Studi Islam tak hanya diajarkan di kampus-kampus yang terletak di negara dengan mayoritas penduduk muslim. Mahasiswa pun dapat belajar Studi Islam di Harvard University, Amerika Serikat. Bagaimana sejarahnya?
Harry Bastermajian, Direktur Eksekutif Prince Alwaleed Bin Talal Islamic Studies Program, Harvard University baru-baru ini merampungkan proyek arsip terkait pengajaran Studi Islam di kampusnya.
Bersama Senior Coordinator of Programming and Engagement untuk Alwaleed bin Talal Islamic Studies Program di Harvard University, Meryum Kazmi, Bastermajian berhasil menyusun linimasa sejarah pendidikan Studi Islam di Harvard University. Berikut garis besar utamanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belajar Bahasa Arab di Harvard University Abad ke-17
Semula, studi bahasa Arab diperkenalkan bagi pendeta universitas yang tengah pelatihan. Menurut Bastermajian, mereka khususnya belajar untuk memahami Alkitab dalam bahasa Ibrani.
Ia mengatakan, presiden-presiden awal Harvard University sendiri merupakan seorang orientalis, seperti Henry Dunster dan Charles Chauncy. Orientalis merupakan cendekiawan yang mempelajari bahasa dan budaya Timur.
Pada zaman kepresidenan Chauncy di Harvard, instruksi bahasa Arab mulai diajarkan. Para anggota proyek linimasa memperkirakan pengajarnya adalah Chauncy sendiri.
"Saat saya mengingat New England zaman kolonial, studi bahasa Arab bukanlah sesuatu yang akan terpikir ada di sini," kata Kazmi, dilansir the Harvard Gazette.
"Fakta bahwa para presiden awal Harvard mempelajari dan tertarik pada bahasa Arab, serta mendorong studinya, menunjukkan bahwa hubungan Harvard dengan dunia Islam sudah setua universitas ini sendiri," imbuhnya.
Belajar Interaksi Muslim dengan Orang Eropa
Era kedua dimulai pada akhir abad ke-19. Masa ini ditandai dengan studi yang berfokus pada interaksi Muslim dengan Eropa.
Pada 1836, dosen Crawford H Toy bergabung dengan Harvard University. Ia membawa mata kuliah Studi Islam pertama di Harvard, yaitu kekhalifahan di Spanyol (the Spanish Caliphate).
Mata kuliah yang diajarkan Toy menelusuri sejarah Islam di India, Mesir, Sisilia dan Negara-negara Barbary, dan Perang Salib. Sumber-sumber materi yang dipakai adalah sumber-sumber Muslim.
"Mata kuliah ini diperkenalkan ke Departemen Sejarah untuk membuat siswa berpikir lebih global. Hingga saat ini, kami masih mendorong mahasiswa kami untuk melakukannya," kata Bastermajian.
Belajar tentang Timur Tengah untuk Kepentingan Luar Negeri AS
Era ketiga dimulai usai Perang Dunia II. Pada masa ini, kajian ini difokuskan memahami Timur Tengah untuk memajukan kepentingan AS di luar negeri.
Di era ini, dosen seperti Sir Hamilton Gibb berusaha untuk menggeser studi lebih dari orientalisme dan lebih fokus ke Eropa dengan pendekatan interdisipliner.
Pada masa ini, Studi Islam di Harvard berkembang pesat hingga muncul prodi baru seperti Prodi Hukum Islam, Inisiatif Timur Tengah, dan Program Alwaleed.
"Lewat penelitian semacam ini, kita bisa melihat hubungan antara pendekatan-pendekatan terhadap studi sejarah, studi budaya, studi agama; bagaimana perubahannya seiring waktu; dan hubungannya dengan cara-cara kami menerapkan pendekatan-pendekatan itu di masa lalu," pungkas Bastermajian.
(twu/nwk)