Nina Septina, SP, MM, MPhil mendapati mahasiswa dan kemudahan artificial intelligence (AI) makin tidak berjarak. Alih-alih melarang penggunaan AI tools, dosen Program Vokasi Universitas Katolik Parahyangan ini justru memberi nilai tinggi bagi mahasiswanya yang mampu merunut daftar alat bantu basis AI yang digunakan sepanjang pengerjaan tiap tugas.
Nina menilai, kecerdasan buatan dapat digunakan sepanjang tidak menyalahi etika pendidikan tinggi. Salah satunya yakni antiplagiarisme.
Ia menambahkan. mahasiswa juga tetap mempelajari dan juga mencantumkan sumber-sumber tugas, termasuk yang dihimpun dengan AI tools.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misal paraphrase dari Quillbot, mereka harus akui. Dan saya hargai semua prosesnya. Makin banyak yang dia gunakan, nilai dia makin bagus. Jadi mereka dinilai dari proses, bukan hasil saja," kata Nina pada detikEdu.
"Justru dia harus bangga, kalau (dengan bantuan teknologi) bisa tunjukkan sudah wawancara siapa (sebagai sumber tugas), mengutip dari mana. Semakin banyak sumber yang dia kutip, ada buku dan website dari berbagai sumber, itu tidak mengecilkan dia, tetapi menunjukkan dia belajar banyak banget," imbuhnya.
Diskusi Materi & Celah AI
Di kelas, Nina kemudian memilih acak hasil tugas para mahasiswa untuk didiskusikan di kelas. Sebagian tentang materi yang tengah dipelajari, sebagian tentang penggunaan AI dan elemen teknologi lain saat mengerjakan tugas.
Mengenal AI tools untuk papers, Nina sendiri menggunakan AI tools seperti ChatPDF dan Connected Papers sebelum skimming makalah di berbagai jurnal. Dari tinjauan awal tersebut, ia lalu membaca lebih lanjut abstrak, data yang disajikan, hingga hasil pengolahan.
Nina menuturkan, diskusi di kelas tersebut jadi memungkinkan dosen maupun mahasiswa memahami celah-celah keterbatasan AI tools. Diskusi ini baginya membuat mahasiswa maupun dosen berhati-hati memahami materi hasil olahan AI, mencari literatur pendukung, dan klarifikasi data yang benar ke sumber asli.
"Sebab hasil bukan segala-galanya, hargai proses. Supaya sama-sama belajar," tuturnya.
Kemudahan Teknologi di Kelas
Nina berkompromi lewat blended learning bagi mahasiswa yang secara terbuka menyatakan tidak ingin ke kampus. Harapannya, mahasiswa yang sudah senang kuliah dengan kemudahan AI bisa learning how to learn dan belajar materi dari kamar sekalipun, tidak sekadar menggugurkan kewajiban presensi per semester.
"Yang penting proses belajar itu. Materi bisa berubah terus, tapi sikap dia menganalisisnya, memahami konteks, ini yang perlu," ucap dosen Inspiring Lecturer Paragon (ILP) ini.
ILP merupakan program penguatan kapasitas dosen pendidikan tinggi untuk mendukung pembelajaran yang berpihak pada murid atau mahasiswa dalam Merdeka Belajar. ILP digelar Paragon Corp dalam kerja sama dengan Kemendikbudristek.
Nina mengakui, ada concern dari sekitarnya bahwa para mahasiswa akan jadi cenderung tidak masuk kelas. Namun berdasarkan penerapannya beberapa semester belakangan, Nina menilai mayoritas mahasiswanya tetap semangat kuliah tatap muka.
"Selalu ada yang hadir, karena mahasiswa sekarang ingin ke kampus, bosen Zoom bertahun-tahun kemarin," pungkasnya.
(twu/nwy)











































