Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) angkat bicara terkait putusan MK yang izinkan kampanye di lembaga pendidikan. Hal ini merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu.
Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G menyatakan putusan tersebut menimbulkan kekhawatiran praktisi pendidikan. Terutama tentang terganggunya proses belajar dan mengajar di lembaga pendidikan.
"Kami khawatir dengan putusan tersebut, akan mengganggu proses belajar dan mengajar. Penggunaan fasilitas pendidikan, jika ditafsirkan sebagai penggunaan lahan dan bangunan sekolah dan universitas maka jelas mengganggu pembelajaran," ungkap Iman dikutip dari keterangan tertulis yang diterima detikEdu, Senin (21/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk memperjelasnya P2G memaparkan 6 alasan mengapa putusan tersebut menimbulkan kekhawatiran. Begini pemaparannya.
Alasan Kekhawatiran P2G soal Putusan MK
1. Kepala Sekolah Sulit Menolak
Pihak P2G beralasan, ketika gedung sekolah digunakan sebagai tempat kampanye, kepala sekolah akan sulit menolak. Terlebih bila ada perintah secara struktural dari pemda dan dinas pendidikan.
2. Penanggungjawab jika Ada Kerusakan
Terkait praktiknya, P2G mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab bila terjadi kerusakan dan kehilangan fasilitas atau aset sekolah tempat terselenggaranya kampanye pemilu. Karena, jika kerugian terjadi dan dikembalikan ke sekolah akan timbulnya beban baru.
P2G menilai pmilu dan pendidikan memiliki anggaran yang berbeda. Sehingga ada banyak fasilitas pemerintah lain yang bisa digunakan selain fasilitas pendidikan.
"Memang tidak ada tempat lain? Kenapa pemilu malah harus menggunakan lahan dan gedung sekolah atau fasilitas pendidikan? Kan masih banyak fasilitas pemerintah lainnya. Jangan pendidikan dikorbankan," jelas Iman.
3. Beban bagi Siswa hingga Ortu
Praktik ini disebutkan P2G akan menjadi beban baru bagi siswa, guru, dan orang tua terutama proses belajar mengajar di sekolah. Kegiatan sekolah akan bertambah seperti sosialisasi pemilu atau sosialisasi kandidat dan pastinya akan menjadi beban psikologi bagi anak termasuk guru.
"Bayangkan ada pemilu dan pilkada yang akan dihadapi. Sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa, dan ortu akan membawa politik partisipan ke ruang ruang belajar," tukasnya.
Iman menjelaskan aktivitas pedagogi akan terganggu menjadi aktivitas saling berebut politik kekuasaan. Terlebih warga sekolah dinilai rentan dimobilisasi menjadi tim kampanye kandidat.
Bukan terciptakan pendidikan politik, mobilisasi politik bisa berdampak buruk. Contohnya, karena perbedaan pendapat murid bisa rentan terkena bullying di sekolah.
4. Bukan Kampanye, tapi Edukasi Politik
Febriansyah, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan P2G menyebut lembaga pendidikan perlu edukasi politik. Namun, bukan menggunakan fasilitas pendidikannya saja untuk kepentingan kampanye dan pemilu.
Edukasi politik bisa menekankan tentang netralitas ASN dalam pemilu dan kampanye. Sehingga bila terpaksa menggunakan lembaga pendidikan, kampanye itu harus transparan terkait pertanggungjawabannya.
"Misal, keterkaitannya dengan netralitas ASN. Potensi pejabat atau atasan memobilisasi ASN pada kandidat atau partai tertentu, dan kalau memang terpaksa menggunakan sarana prasarana sekolah dan lembaga pendidikan, harus diperhatikan transparansi dan akuntabilitasnya," tambah Feriyansyah.
5. Memunculkan Memori bagi Warga Sekolah
Penggunaan fasilitas pendidikan untuk kampanye akan menjadi memori kuat bagi guru, siswa, tenaga pendidik dan warga sekolah lainnya. Kegiatan politik bisa dilihat hanya datang setiap pemilu saja atau ketika ada kepentingan, selebihnya tidak.
"Memori bahwa politik hanya praktik kepentingan setiap pemilu saja, adalah memori yang tidak mendidik. Ini yang tidak kita harapkan," pungkas Feriyansyah.
6. Negara Maju Tidak Demikian
Terakhir, P2G menjelaskan negara-negara yang sistem pendidikan dan demokrasinya maju, seperti Eropa Utara dan Amerika Utara tidak mempraktikkan kampanye politik elektoral di sekolah. Negara itu juga disebut tidak menjadikan sekolah sebagai arena bebas pertarungan politik elektoral para partai politik dan kandidat.
"Pendidikan politik jangan diartikan dengan sekolah dan madrasah menjadi ajang kampanye politik praktis. Pendidikan politik di sekolah itu harus, tapi kampanye kandidat dan partai jangan di sekolah," tutup Feriyansyah.
(nah/nah)