kita menghadapi tantangan keadilan sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilema PTN-BH

Keluhan utama masyarakat terkait PTN-BH menyangkut biaya kuliah yang cenderung lebih tinggi. Universitas memang menyediakan beasiswa, namun sering kali tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa miskin yang membutuhkan. Akibatnya, status PTN-BH terkesan melahirkan kampus elite, yang secara perlahan menjauh dari semangat konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

ADVERTISEMENT

Kondisi ini pernah diingatkan filsuf pendidikan, John Dewey (1916), "Education is not a preparation for life, education is life itself." Pendidikan bukan komoditas yang hanya bisa diakses kelompok berpunya, melainkan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Jika akses pendidikan terhambat oleh urusan biaya, maka status PTN-BH akan kehilangan legitimasi moralnya.

PTN-BH juga menghadapi dilema antara menjaga idealisme tridharma perguruan tinggi dan tekanan untuk mencari pemasukan. Orientasi pasar terkadang lebih dominan, misalnya dengan membuka program studi populer berbiaya tinggi, sementara program strategis seperti filsafat, sastra daerah, atau ilmu-ilmu dasar kurang mendapat perhatian.

Fenomena ini menunjukkan bahwa otonomi yang diberikan sering tereduksi menjadi ruang komersialisasi. Padahal, otonomi sejatinya diarahkan untuk memperluas kreativitas akademik, memperkuat riset, dan mendorong pengabdian masyarakat. Jika dibiarkan, kampus bisa terjebak dalam logika korporasi yang mengedepankan laba, bukan lagi misi keilmuan dan kemanusiaan.

Di lapangan, meski telah diberi label mandiri, sebagian besar PTN-BH masih bergantung pada APBN. Dana riset, subsidi gaji dosen, hingga biaya operasional inti tetap datang dari negara. Upaya mencari dana non-APBN memang ada, seperti pengembangan unit usaha, kerja sama industri, dan donasi alumni, tetapi kontribusinya masih kecil.

Perbandingan dengan negara lain memperlihatkan kelemahan ini. Di Amerika Serikat, universitas publik memang otonom, tapi sudah lama mengandalkan kombinasi dana negara bagian, tuition fee, riset kompetitif, dan endowment (dana abadi-red) alumni. Di Inggris, universitas berstatus badan hukum hampir sepenuhnya mandiri, meski konsekuensinya tuition fee tinggi. Sementara di Jerman dan Singapura, pemerintah tetap hadir secara kuat. Pendidikan tinggi dipandang sebagai public good yang tidak boleh diserahkan semata pada mekanisme pasar.

Posisi Pemerintah

Menyadari pelbagai persoalan yang dihadapi, pemerintah harus mengambil langkah korektif. Instrumen evaluasi disusun secara komprehensif, Indikator Kinerja Utama (IKU) diperketat, subsidi afirmatif melalui KIP Kuliah diperluas, dan mekanisme audit diperkuat. Alumni juga didorong ikut membangun endowment fund, sementara kemitraan dengan BUMN dan industri diperbanyak.

Strategi ini menunjukkan pilihan moderat, yakni negara tetap menjaga kendali, namun tidak mematikan ruang inovasi. Meski demikian, jurang antara PTN-BH dan PTN biasa masih menganga. Universitas di Jawa lebih mudah menjalin mitra industri, sementara kampus di luar Jawa tertinggal. Upaya pemerataan kualitas harus menjadi prioritas agar PTN-BH tidak sekadar memperbesar kesenjangan.

PTN-BH adalah eksperimen besar yang belum tuntas. Masa depan PTN-BH sangat bergantung pada bagaimana pemerintah, universitas, dan masyarakat menjaga keseimbangan antara otonomi, akuntabilitas, dan keadilan sosial.

Otonomi universitas memang mutlak diperlukan untuk daya saing global. Tetapi, tanpa akses yang adil, PTN-BH akan kehilangan makna konstitusionalnya. Pendidikan tinggi adalah hak warga negara, bukan hak istimewa kelompok tertentu.

Maka, tantangan kita hari ini adalah memastikan PTN-BH tidak sekadar menjadi menara gading yang gemerlap di panggung global, tetapi juga ladang subur bagi lahirnya generasi bangsa yang cerdas, kritis, dan berkeadilan. Di situlah PTN-BH menemukan makna sejatinya. Bukan hanya otonom, tetapi juga inklusif dan humanis.

*) Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek RI

*) Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(nwk/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads