UGM Bakal Buat SOP Larangan Dosen 'Killer', Ini Kata Para Mahasiswanya

ADVERTISEMENT

UGM Bakal Buat SOP Larangan Dosen 'Killer', Ini Kata Para Mahasiswanya

Noor Fa'izah - detikEdu
Kamis, 02 Nov 2023 09:00 WIB
Kompleks Gedung Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM).
Foto: dok. UGM
Jakarta -

Direktorat Pendidikan dan Pengajaran UGM membuat SOP larangan dosen 'killer' di kampus. Ini kata para mahasiswa UGM

Dari beberapa respons mahasiswa UGM yang diwawancara detikEdu, rata-rata mereka melihat SOP ini dapat menjadi langkah awal komitmen UGM dalam memonitor kesejahteraan mahasiswa dalam lingkup akademik.

Menurut Dinda Nuha, Mahasiswa Sosiologi UGM semester 7, menyatakan bahwa "Kalo kebijakan ini diimplementasikan dengan tepat, akan tercipta lingkungan belajar yang jauh lebih menyenangkan."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lingkungan belajar yang menyenangkan, imbuh Nuha, bisa muncul ketika pengajar dan pelajar dapat sama-sama mengkonstruksi ilmu pengetahuannya. Ruang-ruang diskusi antara dosen dan mahasiswa yang hidup seharusnya dapat tercipta tanpa adanya dosen 'killer'.

Nuha merasa definsi terkait dosen 'killer' ini sendiri juga berbeda-beda. Hal ini tentu karena budaya masing-masing fakultas dalam menerapkan kegiatan perkuliahan berbeda-beda.

ADVERTISEMENT

Ada mahasiswa yang meng-cap dosen 'killer' adalah dosen berpribadi tegas atau sekedar dosen yang kerap memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada mahasiswanya. Dengan budaya masing-masing fakultas berbeda-beda, muncul kekhawatiran bila penyeragaman kebijakan yang mengikat civitas akademik ini justru tidak tepat guna.

"Padahal menurut aku pribadi, dosen yang tegas atau suka nanya-nanya, it helps us untuk memahami proses belajar di kelas. Mereka bisa membangun ruang diskusi yang lebih hidup," kata Nuha pada detikEdu, Rabu (1/11/2023).

"Khawatirnya, kalo wacana ini tidak tepat guna maka, sifat-sifat tegas, membangun pertanyaan-pertanyaan di kelas, bisa didefinisikan sebagai 'killer'. Dan akhirnya mengurangi ruang berkembang mahasiswa dan mematikan resiliensi kita," tambah Nuha.

Selain itu, Nuha juga melihat bahwa ancaman kekerasan di kampus memiliki beragam bentuk. Tidak hanya ancaman kekerasan fisik dan psikis, tetapi juga ancaman ekonomi dan struktural.

"SOP yang sifatnya mengikat ini akan memunculkan ekspektasi peran dosen yang makin bertambah. Tapi, kalo perannya makin bertambah tanpa diimbangi dengan pendapatannya maka sama aja. Kita nggak pay attention to kesejahteraan dosennya juga," kata Nuha.

Jangan sampai UGM hanya fokus mencegah komitmen atas ancaman fisik dan psikis saja. Tetapi abai dengan ancaman ekonomi dan struktural.Dinda Nuha, Mahasiswa Sosiologi UGM Semester 7

Keberagaman permasalahan kesehatan mental juga menjadi salah satu pertimbangan. Misalnya, beban akademik, kuantitas tugas, jenis tugas yang monoton, atau suasana kelas yang tidak hidup ikut serta mempengaruhi lingkup belajar.

Menurut Jason Tambayong, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM semester 5, mengatakan "Memang perlu ditelaah lebih lanjut karena apakah sebenarnya permasalahan mental health yang dialami oleh mahasiswa semuanya terpengaruhi oleh dosen 'killer'."

Dirinya mengaku bahwa pengajar dengan tingkat disiplin melebihi batas atau dikenal dosen 'killer', yang melakukan tindak kekerasan fisik pada hakikatnya memang sudah tidak diperbolehkan. Hal ini akan memicu multitafsir terhadap definisi 'killer' dan implementasi kebijakannya.

"Menurut saya hal ini (tindak kekerasan dan kesehatan mental) memang perlu untuk menjadi perhatian utama, mengingat urgensi kejadian yang sering terjadi belakangan ini. Akan tetapi, berbuat suatu hal secara gegabah dan terburu-buru juga harus dipertimbangkan lagi," kata Jason dihubungi detikEdu, Rabu (1/11/2023).

Jason juga menambahkan perlu adanya keikutsertaan serta keterlibatan mahasiswa dalam pembuatan regulasi. Tujuannya agar aturan yang dibentuk benar-benar bisa menyasar target yang memang diperlukan.

Berbagai pertimbangan tersebut melihat perlu adanya tahap telaah lebih lanjut. Mengingat, para mahasiswa kini semakin peka terhadap batasan-batasan isu kesehatan mental dan kekerasan di lingkungan kampus mereka.

Terkadang (maksud killer) diperlukan untuk membangun kedisiplinan dan elemen inilah yang bisa hilang Jason Tambayong, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM Semester 5

Sementara Anandio Januar, Mahasiswa Kehutanan UGM semester 7, berpendapat bahwa pembuatan SOP ini perlu melihat dari kedua sisi. Tidak hanya melihat dari sisi mahasiswa, perlu juga mengetahui lebih lanjut dosen-dosen yang dianggap 'killer' agar tidak salah sasaran dan malah merugikan dosen.

Indikatornya harus jelas apakah killer yang dimaksud dari segi pelit nilai, atau sikap dan tutur kata yang tegas menakutkan, dan lain semacamnya.Anandio Januar, Mahasiswa Kehutanan UGM Semester 7

"Karena seringkali dosen kita anggap killer padahal dari mahasiswanya yang bertindak kurang sopan atau tidak sesuai aturan sehingga timbul konflik dengan dosen dan membuat dosen tersebut melekat dengan julukan dosen killer," tambah Januar.

Meskipun SOP ini akan menjadi hal yang baik dalam menjaga kesehatan mental mahasiswa. Tapi dalam pembuatannya, SOP ini perlu disusun secara teliti. Indikator terkait killer tidaknya juga perlu didefinisikan ulang.

Sebelumnya diberitakan, menanggapi kondisi empiris kesehatan mental mahasiswa, UGM membuat SOP yang melarang adanya dosen killer. SOP yang masih dalam tahap penyusunan ini untuk mengkampanyekan kampus sehat dan relasi tanpa kekerasan.

"Sebetulnya, ini juga tentang health ya, physical health, mental health, dan juga social health. Jadi itu nanti akan sangat komprehensif. Dari pendidikan hingga pengajarannya," kata Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM Prof Wening Udasmoro, dihubungi detikEdu, Rabu (1/11/2023).

Prof Wening mengatakan bahwa kebijakan ini sebagai langkah tindak lanjut rencana strategis rektor dalam menciptakan kampus yang aman, nyaman, ramah, inklusif, dan bertanggung jawab sosial.




(nwk/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads