Sementara masalah hak cipta dalam artificial intelligence (AI) art masih menjadi perdebatan, isu penggunaan AI chatbots untuk pengerjaan tugas kuliah di perguruan tinggi juga memicu reaksi.
Dosen Filosofi di Michigan University AS Antony Aumann menuturkan, ia semula menemukan esai mahasiswa yang terbaik di kelasnya. Esai tersebut memuat pembahasan terkait moralitas pelarangan burka dengan penulisan, contoh, dan argumentasi yang baik, seperti dilansir Kalley Huang dalam New York Times, dikutip Rabu (18/1/2023).
Melihat esai yang tidak biasa tersebut, Aumann menilai temuannya adalah red flag. Ia lalu menanyakan keaslian penulisan tugas kuliah tersebut pada si mahasiswa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikonfrontasi dosennya, mahasiswa tersebut mengaku menggunakan chatbot ChatGPT untuk menyelesaikan esainya. Chatbot tersebut merilis olahan informasi, menjelaskan konsep dan ide lewat kalimat-kalimat sederhana.
AI Chatbot buat Mengerjakan Tugas Kuliah
Penggunaan AI chatbot ChatGPT untuk mengerjakan tugas kuliah bermula dari GPT-3. AI ini sederhananya merupakan model bahasa besar yang 'menulis' dari himpunan data miliaran kata dan telah mempelajari bagaimana kata serta frasa berhubungan satu sama lain, seperti dijelaskan Chris Stokel-Walker dalam laman Nature.
Saat GPT-3 muncul, timbul perdebatan tentang batasan revolusi AI. Sebab, penerapannya juga mencakup aplikasi peringkasan dokumen hukum hingga membantu pemrograman komputer.
ChatGPT merupakan chatbot berbasis AI dari OpenAI yang menghasilkan tulisan berlanggam 'cerdas' mirip tulisan akademik. Penggunanya memasukkan prompt tertentu untuk menerima 'hasil tulisan' AI ini.
Tulisan yang digelontorkan AI chatbot ini tampak seperti diriset dengan baik, menggunakan referensi yang tepat, sehingga dinilai berisiko menyulitkan asesmen atau penilaian di lingkup perguruan tinggi menggunakan esai.
Tugas Kuliah Pakai AI: Kata Dosen dan Mahasiswa
Aumann merespons temuan tugas kuliah yang dikerjakan AI tersebut dengan rencana pengetatan aturan penulisan tugas. Pertama, mahasiswa harus menulis draft pertama di ruang kelas, menggunakan peramban (browser) yang merekam dan membatasi aktivitas komputer. Kedua, tiap perubahan di draft tugas awal harus bisa dijelaskan mahasiswa.
Dosen ini juga menimbang untuk tidak menyertakan esai sebagai tugas kuliah. Di sisi lain, Aumann berpikir bahwa mahasiswa mungkin bisa diberi tugas kuliah untuk mengevaluasi 'hasil tulisan' AI chatbot.
Sementara itu, Dan Gillmor dari Arizona State University mencoba sendiri bagaimana AI chatbot ini mengerjakan tugas kuliah mahasiswa. Dikutip dari the Guardian, ia memasukkan pertanyaan-pertanyaan yang sering ia berikan pada mahasiswa. Berdasarkan evaluasinya, artikel yang dihasilkan bot ini akan dinilai bagus oleh dosen.
Mahasiswa Newscastle University UK Lillian Edwards berpendapat, AI chatbot sejauh ini jago di pengerjaan tugas kuliah berformat esai. Ketimbang GPT-3 yang terlalu kaku seperti robot, ChatGPT menurutnya lebih seperti kolaborator ide bagi mahasiswa.
"Sekarang, sepertinya riwayat esai sebagai tugas di lingkungan pendidikan sudah tamat" katanya.
Ilmuwan: AI Belum Tentu Jadi Game Changer Tugas Kuliah
Ilmuwan komputer dan periset integritas akademik Thomas Lancaster dari Imperial College London menilai ChatGPT belum tentu menjadi pendisrupsi atau game changer bagi tugas kuliah mahasiswa. Sebab, dengan cara lain, 'joki tugas' manual maupun berbasis komputer sudah ada dari dulu.
"Belum tentu (AI chatbot yang sekarang) menambah fungsi dari yang sebelumnya sudah ada, kalau mahasiswa ini tahu mencari ke mana," tuturnya.
"Meskipun labelnya 'kecerdasan buatan', sistemnya tidak berpikir dengan cara seperti manusia. AI bot ini dilatih untuk menggelontorkan pola kata-kata berdasarkan data pola kata saja," kata Lancaster.
Ilmuwan: Fokus Saja Kembangkan Skill Bernalar
Ilmuwan komputer Arvind Narayanan dari Princeton University AS menuturkan, esai pada dasarnya bisa digunakan untuk mengevaluasi pengetahuan mahasiswa dan skill menulis. Karena itu, keberadaan AI chatbot untuk tugas kuliah bisa menyulitkan penilaian oleh dosen.
Di sisi lain, Narayanan berpendapat, akademisi bisa jadi lebih berfokus pada evaluasi pemikiran kritis atau penalaran mahasiswa, yang belum bisa dikelabui ChatGPT. Dengan begitu, menurutnya, mahasiswa bisa belajar fokus mengembangkan pengetahuan dan kemampuan bernalarnya ketimbang menjawab pertanyaan atau topik esai dan mengumpulkan tugas kuliah.
(twu/nwk)