Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Abdul Haris mengatakan pihaknya akan menyampaikan aspirasi soal skema cicilan uang kuliah tunggal (UKT) pada rektor perguruan tinggi negeri (PTN).
Sebelumnya, anggota Komisi X DPR RI Ali Zamroni menyampaikan aspirasi terkait kebijakan cicilan UKT di Raker DPRI RI dengan Kemendikbudristek dGeudng DPR RI, Selasa (21/5/2024).
"Saya dulu kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta Selatan. Biayanya sangat murah, hanya Rp 750 ribu satu semester, tetapi orang tua saya tidak mampu, maka kampus memberikan kebijakan untuk mencicil," kata legislator Gerindra tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi mohon izin, Pak Menteri, kita berharap bahwa ini betul-betul kita pikirkan bersama," sambungnya.
Merespons usulan tersebut, Abdul Haris mengatakan aspirasi tersebut akan disampaikan pada rektor. Ia berjanji akan memberikan ruang pada mahasiswa.
"Terkait strategi bagaimana memberikan ruang kepada mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan untuk ada ruang mencicil dan sebagainya, saya pikir ini nanti juga kami akan sampaikan ke beberapa rektor," kata Abdul.
Ia juga berjanji Kemendikburistek akan mengakomodasi mahasiswa yang tidak dapat memenuhi UKT karena keterbatasan ekonomi. meminta mahasiswa tidak segan mengajukan peninjauan ulang UKT jika kenaikannya tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi.
"Jangan khawatir atau takut untuk melakukan upaya peninjauan kembali (soal UKT). Ini yang akan menjadi catatan kami semua untuk bisa disampaikan dengan para rektor," kata Abdul.
"Kami coba berusaha untuk memberikan akomodasi kesempatan ini adalah untuk peningkatan kesejahteraan keluarga bangsa dan negara," imbuhnya.
Kemendikbud Respons soal Tertiary Education
Dalam Raker DPR RI dengan Kemendikbudristek tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mempertanyakan pernyataan Sekretaris Ditjen Diktiristek Tjitjik Sri Tjahjandarie terkait kenaikan UKT. Sebelumnya, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi bersifat tertiary education.
"Kita ingin bertanya, masalahnya bukan soal sekunder atau tersier saja, tetapi apakah bonus demografi ke depan mau kita capai dengan kita hanya mengandalkan wajib belajar 12 tahun?" tanya Dede.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menekankan pendidikan RI merupakan kebutuhan masyarakat alih-alih perseorangan. Karenanya, APBN harus dihadirkan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.
"Kalau nanti cenderung ke itu komersialisasi dan sebagainya, ya sudah, jangan dibawa Kemendikbudristek, ya di bawah BUMN saja. Jadi mungkin PT penyedia jasa pendidikan Indonesia, umpamanya begitu," lanjutnya.
Sedangkan anggota Komisi X DPR RI Fahmi Alaydroes mengatakan pemerintah semestinya mendukung naiknya keinginan masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini menurutnya dapat mendukung lulusan perguruan tinggi untuk bekerja maupun membuka lahan pekerjaan bagi orang lain.
"Kita seharusnya bangga dan bahagia ketika animo ke perguruan tinggi itu semakin lama semakin meningkat. Ini menunjukkan semakin ke depan, jumlah lulusan perguruan tinggi kita itu semakin besar," ucapnya.
Merespons pertanyaan dan tanggapan tersebut, Abdul menyatakan pendidikan merupakan hal utama. Ia berjanji Kemendikbudristek akan terus meningkatkan kualitas pendidikan SDM RI.
"Pendidikan ini adalah sesuatu yang utama sehingga kita bisa terus meningkatkan dari sisi kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depan," kata Haris.
"Dan juga untuk terus meningkatkan dari sisi kualitas dan relevansinya agar tentu kita menghasilkan SDM unggul yang bisa membawa Indonesia Maju, Indonesia Emas 2045," ucapnya.
(twu/nwk)