Culture shock atau gegar budaya menjadi fenomena yang lazim dirasakan mahasiswa saat kuliah di luar negeri. Fase ini dapat terjadi karena perbedaan budaya, kebiasaan, dan norma yang berlaku di tengah masyarakat setempat.
Peserta Indonesian International Student Mobilization Award (IISMA) juga tidak luput dari culture shock di tengah adaptasi. Agustinus Allan Porajow, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), turut mengalaminya.
Allan mengatakan, lingkungan akademik yang kompetitif di kampus destinasi IISMA membuatnya belajar mandiri lebih banyak agar dapat aktif di kelas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sini lingkungan akademiknya sangat kompetitif, karena mungkin salah satu kampus Ivy League," kata Allan yang meraih pertukaran pelajar di University of Pennsylvania (UPenn), Amerika Serikat, dikutip dari akun resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek.
"Jadi mau tidak mau aku harus meluangkan waktu lebih buat belajar, supaya bisa tetap aktif berpartisipasi di kelas," imbuhnya.
Sementara itu, Lalu Ladeva asal Universitas Brawijaya mendapati warga sekitar kampus tutup operasi toko relatif lebih awal.
"Warga lokal di sini sangat work-life balance! Aku kaget saat mengetahui bahwa beberapa tempat dan toko tutup lebih awal dan memiliki jam operasionalnya masing-masing," tutur mahasiswa yang mendapat pertukaran pelajar di University of Pisa, Italia tersebut.
5 Fase Culture Shock
1. Honeymoon Phase
Di fase honeymoon, mahasiswa masih merasa bersemangat karena paparan budaya baru terasa menyenangkan. Mahasiswa di fase ini juga lazim merasa mimpi dan harapannya selangkah lebih dekat terwujud, serta masa depan akan tergapai.
2. Rejection Phase
Fase ini ditandai dengan munculnya masalah sehari-hari yang membuat impian mahasiswa dihadapkan pada realitas. Contohnya seperti masalah tempat tinggal, masalah keluarga, dan pekerjaan.
Realitas sehari-hari ini juga termasuk munculnya hal-hal yang tidak sesuai harapan dan merasa disalahpahami. Alhasil, mahasiswa dapat merasa kewalahan.
3. Regression Phase
Tahap ini membuat mahasiswa rindu dan coba mencari orang-orang dari budaya yang sama. Tindakan ini merupakan bentuk mengatasi stres atas perubahan lingkungan dan budaya sekitar.
4. Recovery Phase
Bagi mahasiswa yang melewati fase regresi di culture shock, akan ada fase recovery atau pemulihan yang dijalani. Dalam fase ini, mahasiswa bersangkutan merasa mulai dapat menerima budaya baru dan diterima oleh orang-orang dari budaya baru tersebut.
5. Reverse Culture Shock
Penerimaan dan rasa terbiasa pada budaya baru juga dapat membuat mahasiswa mengalami culture shock saat kembali ke Tanah Air.
Tips Menghadapi Culture Shock Usai Kuliah Pertukaran di Luar Negeri
Lantas bagaimana mengatasi gegar budaya atau culture shock dalam pengalaman antarnegara? Berikut sejumlah langkahnya:
1. Riset dan Pelajari
Cari tahu dan pelajari lebih lanjut soal budaya negara tujuan kuliah atau pertukaran pelajar sebelum keberangkatan. Interaksi dengan warga lokal lewat media sosial dan platform digital, membaca buku, dan menonton film yang menyajikan budaya setempat dapat membantu.
2. Bersikap Positif dan Optimis
Menyikapi culture shock sebagai fenomena sementara penting untuk dapat menjalani program pertukaran dan kuliah di luar negeri dengan nyaman. Sejumlah pandangan positif juga bisa membantu, seperti bahwa kedua peluang akademik tersebut dapat menambah pengalaman dan wawasan, serta mengasah kemampuan adaptasi.
3. Ekspektasi Realistis
Mengelola ekspektasi juga dapat dilatih sehingga mahasiswa bisa berekspektasi secara realistis. Keterbiasaan mengelola ekspektasi memungkinkan mahasiswa juga terbiasa hidup di negara tujuan studi.
4. Kontak Orang Terdekat
Support system seperti mentor, teman, orang tua, saudara, dan sahabat dapat jadi sandaran saat menghadapi kesulitan di tengah culture shock. Mintalah para orang terdekat untuk memberi bantuan saran, masukan, dan solusi yang sedang dihadapi.
5. Jelajahi Lingkungan Akademik dan Lokal
Mengenal lebih jauh budaya baru juga dapat mendorong proses pulih dari culture shock. Coba telusuri kawasan lokal, termasuk makanannya, budayanya, komunitasnya, dan atraksinya. Di kampus, jelajahi juga organisasi atau klub yang tersedia, serta fasilitas pengembangan diri dan fasilitas penunjang lainnya. Semoga bermanfaat, detikers!
(twu/nwk)